Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-bayang Audy
Pintu ruangan Aldrich tertutup rapat. Suasana hening, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Aldrich menjatuhkan diri ke kursi kulit hitamnya, melepas dasi dengan gerakan tergesa.
Ia menutup mata sejenak, memijit pelipis.
Astaga… apa sebenarnya yang terjadi dengan gadis itu?
Wajah Audy dengan blazer krem dan senyum tipisnya kembali melintas di kepala. Bukan hanya wajahnya—tatapannya yang tajam, cara berdirinya yang penuh percaya diri, bahkan caranya menyanggah dengan mulut yang seolah tak mengenal rem.
Aldrich membuka mata, menatap kosong ke arah langit-langit. “Gadis itu… benar-benar lain.”
Ia teringat perdebatan singkat tadi. Jika kebanyakan karyawan akan gemetar saat dihadapkan dengan tatapan dingin Aldrich, namun lain halnya dengan Audy. Gadis itu malah berani menatap balik, bahkan mengadu argumen tanpa gentar.
Senyum miring muncul di sudut bibir Aldrich. “Mulutnya memang tajam. Tapi justru itu… yang membuatku gemas.”
Tangannya meraih berkas di meja, tapi bukannya membaca, ia malah kembali melamun.
Bagaimana mungkin seorang staf baru, yang bahkan baru beberapa hari bekerja, bisa tampil begitu meyakinkan di rapat kemarin? Presentasinya rapi, jawabannya lugas, bahkan seolah ia sudah bertahun-tahun bermain di meja bisnis.
Dari sekian banyaknya wanita yang pernah ia kenal, kebanyakan hanya sibuk mencari perhatiannya atau berlomba membuatnya terhibur. Tapi Audy?
“Gadis itu sama sekali tidak peduli padaku,” gumamnya lirih, nyaris seperti mengeluh.
Ada rasa aneh yang mengusik. Antara penasaran, kagum, dan… sedikit terancam.
Ia tertawa kecil sendiri, menggoyangkan kepala. “Aldrich, kau gila. Sejak kapan seorang perempuan bisa membuatmu melamun begini?”
Namun senyum itu tidak hilang dari wajahnya. Tatapan Aldrich mengeras, kali ini penuh tekad. “Baiklah, Audy. Jika kau suka tantangan… aku akan jadi tantangan terbesarmu.”
Di luar, beberapa staf yang lewat bahkan bisa mendengar derit kursi Aldrich berputar. Tak ada yang tahu bahwa di balik pintu itu, sang bos besar baru saja memutuskan sesuatu: Audy Shafira Sinclair bukan lagi sekadar staf, melainkan teka-teki yang harus ia pecahkan.
.....
Siang itu, ruangan CEO Jourell Group kembali lengang setelah beberapa waktu sang pimpinan menyelesaikan pekerjaannya. Tirai setengah tertutup, aroma parfum mewah bercampur samar dengan bau kopi yang sudah dingin di meja. Di sofa kulit hitam panjang, Aldrich duduk bersandar, wajahnya datar.
Seorang wanita berpenampilan glamor, dengan gaun ketat dan senyum menggoda, sedang berusaha keras mengambil perhatiannya. Tangannya lincah menelusuri bahu Aldrich, desahannya dibuat selembut mungkin, suaranya mendayu-dayu.
“Tuan Aldrich,” bisiknya manja, mendekatkan diri. “Kau selalu terlihat tegang di siang hari. Biarkan aku yang membuatmu rileks.”
Aldrich hanya mendengus pelan, matanya menatap kosong ke arah meja kerja yang penuh berkas. Ia membiarkan wanita itu melakukan perannya—tapi pikirannya melayang ke tempat lain.
Bukan gaun merah menyala itu yang ia bayangkan. Bukan pula suara genit yang terus menggoda telinganya.
Yang muncul di kepalanya justru sosok Audy. Blazer krem, rambut setengah diikat, terlihat sederhana tapi ada tatapan tajam nanun polos saat menantangnya di divisi strategis.
Kalau saja yang duduk di sini Audy…
Bayangan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sensasi yang bahkan tak mampu diberikan oleh wanita di depannya.
Wanita panggilan itu semakin agresif, tangannya semakin berani. Namun Aldrich tiba-tiba mengangkat tangan, menghentikan gerakannya.
“Cukup.”
Nada suaranya tegas, dingin, membuat wanita itu terperangah.
“Apa aku kurang memuaskanmu hari ini?” tanyanya dengan wajah masam, merasa harga dirinya diinjak.
Aldrich menatapnya datar, tanpa ekspresi. “Bukan begitu. Aku hanya… tidak selera.”
Wanita itu mengerling, mencoba meraih wajah Aldrich sekali lagi. Tapi pria itu sudah berdiri, meraih dompet, dan meletakkan beberapa lembar uang di atas meja. “Ambil ini. Kau boleh pergi sekarang.”
Dengan wajah kesal, wanita itu mengambil uang yang di berikan Aldrich, merapikan gaunnya, lalu melangkah keluar dengan langkah tergesa. Tidak ada senyum puas seperti biasanya, hanya kekecewaan yang tersisa.
Begitu pintu tertutup, Aldrich mendesah panjang, meraih dasinya lalu melemparkannya sembarangan ke sofa. Ia duduk kembali, menatap pantulan dirinya di kaca jendela.
“Kenapa kau, Aldrich?” gumamnya lirih. “Seorang Sinclair kecil itu berhasil membuatmu muak dengan semua ini.”
Senyum tipis muncul di wajahnya, campuran kagum dan frustrasi. “Audy Shafira… kau benar-benar racun.”
_____
Lift itu berdenting, pintunya terbuka. Audy yang baru keluar dari ruangannya, dengan map di tangan dan tas kerja disampirkan di bahu, melangkah masuk. Begitu pintu hampir menutup, suara langkah sepatu berderap cepat, dan seseorang menahan pintu dengan tangan panjangnya.
Audy refleks menoleh. “Astaga, pria menyebalkan ini lagi...” batinnya.
Padahal, semua orang tahu, ada lift khusus pimpinan—Orang-orang dengan jabatan tinggi, tapi Aldrich sengaja menggunakan lift umum.
“Ah, kebetulan,” ucap Aldrich santai dengan nada seolah sudah direncanakan. Ia masuk, berdiri di sebelah Audy. Wangi parfumnya langsung menguar, khas, mahal, sekaligus membuat suasana ruang lift yang sempit terasa makin menegangkan.
Audy menunduk sedikit, menekan lantai basement. Ia berusaha fokus pada angka-angka digital di atas pintu lift, bukan pada pria yang berdiri hanya sejengkal darinya.
“Kenapa wajahmu tegang begitu? Aku tidak memakan manusia, Audy,” sindir Aldrich sambil melirik dengan senyum tipis.
Audy menoleh sekilas, lalu cepat-cepat kembali menatap ke depan. “Saya tidak tegang. Saya hanya… ingin cepat sampai.”
“Cepat sampai di basement, atau cepat sampai jauh dari saya?” suara Aldrich rendah, nyaris berbisik, tapi cukup untuk membuat Audy refleks menggigit bibirnya sendiri.
Ia membuang napas. “Bapak benar-benar menyebalkan.”
Aldrich terkekeh pelan. “Pasti akan menyenangkan jika setiap pulang kerja aku punya partner yang jujur menyebutku menyebalkan.”
Lift tiba-tiba berhenti sebentar di lantai lain, tapi pintu tidak terbuka. Suasana jadi semakin kikuk. Audy menggenggam map erat-erat, jantungnya berdegup kencang tak karuan.
Aldrich melipat tangan di dada, sengaja bersandar santai ke dinding lift. Tatapannya tanpa sungkan menyusuri Audy dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Hm… penampilan barumu hari ini… menarik.”
Audy spontan menoleh, alisnya terangkat. “Tidak cukup kah Bapak mengomentari penampilan baru saya tadi pagi? Astaga...”
“Sekadar… memastikan bahwa keputusan kemarin tidak salah. Kau memang cocok di posisimu sekarang.” Senyumnya miring, penuh arti.
Pintu lift akhirnya terbuka di basement. Audy buru-buru melangkah keluar, nyaris setengah berlari menuju mobilnya.
Di belakangnya, Aldrich tertawa pelan, suara beratnya menggema samar. “Sial, gadis ini memang menghibur sekali,” gumamnya, sebelum berjalan santai ke arah mobil mewahnya yang sudah menunggu.
_____
Malam itu, rumah kediaman utama Sinclair terasa hangat. Lampu-lampu di taman sudah menyala lembut, sementara dari ruang tengah terdengar suara televisi menyala sekadar sebagai pengisi suasana. Audy baru saja tiba di rumah, melepas blazer kerjanya dan menjatuhkan tubuh ke sofa dengan napas lega.
Belum lama ia duduk, suara bel pintu berbunyi. Audy bangkit dengan penasaran, lalu membuka pintu. Ia sengaja menolak pelayan untuk membukakan pintu, karena dari suara belnya, Audy tahu siapa yang datang.
“Zoey!” seru Audy senang.
Sahabatnya itu berdiri dengan senyum lebar, menenteng dua kantong kertas berisi makanan. “Aku bawa bekal kebahagiaan untukmu. Hari pertama di divisi baru harus dirayakan, bukan?”
Audy spontan memeluk Zoey. “Kau memang sahabat terbaik!”
Mereka segera duduk di ruang TV, membongkar isi kantong yang ternyata berisi sushi favorit Audy dan minuman dingin. Tak butuh waktu lama sebelum keduanya sudah menyantap makanan sambil berceloteh.
“Jadi, bagaimana rasanya kerja di divisi strategis?” tanya Zoey, sambil menyuapkan sushi ke mulutnya.
Audy mendesah panjang, tapi matanya berbinar. “Rasanya… luar biasa. Semua orang menatapku dengan tatapan berbeda, bahkan Nadine dan Clara tadi tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut mereka saat melihat penampilanku.” Ia tersenyum puas, lalu melanjutkan, “Tapi, Zoey… masalahnya satu.”
Zoey menaikkan alis. “Masalah satu tapi sepertinya besar, ya. Siapa lagi jika bukan bos tampanmu itu?”
Audy langsung menatap sahabatnya dengan ekspresi kesal. “Iya, Aldrich! Dia… semakin menyebalkan, Zoey. Kau tahu tadi pagi dia datang ke divisi hanya untuk melihat-lihat. Dan entah kenapa… dia menatapku lama sekali, seperti—” Audy berhenti, wajahnya merona. “Pokoknya membuatku salah tingkah!”
Zoey menahan tawa, lalu menepuk paha Audy. “Oh my God, Audy. Kau ini antara benci dan… kau tahu lah.”
“Jangan mulai, Zoey!” potong Audy cepat, lalu menyeruput minumannya untuk menutupi kegugupannya.
“Tapi jujur,” Zoey melanjutkan dengan nada menggoda, “Aku bisa mengerti kenapa dia menatapmu begitu. Kau terlihat beda sekali hari ini, Audy. Lebih dewasa, lebih percaya diri. Siapa yang tidak akan terpana?”
Audy menunduk, memainkan sumpit di tangannya. “Huft, aku hanya tidak mau terjebak dalam pikirannya. Dia itu… tipe pria yang main-main, kan? Bahkan aku dengar-dengar—” ia berhenti, enggan melanjutkan.
Zoey mendekat, menatap Audy penuh rasa ingin tahu. “Dengar apa?”
Audy hanya geleng kepala. “Tidak penting. Yang jelas, aku harus tetap profesional. Dia bos, bukan siapa-siapa untukku.”
Zoey tersenyum miring. “Profesional, tapi wajahmu merah setiap kali menyebut namanya.”
Audy memukul bahu Zoey dengan bantal sofa, membuat mereka berdua tertawa keras. Malam itu, sambil menghabiskan sushi dan menonton acara TV, Audy akhirnya bisa melepaskan sedikit beban dari pikirannya. Meski begitu, bayangan Aldrich masih tersisa samar-samar—seperti rasa penasaran yang enggan pergi begitu saja.