Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Perlu dibalas
Siang harinya, Elma mulai mengemas barang-barang seadanya. Beberapa tetangga yang merasa kasihan hanya berani melihat dari kejauhan. Ada yang ingin menolong, tapi takut dianggap berpihak pada Elma dan berurusan dengan Bu Maya.
Di dalam kontrakan yang sempit itu, Elma melipat pakaian satu per satu sambil sesekali berhenti untuk mengusap perutnya. “Nak, maafkan Ibu. Ibu tidak bisa melindungi kita. Tapi percayalah, Ibu akan berjuang sampai kapan pun demi kamu.”
Tangannya bergetar, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Ia duduk di lantai, menatap koper yang mulai penuh, lalu memeluk perutnya dengan perasaan sedih.
Sementara itu, di rumah yang bereda, Ratna justru tertawa puas dan senang. Ratna duduk santai di kursi empuk, sementara Diana sibuk memoles kuku sambil tersenyum puas karena rencana mereka berhasil.
"Bu Maya pasti sudah mengusir Elma," kata Diana dengan nada penuh kemenangan. "Aku bisa membayangkan wajah Elma sekarang yang terpojok dan tidak memiliki tempat tinggal. Itu baru permulaan."
Ratna mengangguk sambil terkekeh. “Benar. Kalau dia sampai stres berat, kandungannya bisa terganggu. Itulah yang kita harapkan. Tanpa kita harus kotor tangan, Elma akan hancur dengan sendirinya.”
Ibu dan anak itu saling berpandangan lalu tersenyum licik di wajah masing-masing. Mereka tidak peduli bahwa di sisi lain, seorang perempuan hamil tengah menanggung derita yang tidak Seharusnya ia tanggung seorang diri.
Sore itu, Elma berdiri di depan kontrakan sambil membawa koper dan beberapa kardus kecil. Tubuhnya goyah, wajahnya pucat. Ia tidak tahu harus kemana. Jalanan di depannya terasa asing, seolah semua pintu tertutup rapat baginya.
Langkahnya berat, tapi ia tetap berusaha maju. Ia sadar, mulai hari ini kehidupannya akan semakin sulit. Namun di dalam hatinya ia berjanji akan hidup lebih baik walaupun Dion telah mencampakkan dirinya. Meskipun dunia seakan bersekongkol untuk menjatuhkannya, Elma tahu ia tidak boleh menyerah.
Jalanan tampak lengang. Angin sore bertiup pelan, membawa aroma debu bercampur asap kendaraan. Elma berjalan gontai sambil menyeret koper kecil dan memeluk kardus berisi pakaian seadanya. Air matanya tak berhenti menetes, wajahnya pucat karena terlalu lama menangis. Perutnya yang membesar membuat langkahnya semakin berat.
Ia benar-benar tidak tahu harus pergi kemana. Rumah kontrakan yang selama ini menjadi tempat berteduh sekarang telah tertutup untuk dirinya. Tidak ada saudara, tidak ada keluarga yang bisa dituju. Di setiap langkah, hatinya terasa semakin remuk.
Tiba-tiba, suara klakson pendek terdengar dari belakang. Sebuah mobil hitam berhenti tidak jauh darinya. Dari balik kaca, muncul wajah yang familiar, Amar.
“Elma?” suara itu terdengar jelas saat jendela diturunkan.
Elma menoleh dengan mata bengkak. Amar lansung keluar dari mobil. Wajahnya terkejut melihat Elma dalam keadaan begitu. Ia segera menepikan mobil, lalu bergegas menghampiri.
“Elma! Ada apa dengan dirimu? Kenapa kau di jalan sendirian dengan membawa koper? Kau mau pergi ke mana?” tanyanya dengan perasaan cemas.
Elma mencoba menahan tangis, tapi suaranya bergetar. “Aku baru saja diusir dari kontrakan. Aku tidak tahu harus pergi ke mana sekarang."
Mendengar itu, Amar terdiam sejenak. Matanya menatap koper dan kardus kecil di tangan Elma. Hatinya seketika dipenuhi iba. Ia menarik napas panjang, lalu mendekat, menepuk bahu Elma dengan lembut.
“Ya Tuhan, Elma… kau sedang hamil, mana mungkin kau harus berjalan sendirian seperti ini. Ayo, masuk ke mobilku dulu. Kita bicara di dalam,” ucapnya tegas namun penuh kelembutan.
Elma menggeleng pelan. “Tapi Mar, aku tidak ingin merepotkanmu lagi. Selama ini kau sudah banyak membantuku. Aku tidak memiliki uang untuk membayar tempat tinggal kalau pun harus ikut denganmu. Aku benar-benar tidak bisa.”
Amar menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis. “Dengar, Elma. Aku tidak peduli soal uang. Aku juga tidak butuh bayaran darimu. Untuk sementara, kau ikut denganku ke hotel. Kau bisa tinggal di sana sampai aku mendapatkan kontrakan baru yang lebih layak untukmu. Jadi tolong, jangan tolak lagi. Aku tidak akan membiarkanmu tidur di jalan dengan kondisi seperti ini.”
Elma menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya sudah terlalu lemah untuk berdebat. Hati kecilnya pun tahu kalau Amar sangat tulus. Dengan perasaan ragu, ia mengangguk pelan.
“Baiklah, tapi hanya untuk sementara waktu, Mar. Aku tidak ingin merepotkanmu terlalu lama,” katanya dengan nada pelan.
Amar tersenyum lega. “Itu sudah cukup. Ayo, masuk.”
Amar membantu Elma mengangkat koper dan kardus ke bagasi. Ia membuka pintu mobil, lalu memegang tangan Elma agar bisa duduk dengan nyaman. Elma merasa hangat oleh perhatian itu, sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Doni atau mertua maupun iparnya.
Sepanjang perjalanan, Elma hanya diam. Sesekali ia menunduk, mengusap perutnya. Amar meliriknya beberapa kali lewat kaca spion. Hatinya terenyuh melihat kesedihan yang terpampang jelas di wajah sahabat lamanya itu.
“Maaf Amar. Aku benar-benar merepotkanmu lagi,” ucap Elma tiba-tiba, suaranya pelan.
Amar menggeleng cepat. “Jangan pernah berkata seperti itu lagi, Elma. Kau bukan merepotkan. Kau sedang butuh bantuan, dan aku senang bisa ada di sini saat kau membutuhkannya. Lagipula, kita sudah lama saling kenal. Aku tidak akan tinggal diam melihatmu seperti ini.”
Air mata Elma kembali jatuh. “Aku hanya takut. Takut kalau suatu hari semua orang meninggalkanku. Dion sudah pergi, keluarga mertuaku membenciku, dan sekarang, aku benar-benar sendirian.”
Amar menghela napas dalam. Ia ingin memeluk Elma, menenangkannya, tapi ia menahan diri. “Kau tidak sendirian, Elma. Aku ada di sini. Dan mulai sekarang, biar aku yang memastikan kau tidak akan merasa sendirian lagi.”
Elma terdiam. Kata-kata Amar membuat hatinya hangat, walau sekaligus membuat air matanya semakin deras. Jika dulu Elma yang selalu ada untuk Amar, tapi sekarang Amar lah yang akan selalu ada untuk Elma.
Setengah jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah hotel megah. Lampu-lampu berkilauan menyambut kedatangan mereka. Elma menatap bangunan itu dengan terkejut.
“Amar, kau benar-benar mengajakku tinggal di sini? Hotel sebesar ini? Aku benar-benar tidak bisa membayarnya. Jangan, Mar. Aku bisa mencari kos kecil saja, tidak usah di hotel.”
Amar tersenyum kecil sambil menepuk bahunya. “Elma, dengarkan aku. Aku bukan hanya menginap di sini. Hotel ini keluargaku yang punya, dan sekarang aku yang mengelolanya. Jadi kau tidak perlu khawatir soal biaya apa pun. Anggap saja ini rumahmu untuk sementara.”
Elma terperanjat, menatap Amar tak percaya. “Hotel ini milik keluargamu?”
Amar mengangguk. “Iya. Jadi, kau tidak perlu merasa sungkan. Aku janji, tidak ada yang akan mengganggumu di sini. Kau bisa istirahat dengan tenang.”
Elma menunduk, menahan air matanya yang hampir jatuh lagi. “Aku tidak tahu harus berkata apa, terima kasih, Amar. Kau sangat baik padaku.”
“Tidak perlu berterima kasih. Cukup jaga dirimu dan bayi di kandunganmu. Itu sudah membuatku lega,” jawab Amar dengan tulus.
Mereka masuk ke dalam hotel. Beberapa staf menyapa Amar dengan hormat, lalu membantu membawa koper Elma. Ia dibawa ke sebuah kamar luas dengan ranjang empuk, balkon yang menghadap ke taman, dan fasilitas yang jauh dari bayangan Elma sebelumnya.
Elma berdiri kaku di tengah ruangan, masih sulit percaya ia bisa berada di tempat seindah ini setelah diusir dengan hinaan tadi pagi.
Amar mendekat, menatapnya lembut. “Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini. Anggap saja rumahmu sendiri. Kalau ada apa-apa, telepon aku. Jangan ragu.”
Elma menoleh, menatap wajah Amar dengan mata berkaca-kaca. “Amar, aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana membalas semua ini.”
Amar hanya tersenyum. “Tidak perlu dibalas, Elma. Aku hanya ingin memastikan kau bahagia."
Air mata Elma akhirnya jatuh, tapi kali ini bukan hanya karena kesedihan. Ada harapan baru yang perlahan muncul, berkat kehadiran Amar yang tulus menjaga dan melindunginya.