Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Kopi dan Virginia
Gedung pencakar langit tinggi menjulang. Di dalam sana lah saat ini Armando Mendoza berada. Gedung megah perusahaan Mendoza Corp kebanggaan keluarga Mendoza yang ia Pimpin sejak ia masih muda dan semakin bersinar hingga saat ini.
Armando sedang duduk dengan fokus pada berkas-berkas di tangan ketika seorang wanita cantik berpenampilan anggun masuk ke dalam ruangannya. Wanita cantik dengan name tag Esmeralda Gonzales di dadanya. Dia adalah sekretaris pribadi Armando Mendoza.
“Saya mengantarkan kopi Anda, Tuan,” ucap Esmeralda seraya meletakkan secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas.
Aroma kopi seketika menguar ke seluruh ruangan. Membuka lebar mata Armando yang sejatinya masih menyisakan rasa kantuk akibat tak nyenyak tidur semalaman.
“Terima kasih,” ucap Armando tanpa menoleh ke arah sekretaris.
Dengan tangan kirinya ia meraih cangkir berisi kopi panas tersebut. Mungkin ia memang butuh secangkir kopi. Perlahan Armando meminumnya, tapi sedetik kemudian memuntahkannya kembali dan meletakkan cangkir dengan kasar di atas meja. Sebagian kopi muncrat ke atas dan terjatuh mengenai berkas-berkas yang ada di atas meja.
“Kopi apa yang kau berikan padaku? Ini sama sekali tidak enak. Mana kopi yang biasa aku minum?” tanya Armando sambil mendongak menatap ke arah Esmeralda.
“Apa kalian sudah mulai bosan bekerja?” Armando benar-benar berang. Sudahlah pikirannya suntuk karena pekerjaan yang tidak beres, ingin minum kopi pun harus melalui drama.
“Maaf, Tuan,” ucap Esmeralda sambil menunduk. “Hari ini nyonya tidak datang mengantar kopi,” lanjutnya lalu kembali menundukkan kepala.
Armando tersentak ,menatap dengan gusar. “Apa kamu bilang? Virginia? Dia mengantar kopi? Jadi kopi yang selama ini aku minum adalah buatan Virginia?”
Esmeralda hanya bisa terdiam sambil menganggukkan kepala.
“Lancang kau! Bukankah aku sudah bilang? Jangan membiarkan wanita itu sembarangan mengatur?” Armando begitu geram. Lidahnya mengakui kopi buatan Virginia memang lebih nikmat, tapi egonya menolak.
Esmeralda terdiam dan tak berani menjawab. Wanita cantik itu teringat saat Nyonya Virginia menghubungi dirinya setiap kali sebelum waktunya Tuan Armando minum kopi.
Hari itu.
Esmeralda yang sedang fokus dengan berkas di hadapannya, menoleh ke arah ponselnya yang tiba-tiba berdenting tanda satu pesan masuk. Ada nama nyonya Virginia di layar dan ia segera membukanya.
“Esme, aku sudah ada di depan.”
Satu pesan dari nyonya Virginia membuat ia segera beranjak dari tempat duduknya. Di luar sedang hujan deras, dan nyonya berdiri menunggu di sana? Esmeralda menyambar payung hitam yang selalu tersedia di sudut ruangan.
“Esme, kamu mau ke mana?” tanya Francisca yang berpapasan dengannya.
“Aku mau ke bawah sebentar.” Esmeralda menjawab sambil berlari.
Francisca mengejarnya, lalu mencekal tangan Esmeralda.“Esme, kenapa kamu membahayakan dirimu sendiri? Jika tuan tahu kamu bisa dipecat!”
Esmeralda menghempaskan tangan Francisca. “Diam! Tuan tidak akan tahu jika kamu tidak melapor.” Esmeralda terus berlari tanpa mempedulikan Francisca yang mencemaskannya. Masuk ke dalam lift, dan menekan tombol untuk lantai terbawah.
Sampai di lobi, Esmeralda membuka payung yang dibawanya, lalu bergegas berlari menuju depan gerbang.
“Nyonya, apa yang Anda lakukan? Anda basah semua.” Esmeralda bertanya cemas. Matanya menatap iba ke arah Virginia yang dalam keadaan basah kuyup dengan memeluk sebuah termos.
Berdiri menunggu di luar gerbang karena Armando pernah mengultimatum dirinya untuk tak menginjakkan kaki di Mendoza corp.
“Aku membawakan kopi.” Virginia menyerahkan termos kecil yang ia bawa pada Esmeralda.
“Nyonya, tapi direktur sudah bilang…”
“Aku tahu.” Virginia menyela ucapan Esmeralda. “Dia pasti melarang kalian untuk menerima barang yang aku kirimkan, bukan?” tanya Virginia tidak peduli.
“Tidak apa-apa, kamu tidak perlu memberitahunya kalau ini aku yang mengirimkan. Dia sangat memilih soal kopi. Aku sudah mencari kopi jenis ini sejak lama.” Virginia menggenggam tangan Esmeralda dengan tatapan memelas, membuat Esmeralda cantik itu merasa terenyuh.
“Coba saja berikan ini padanya. Kalau dia suka aku akan kirim lagi, tapi kamu tidak perlu bilang padanya kalau ini dari aku.” Virginia memaksa Esmeralda untuk membawa termos kopi lalu pergi ke dari sana dengan tertawa gembira.
“Nyonya, bawa payung ini! Anda bisa sakit.” Esmeralda berteriak cemas, tapi Virginia sudah berlalu dengan tubuh basahnya.
Esmeralda hanya bisa menatap Virginia dengan tatapan yang rumit. Tuan Armando sudah menolaknya berkali-kali, tetapi Nyonya Virginia tak juga menyerah.
Itu adalah dulu. Saat untuk pertama kalinya Virginia mengantar kopi. Dan itu berlaku hingga beberapa hari yang lalu sebelum akhirnya nyonya tak pernah lagi datang.
“Nyonya Virginia benar-benar mencintai Anda, Tuan.” ucap Esmeralda.
Menggebrak meja, Armando menatap Esmeralda tajam. "Keluar!!" perintahnya. Ia tidak suka Esmeralda berbicara tentang Virginia. Baginya Virginia adalah palsu. Semua perhatiannya hanya topeng untuk mengambil hatinya.
"Permisi, Tuan." Esmeralda menunduk hormat lalu melangkah meninggalkan ruangan Armando. Dalam hatinya dipenuhi rasa iba untuk sang nyonya, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Kembali ke tempatnya dan mengusap setitik air yang dengan lancang merembes di sudut matanya.
Armando menyandarkan punggungnya pada kursi mewah kebesarannya. Mendengus kesal mengingat semua cerita Esmeralda. Menggelengkan kepala tersenyum miring.
“Virginia, kamu benar-benar licik. Bahkan kamu berusaha untuk mengontrol seluruh hidupku.” jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan geregetan. Sesuatu mulai mengusik hatinya, tapi ia terus menyangkal.
“Kamu takkan pernah berhasil Virginia. Aku bukan sebuah robot bodoh yang bisa kamu setir,” gumamnya.
Dering ponsel yang tergeletak di atas meja mengalihkan atensinya. Nama mamanya terpampang di layar, Armando segera meraih ponsel itu dan mengangkat panggilan yang masuk.
“Armando! Ke mana saja kamu? Sudah beberapa hari ini Virginia hilang. Apa kamu tidak tahu? Cepat cari dia?” Suara nyonya besar Mendoza terdengar panik dan marah di seberang sana.
“Hilang?” gumam Armando. “Kalau begitu biar ku lihat, berapa lama ia betah menghilang. Kamu benar-benar wanita licik. Kamu bahkan menggunakan mamaku untuk memaksaku. Apa hanya segitu saja kemampuanmu Virginia?” Armando benar-benar tak peduli.
“Kalau begitu, telepon aku setelah dia benar-benar mati.” Armando berucap sarkas lalu menutup panggilan. Tidak peduli mamanya yang marah-marah di seberang sana.
Tersenyum sinis. “Virginia, kamu benar-benar berusaha dengan luar biasa.”
*
*
*
Jam istirahat di kantin perusahaan.
“Eh kalian dengar berita tidak? Beberapa hari yang lalu di pantai ditemukan mayat perempuan.” ucap seorang karyawan.
“Iya. Aku juga sudah dengar. Katanya wajahnya sudah membusuk dan rusak, sehingga susah untuk dikenali,” sahut karyawan lain.
“Bukankah ini sudah seminggu Nyonya tidak datang ke kantor?”
“Aku dengar nyonya juga sudah keluar dari rumah keluarga Mendoza.”
“Jangan-jangan mayat itu adalah Nyonya.”
karyawan yang lain menimpali.
Armando yang kebetulan baru saja masuk kantin untuk membeli kopi tidak sengaja mendengar percakapan itu. "Nyonya?" serunya.
"Tuan?"
“Tuan?”
mendapatkan perlakuan sama pria-pria berjas hitam....
mendapatkan perlakuan sama dari pria-pria berjas hitam
untung adik iparnya waras
dan lepas Virginia