NovelToon NovelToon
Duda Dan Anak Pungutnya

Duda Dan Anak Pungutnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Duda
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18

“Sudah ah, ngajar aja daripada bicara sama kamu, Dinda. Bikin kesel!”

Fitri pergi meninggalkan Dinda begitu saja karena merasa sebal padanya.

Dinda yang tahu hal itu hanya diam dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia berharap yang terbaik untuk Fitri.

“Semoga kamu bisa dapat pria yang baik ya, Fitri. Karena kamu orang baik, dan aku harap itu akan terkabul.”

Itulah isi hati Dinda yang tak pernah Fitri tahu sebelumnya. Dinda hanya bisa berharap agar Fitri mendapatkan yang lebih baik.

Setelah selesai mengajar, Fitri teringat pria yang pernah ditemuinya—Pak Anton.

Entah kenapa, Fitri tidak bisa melupakan pria itu. Padahal mereka baru bertemu sekali, tapi Fitri merasa ada ikatan batin di antara mereka berdua.

Fitri sendiri tidak tahu apa maksud dari perasaan itu. Ia hanya berharap agar dirinya tidak terlalu banyak berharap pada orang yang sudah memiliki keluarga.

Fitri juga memikirkan bagaimana perasaan keluarga Anton melihat anaknya dikucilkan di sekolah. Ia berharap Anton tidak marah kepada semua guru karena perbuatan guru-guru lain.

Sampai di ruang BK, ada seorang anak bermasalah yang ingin konsultasi. Saat Fitri melihat anak itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari auranya.

Fitri tidak paham apakah anak itu ingin bersikap baik atau buruk. Namun, ia tetap menjalankan tugasnya sesuai prosedur.

Fitri tidak mau terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting baginya. Ia merasa lelah dengan semua yang sedang dijalankan.

Setelah selesai bertugas, Fitri pun pulang ke rumah. Namun pikirannya tidak berhenti sampai di situ—ia tetap memikirkan Pak Anton.

Walau tahu bahwa pikirannya itu salah, Fitri tetap saja membiarkan dirinya larut tanpa banyak pertimbangan.

 

POV Carol

Pak Anton baru saja pulang ke rumah. Ia menghampiri anaknya yang sedang duduk menonton TV di ruang tamu.

Anton sebenarnya sedang merasa lelah dan kesal dengan pekerjaan, tapi melihat anaknya membuat rasa kesalnya sedikit hilang.

“Papa kenapa? Kok mukanya ditekuk aja? Lagi ada masalah, ya?”

“Enggak ada sih, cuma lagi bingung aja. Lagi mikir, sebenarnya yang salah itu siapa.”

Carol penasaran dengan yang dipikirkan ayahnya.

“Emang masalahnya apa, Pa? Coba jelasin ke aku. Siapa tahu aku bisa bantu cari jawabannya.”

“Iya, sebenarnya masalahnya simpel. Cuma karena Papa ini pria, jadi kelihatannya lebih rumit aja. Padahal seharusnya pria itu enggak serumit wanita, kan?”

Carol hanya tersenyum mendengar jawaban ayahnya karena lucu juga kedengarannya.

“Mungkin Papa lagi banyak pikiran aja, makanya semuanya terasa rumit. Sebenarnya Papa lagi ada masalah apa?”

“Enggak tahu juga, cuma lagi males aja. Enggak tahu mau ngapain.”

“Ya udah, kalau lagi males, jangan dipikirin terus, Pa. Nanti malah bikin kepala mumet.”

Anton tersenyum mendengar ucapan Carol. Entah kenapa, hanya Carol yang bisa memahami dirinya.

Namun di dalam hati, Anton bingung—bagaimana kalau suatu saat Carol tahu bahwa dirinya bukan papa kandungnya?

Akankah Carol meninggalkannya, atau sebaliknya?

“Tuh kan, Papa bengong lagi. Aku jadi bingung, Papa mikirin apa dari tadi. Please, Pa, jangan bengong.”

Anton tetap terdiam sampai akhirnya Carol mendekap dirinya. Anton terkejut karena Carol sudah dewasa dan menurutnya tidak pantas lagi berpelukan seperti itu.

Ia tidak ingin menjadi ayah yang buruk. Sementara Carol sendiri bingung kenapa ayahnya terlihat menghindar.

Padahal dulu, Papa sendiri yang mengajarkannya untuk saling berpelukan bila sedang ada masalah. Tapi kini justru Papa yang menjauh.

Apa Anton merasa malu mendekap Carol yang kini sudah dewasa? Mungkin iya.

Namun bagi Carol, hal itu tidak masalah. Ia hanya berharap yang terbaik untuk ayahnya.

Walaupun tak bisa berharap banyak, memiliki sosok seperti Anton saja sudah lebih dari cukup baginya.

Akhirnya, Anton memilih pergi membersihkan diri dan mandi karena tidak tahu harus bicara apa lagi.

Sedangkan Carol masuk ke kamar untuk mengerjakan tugas dari Bu Fitri.

Ia bersyukur memiliki guru yang baik seperti Bu Fitri. Carol berharap Bu Fitri bisa menjadi wali kelasnya, agar ia tidak perlu was-was terhadap guru lain.

 

Keesokan Harinya

Carol mulai masuk sekolah seperti biasa. Sebenarnya, ia merasa belum siap untuk kembali.

Namun ia sadar, peristiwa yang dulu sudah lewat. Tidak seharusnya ia terus takut pada masa lalu.

Jika ia terus merasa takut, maka akan sulit baginya untuk berkembang dan mencari wawasan yang lebih luas.

Pagi itu, di meja makan, Carol hanya diam menatap makanannya tanpa banyak bicara.

Ia tahu dirinya belum sepenuhnya siap, tapi tetap harus mencoba agar bisa maju.

Carol berpikir, sekarang satu-satunya guru yang peduli padanya hanyalah Bu Fitri.

Jika ia terus di rumah, mungkin semakin banyak guru yang tidak menghargainya—semua itu karena ulah Pak Beno.

Seandainya saja di sekolah itu tidak ada Pak Beno, mungkin nama Carol tidak akan hancur seperti sekarang.

Tapi Carol tahu, yang sudah lewat biarlah lewat. Kini yang penting adalah menghadapi hari ini.

Anton menghampiri anaknya yang sudah rapi.

“Sayang, hari ini mau berangkat sekolah?”

“Iya, Pa.”

“Kenapa kamu kelihatan sedih? Enggak mau sekolah, ya?”

Carol hanya diam. Ia takut salah bicara, jadi memilih tidak menjawab.

“Enggak, Pa. Aku senang kok bisa sekolah, bisa ketemu teman-teman juga.”

“Bagus dong. Papa juga senang kalau kamu sekolah. Jadi kamu enggak bosan di rumah.”

Carol tersenyum kecil. Ia tidak ingin papanya terlalu khawatir.

Ia sadar, papanya sudah banyak berperan dalam hidupnya. Karena itu, Carol ingin berusaha mandiri dan menyelesaikan sekolah secepat mungkin.

“Sayang, nanti ke sekolah biar Papa antar, ya.”

“Boleh, Pa, asal enggak ganggu Papa. Soalnya sebenarnya aku juga pengen banget diantar Papa.”

Anton heran—tumben anaknya manja seperti itu. Biasanya tidak.

“Kalau kamu belum siap sekolah, enggak usah dulu. Papa enggak akan maksa.”

“Aku udah banyak dibenci guru, Pa. Kalau aku enggak sekolah, nanti mereka bisa-bisa enggak mau naikin aku kelas. Aku enggak mau itu terjadi, makanya aku berusaha semampuku.”

Anton terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka anaknya dibenci oleh para guru.

Baginya, anak sebaik dan secantik Carol tidak pantas diperlakukan seperti itu, apalagi oleh orang-orang terhormat seperti guru.

Anton jadi kesal dan kehabisan kata-kata. Ia ingin tahu alasan sebenarnya kenapa para guru tidak menyukai anaknya.

Menurutnya, Carol tidak pernah berbuat salah—tidak pernah menyinggung siapa pun.

Lantas, apa alasan mereka membencinya?

Anton merasa harus mencari tahu.

Namun Carol berkata pelan,

“Aku harap Papa enggak terlalu ikut campur urusanku, ya. Aku mau menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan Papa.”

Anton hanya diam. Ia tahu, anaknya keras kepala dan tidak suka dibantu. Karena itu, ia memilih menghormati keinginan Carol.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!