Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Abel masih tidak habis pikir dengan ucapan Raka, meskipun dalam beberapa situasi sikap Bian memang agak-agak menyebalkan tapi kalau mengatainya terlalu obses dengan seseorang bukankah terlalu berlebihan?
“Gue aja yang cari kayu bakar.”
Dinda keluar tenda sembari memakai sunblok. Terang benderang begini kalau tidak melakukan antisipasi, bisa-bisa kulit puthnya jadi gosong.
“Nggak takut belang nih?” Abel menelengkan kepala, mulai mengejek si princess satu itu. “Cuacanya lagi gacor banget buat bikin sakit kepala, takutnya lo malah pingsan di tengah hutan karena kepanasan.”
“Gue nggak selemah itu. Lagian, ini jatah gue buat nempelin Bian ke mana-mana.”
“Oh, bener juga. Akhirnya lo setuju buat kerja sama gue, ‘kan? Gengsian sih mentang-mentang kita nggak pernah akrab di luar jadwal keanggotaan.”
“Berisik!”
Dinda tiba-tiba mengulurkan telapak tangan. “Mana?”
“Apaan?”
“Susu kotak dari Bian. Gue tadi lihat lo dikasih dua biji sama dia. Kasih ke gue.”
“Ada di atas meja tuh.”
“Awas aja kalau gue lihat lo cari perhatian sama Bian lagi.” Dinda berkacak pinggang di depan Abel yang tengah duduk di atas tempat tidur.
“Lo tau, ‘kan, gue paling benci sama yang namanya pengkhianat. Sekali lo bilang nggak mau sama Bian, itu artinya kesempatan buat deket sama dia langsung musnah gitu aja. Jadi jangan pura-pura sakit kepala biar Bian perhatiin lo terus. Menjijikkan tau nggak?”
“Syap!”
Abel ikut keluar tenda, tadinya ingin melihat situasi sekitar karena anak-anak mulai mencari kayu bakar, tahu-tahu malah bertemu dengan Dita dan antek-anteknya.
“Enak, ya, yang ngaku sakit kepala langsung dikasih treatment khusus sama Pak Ketua.” Risty tersenyum mengejek, bentukannya sebelas dua belas dengan Dinda.
“Temen gue bela-belain sampai gemetaran tapi nggak pernah diwaro mentang-mentang nggak ada hubungan apa-apa, giliran yang pura-pura sakit malah diperhatikan kayak lagi ngangon bocah. Ini yang katanya nggak boleh standar ganda?"
“Yah, namanya juga sok polos, Ris. Sekali pasang puppy eyes juga orang-orang langsung iba sama dia,” sahut Anna.
“Sejak masuk keanggotaan semua peraturan udah tumpul ke dia. Kita sekalinya protes langsung dimaki-maki sama Bian, giliran dia yang ngomong semua orang harus tunduk sama dia.” Dita ikut menyahut, kini tengah menyilangkan tangan di depan dada.
“Baru kali ini lihat orang pacaran satu organisasi tapi nggak bikin iri sama sekali.”
Anna terkekeh karena ucapan Risty. Dita pun sama mengejeknya dengan seringaian tipis itu.
“Ngoceh aja sepuas kalian, gue juga nggak peduli.”
“Oh, wow!” Dita bertepuk tangan sembari geleng-geleng kecil. “Setelah nyusahin banyak orang ternyata lo nggak paham juga, ya? Udah nyusahin Laksa, sekarang masih berani nyusahin Gugus Harimau 3 dan Dinda juga. Besok-besok mungkin kita semua bakal dijadiin babu sama dia dengan embel-embel orang terdekatnya Bian. Najis!"
“Nyusahin Dinda? Dia yang kepengen cari kayu bakar, kenapa malah gue yang disalahin?”
“Sejak kita sampai lo udah kasih kontribusi apa aja sih, Bel? Bangun tenda? Enggak. Tertibin anak-anak? Enggak. Bahkan temen gue yang lagi periods cramps aja bela-belain mendampingi anak-anak buat cari kayu bakar. Terus lo tuh ngapain? Modal ngaku sakit kepala udah bisa bebas melakukan apa aja. Nggak sekalian ngaku lagi hamil biar lo nggak usah gerak ke mana-mana?”
“Kenapa jadi ke mana-mana deh? Gue juga berencana cari kayu bakar tapi malah digantiin sama Dinda, terus salah gue di mana?”
“Lo aja yang selalu cari alasan biar bisa ongkang-ongkang. Nyadar deh! Lo tuh di sini cuma sekretaris doang tapi lagaknya udah kayak yang punya dunia.”
Abel dibuat terdiam karena ucapan Anna.
“Oh, satu lagi.” Dita maju lebih dekat sampai Abel bisa merasakan deru nafasnya. “Berhenti nempelin Laksa kayak lintah parasit. Gara-gara lo, Bian jadi nggak bisa menilai dengan adil dan objektif. Gara-gara lo, kelompok Laksa terancam nggak bisa memenangkan perlombaan apapun. Berhenti cari gara-gara seolah lo pusat dunia, Abel Kalula. Gara-gara tingkah lo yang sokab itu, orang lain jadi kena getahnya.”
Abel mendengus pelan, dia mendorong Dita dengan jari telunjuk. “Kalau suka sama Laksa ngomong aja.”
“Lo beneran nggak ngerti apa permasalahannya, ya?”
Dita mendorong Abel hingga ia tersungkur ke tanah. Alih-alih segera melarikan diri, Dita justru menatap Abel begitu rendah.
“Dasar trouble maker.”
Risty melempar es kopi dengan ukuran yang cukup besar. Benda dingin itu berhasil mengenai tulang pipi, alhasil muncul darah segar dari sana.
“Makan tuh sifat sok akrab lo itu.”
Mereka berlalu dengan langkah lebar, meninggalkan Abel yang tengah menahan tangis. Sial! Gara-gara periods sialan ini, segala sesuatunya jadi terasa menyedihkan.
“Bel, lo nggak apa-apa?”
Raka tiba-tiba datang dengan raut khawatir karena sebelumnya telah menyimak pembicaraan itu cukup lama.
“Amaaaan.” Abel bangkit setelah mengusap mata. Jangankan Raka, Dito saja tidak boleh mengasihaninya.
“Pipi lo berdarah.”
“Nanti juga sembuh. Dah, ya, gue mau nyusul cari bakar dulu.”
Pada titik temu menuju hutan, Abel tak sengaja berpapasan dengan Laksa. Tapi alih-alih menghakimi karena pipi Abel terluka, Laksa justru diam saja. Mungkin beranggapan kalau Abel tidak ada di sana.
“Bel, kok jadi ikut ke sini?” Bian menyambut dengan wajah khawatir. “Dinda bilang lo lagi nggak enak badan makanya mau istirahat di tenda aja. Kenapa malah nekat sampai sini?”
“Bosen kalau harus di tenda terus. Lagian gue cuma mau lihat-lihat aja kok.”
“Pipi lo kenapa?" Bian menangkup wajah Abel dengan kedua tangan. “Kenapa tiba-tiba terluka kayak gini? Tadi habis kepentok atau malah berantem sama orang? Ini udah diobatin apa belum? Kenapa nggak kasih tau gue kalau lo kenapa-napa sih, Bel? Emang sesusah itu, ya, buat percaya sama gue?”
“Cuma luka kecil ah, nanti juga sembuh.” Abel dorong tangan Bian dari wajahnya. Bukan karena takut akan dipelototi Dinda, tapi malas saja karena semua orang mulai memperhatikannya.
“Ayo balik ke tenda buat obatin pipi lo.”
“Nggak usaaaaah.”
“Bel?”
Abel mulai melarikan diri. Tidak mau kalau harus membuat teman-temannya merasakan kecemburuan sosial lagi.
“Widih, berangkatnya bareng sama Laksa nih. Udah janjian apa gimana?” ejek Anjani.
“Diem lo bonggol ketela.”
“Ahahaha, kenapa nih mukanya tiba-tiba manyun begini? Lagi ada prahara rumah tangga, ya?”
“Nggak denger!”
Abel mulai memunguti ranting-ranting kecil yang ditemukannya. Mendorong Alika untuk kembali ke tenda karena wajahnya mulai pucat pasi. Oh, kedatangan tamu bulanan memang sedikit merepotkan.
“Balik ke tenda aja, Al. Minta dianterin sama siapa gitu daripada pingsan di sini.” Abel menoleh ke arah Bian. “Anterin dia, Bi. Nggak kasihan itu anak lo udah mau pingsan? Kalau sakit jangan dipaksa aktivitas, kasihan badannya malah tambah sakit."
“Gue?”
“Masa lo nyuruh gue? Gue nggak kuat kalau disuruh gendong dia sampai tenda. Udah lo aja, anak PMR nggak ada yang ikut ke sini.”
“Kalau nggak enak badan jangan maksain.” Bian menepuk puncak kepala Abel sebelum menggendong Alika sampai tenda.
“Yaaa.”
Selepas kepergian Bian dan Alika, Dinda diam-diam mendekat. Tadinya pura-pura mengambil ranting sebelum berbicara dengan nada sinis.
“Gue udah bilang lo nggak usah ke sini, kenapa bandel banget sih? Sengaja mau bikin citra gue makin jelek di mata Bian karena udah bohong apa gimana?"
“Bosen kalau nangkring terus di tenda.”
“Seharusnya Bian nggak anterin Alika.”
“Keadaan darurat.”
“Cowok lain masih banyak yang kosong, kenapa malah minta Bian turun tangan?" Dinda semakin mendekat dengan wajah angkuh. "Yang seharusnya digendong Bian itu gue, Bel. Kenapa malah jadi orang lain sih?"
“Wujud tanggung jawab.”
Dinda menoleh, membuat keduanya saling bertatapan. “Kenapa lo selalu menghancurkan rencana gue? Udah paling bener gue nggak mengasihani lo kalau ujungnya bikin tambah nggak tahu diri kayak gini.”
“Daripada salahin gue kayak gini, kenapa nggak lo aja yang berusaha lebih keras buat narik perhatian Bian?”
“Lo ngajarin gue, hah?”
“Hak gue apa buat ngajarin lo segala, tapi minimal berkaca dulu sebelum salahin orang lain.”
Dinda mendorong Abel. Lagi-lagi sampai membuat gadis itu tersungkur ke tanah. Beberapa orang memang menyaksikannya, namun Dinda masih enggan mengalah.
Ketika semua orang berpikir dua gadis itu akan saling jambak-jambakan, Dinda justru meletakkan seluruh ranting dan kayu ke atas pangkuan Abel.
“Gais, berhubung Kak Abel bersikeras bantu kita padahal lagi nggak enak badan, taruh aja kayu kalian di sekitar sini biar dia yang bawa.”
“Heh, nggak bisa gitu dong! Orang lagi sakit kok malah disuruh angkat-angkat kayu,” teriak Abi dari
kejauhan.
“Justru itu. Karena Kak Abel nggak mau disuruh istirahat, jangan kecewain usaha dia. Yang udah dapat kayunya langsung taruh terus balik ke tenda. Habis ini masih harus antri kamar mandi.”
“Beneran nggak nih, Kak?”
“Bener. Udah taruh situ aja, Kak Abel mampu bawa
sampai tenda kok.”
Satu persatu pengumpul kayu mulai meletakkan hasil jerih payah mereka, beberapa membawa kayu besar, tapi tak sedikit pula yang menyerahkan ranting. Lebih dari itu, jumlahnya cukup banyak. Mungkin Abel harus bolak-balik agar bisa mengangkut semuanya.
“Udah semua, ‘kan? Ayo balik ke tenda kalau gitu.”
Dinda menggiring mereka kembali, menyisakan Anjani, Abel dan Laksa yang tengah memandangi punggung Dinda dengan makian tertahan.
“Dia ngapain berulah lagi sih? Adaaa aja kelakuannya kayak balita kebanyakan bikin proyek."
“Loh, dia, ‘kan, ketua gengnya.”
“Sial!” Anjani ikut terkekeh, dia menyangklong kamera sembari membantu Abel mengangkut kayu. “Pipi lo kenapa deh? Perasaan sebelum gue ke sini masih mulus-mulus aja. Lo nggak berantem sama Dito, ‘kan?”
“Ada kucing garong lewat.”
“Bawa yang kecil-kecil aja.” Abi mengambil kayu-kayu berukuran besar dan menggotongnya dengan Laksa. Yah, meskipun Laksa terlihat tidak mau sih.
“Widih, ada pangeran berkuda putih lagi berusaha menyelamatkan princess nih. Curiga lo ngintilin gue terus karena mau modusin Anjani.”
“Sotoy! Gue nih teman paling berdedikasi karena rela nganterin temen gue pendekatan, mana jadi tukang kayu lagi,” sahut Abi.
“Biasanya jadi mamang-mamang penjual nasi goreng, ya, Bi?”
“Koki elah, kenapa jadi mamang-mamang penjual nasi goreng dah?"
Abel tertawa lagi, sesekali sempat melirik ke arah Laksa. Yang dilirik malah melengos ke arah lain. Tidak peduli.
“Berantem nih?”
“Sama siapa?”
“Nih!” Abi menunjuk Laksa dengan dagunya. “Biasanya udah gombal nggak jelas, sekarang malah diem-dieman kayak orang sariawan. Bau-baunya emang ada prahara rumah tangga.”
“Sebenernya gue pengen ngobrol santai berdua gitu, Bi, tapi malu kalau kelihatan kecintaan kayak gitu.”
“Ahahah, kampret. Ada aja jawaban lo.”
“Tapi gue juga penasaran, ada prahara apa sampai Abel yang biasanya cerewet tiba-tiba kalem begini?"
“Vibesnya kayak orang mau putus ‘kan, Jan?” sahut Abi.
“Ho’oh.”
“Lagi bonding batin.”
“Heleh pret!”
Abel tak mengatakan apa-apa meskipun Laksa sempat menatap jika dilihat dari ekor mata. Alhasil, Abi dan Anjani mulai saling pandang karena tambah penasaran.
“Bi, mereka kenapa sih?”
“Nggak usah berisik!”
***
Malam semakin menjelang, kini waktu mulai bergerak menuju pagi. Tenda-tenda mereka masih dibiarkan menyala setelah melewati jurit malam. Beberapa orang sengaja menyeduh mie, sampai bau harumnya menyebar ke mana-mana.
“Mau ke mana, Lak?”
Semua orang lantas memperhatikan Laksa yang kini mulai bangkit dari kursi.
“Gelang gue jatoh.”
“Lo mau cari ke hutan?” sahut Abi. “Udah malam anjir, nggak nunggu besok aja sekalian jelajah medan apa? Takutnya malah ketemu ama hewan liar di sana.”
“Itu gelang pemberian ayah.”
“Gue temenin deh. Nggak tega gue kalau lo kelayapan sendirian,” ucap Dipa.
“Nggak usah. Pinjemin gue senter, punya gue abis baterai.”
Romi langsung mengulurkan senternya.
“Jangan jauh-jauh, Lak. Kalau ngga nemu di pinggir hutan langsung balik aja soalnya senter gue juga udah mau abis baterainya.”
“Hm.”
“Beneran nggak mau ditemenin?”
“Ngga usah.”
Laksa menyelinap keluar tenda, mengendap-endap sampai ke mulut hutan. Tadinya ia ingin kembali dengan cepat, tapi sesuatu seperti mendorongnya untuk masuk lebih jauh.
Senter milik Romi mulai berkedip-kedip, tapi Laksa nekat berjalan lebih jauh. Semakin masuk hutan, dinginnya angin semakin ingin membekukan tulang. Derit batang pohon yang saling bergesekan membuat Laksa merinding setengah mampus.
SREK! SREK! SREK!
“Siapa itu?”
Tak ada jawaban, namun suara itu terdengar semakin kencang. Laksa jelas dibuat semakin merinding—cenderung takut— bahkan hampir memaki karena nekat berjalan sejauh ini. Tak lama setelah itu, muncul suara dug dug dug di sekitar.
“Gue lagi nggak pengen bercanda. Keluar! Tunjukan muka lo kalau berani!"
Tak ada jawaban lagi. Laksa mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha menemukan sumber suara dengan bantuan cahaya bulan karena senternya mulai mati. Di dekat pohon besar, Laksa seperti menemukan sesuatu, lantas suara dug dug dug terdengar lebih kencang.
“Siapa?” Laksa berusaha mendekat meskipun ragu-ragu. “Lo manusia, ‘kan?”
Yang terdengar setelahnya hanyalah isak tangis kecil.
“Sial! Masa gue ketemu sama kunti?”