Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 19
Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang lumayan bikin pegal, Zia tiba di sebuah taman kota yang cukup ramai. Udara sore terasa segar, bercampur dengan aroma tanah basah dari siraman air di rerumputan. Suara anak-anak tertawa di area bermain, pedagang kaki lima yang sibuk menawarkan dagangannya, dan musik jalanan samar-samar terdengar di telinga.
Begitu mobil berhenti, Zia buru-buru membuka pintu dan melangkah keluar.
"Makasih, Pak," ucapnya sambil sedikit membungkuk sopan.
"Sama-sama, Neng Zia," balas sopir itu sambil tersenyum ramah sebelum melajukan mobilnya pergi.
Zia berdiri sebentar, matanya menyapu pemandangan taman. Siapa tahu Jenny sudah berada di sini. Tapi setelah beberapa kali mengedarkan pandangannya, sosok sahabatnya itu sama sekali tidak terlihat.
Baru saja Zia mau mengeluarkan ponselnya untuk menelpon, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dari belakang.
"Haiii!" suara itu terdengar ceria.
Zia refleks menoleh dan wajahnya langsung berseri-seri.
"Aaaa, Jenny!" serunya sambil langsung memeluk sahabatnya erat-erat.
"Lo kangen gue, ya?" goda Jenny dengan senyum jahil.
"Banget!" jawab Zia sambil melepas pelukan itu.
Jenny menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu mendengus kagum."Ehh… kok lo makin lama makin cantik sih?".
"Jenny bisa aja. Ini juga karena kamu yang ngajarin zia cara berpenampilan dan merawat tubuh," balas Zia sambil terkekeh.
Jenny mengangkat alis, lalu tiba-tiba menoleh ke sekeliling.
"Ehh, bentar… sepupu gue mana, ya?" gumamnya sambil memindai kerumunan.
"kamu ke sini bareng sepupu kamu?" tanya Zia penasaran.
"Iya," jawab Jenny singkat.
tidak lama, Jenny menunjuk ke arah seorang cowok yang sedang melambai-lambaikan tangannya,"Nahhh, itu dia!" ucapnya.
Cowok itu melangkah mendekat, senyum ramahnya langsung kelihatan dari jauh.
"Kenalin, ini sepupu gue. Namanya Raka," kata Jenny.
"Haiii," sapa Raka sambil sedikit mengangguk.
"Haii, aku Zia," balas Zia sambil tersenyum tipis.
"Eh, kita mau kemana nih?" tanya Jenny sambil mengayunkan tas kecilnya.
"Gimana kalau kita ke mall? Mumpung uang aku banyak hasil tabungan aku selama ini" ucap Zia dengan senyum lebar, matanya sampai berbinar-binar.
"Boleh tuh!" jawab Jenny cepat, seakan nggak mau melewatkan ide bagus.
"Nanti kita makan di restoran yang nggak terlalu mahal aja, ya," lanjut Zia sambil menatap Jenny.
Jenny mengangguk, sedangkan Raka hanya duduk diam di bangku, memperhatikan mereka berdua tanpa banyak komentar.
"Yuk, kita ke mobilnya Raka," kata Jenny sambil menoleh ke arah cowok itu.
"Let's go!" seru Zia bersemangat, sampai membuat Jenny gemas sendiri.
"Ahh, bestie gue emang selalu cute," ujar Jenny sambil mengnguyel-nguyel pipi Zia tanpa ampun.
"Jenny, pipi aku jangan diginiin~" rengek Zia sambil mengerucutkan bibirnya, membuat Jenny malah ketawa puas.
Raka yang dari tadi hanya memandangi, tersenyum tipis. Tatapan matanya nggak bisa ditebak, campuran antara tenang tapi ada maksud tersembunyi.
Gue harus bisa dapatin Zia, batin Raka sambil mengangkat satu sudut bibirnya membentuk smirk tipis.
"Mana mobil kamu, Kak?" tanya Zia agak gugup, merasa tatapan Raka tadi seolah membekas di kulitnya.
"Di sana," jawab Raka santai sambil menunjuk ke arah sebuah mobil putih yang terparkir agak jauh.
"Yuk!" seru Jenny, langsung menarik tangan Zia menuju parkiran.
Zia cuma bisa ikut, langkahnya sedikit ragu. Bukan karena malas, tapi pikirannya masih dipenuhi bayangan tatapan Raka barusan yang entah kenapa terasa… menakutkan sekaligus bikin jantungnya berdetak nggak karuan.
_____
Aksa dan Azka akhirnya sampai di mansion mewah milik orang tua mereka. Udara dingin dari AC sentral langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk, bercampur aroma parfum ruangan khas Mamih Aura yang lembut tapi menusuk. Baru saja mereka sempat menaruh tas di sofa ruang tamu, suara khas Mamih Aura yang tinggi dan sedikit nyaring langsung terdengar.
“Ya ampun, kalian berdua ini lama banget! Mamih sampe nungguin dari tadi, tau nggak?!” omel Mamih Aura sambil melipat tangan di dada, tatapannya penuh tuntutan. “Udah deh, mending kalian tinggal di sini aja. Ngapain sih betah banget di rumah Oma Ririn? Di sini kan lebih nyaman, fasilitas lengkap, nggak kekurangan apa-apa.”
Aksa hanya menghela napas, lalu melirik Azka. “Mamih, kita udah nyaman di sana,” jawabnya pelan tapi tegas.
Azka mengangguk setuju, suaranya lebih kalem. “Iya, Mamih. Lagian di sana kita bisa lebih fokus, nggak terlalu banyak gangguan.”
Mamih Aura mendengus pelan, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Sejak dulu, Mamih Aura memang lebih menjunjung Aksa. Di matanya, Aksa adalah sosok yang lebih bijak, tenang saat mengambil keputusan, dan punya cara berbicara yang menenangkan orang di sekitarnya. Bagi Mamih Aura, sifat itu sangat berharga, terutama dalam keluarga besar mereka yang kadang penuh intrik dan masalah kecil yang bisa membesar jika tidak ditangani dengan kepala dingin.
Sementara itu, Papih Elias—yang baru saja keluar dari ruang kerjanya sambil membawa secangkir kopi hitam panas—punya pandangan berbeda. Baginya, Azka adalah anak yang paling bisa diandalkan dalam urusan pekerjaan. Ia gesit, cekatan, dan hampir selalu punya solusi cepat untuk masalah yang datang tiba-tiba. Bahkan di kantor keluarga, Azka sering menjadi andalan karyawan ketika situasi sedang rumit. Papih Elias tak jarang membanggakannya di depan kolega atau rekan bisnis, mengatakan bahwa anak bungsunya itu “lebih unggul dan siap memegang kendali kapan saja.”
“Pasti Abang kamu kan yang nyuruh kamu tinggal di sana selamanya,” ucap Mamih Aura sambil menatap tajam ke arah Azka, nada suaranya penuh kecurigaan. Tatapan itu seperti sedang menuntut jawaban, membuat suasana ruang tamu seketika menghangat.
Papih Elias yang baru saja menyesap kopinya langsung menimpali, “Mama nggak bisa nyalahin Azka dong,” ucapnya tenang, namun sarat pembelaan. Pandangannya bergeser sekilas pada Azka, seolah memberi sinyal bahwa ia tidak sendiri dalam situasi ini.
Aksa menepuk bahu Azka pelan sambil tersenyum tipis. “Santai aja, kita nggak usah ambil hati.”
Azka membalas senyum itu. “Iya, abang tau. Abang nggak peduli juga.”
Sejak kecil, mereka berdua memang sering dihadapkan pada pandangan orang yang mencoba membandingkan satu sama lain. Tapi di balik semua itu, mereka justru saling melindungi. Tidak pernah sekalipun mereka membiarkan omongan orang merusak hubungan mereka sebagai saudara.
Setelah perdebatan kecil itu, suasana mulai mencair. Mamih Aura akhirnya mengalah, walau masih terlihat kesal. Ia lalu menyuruh pembantu rumah menyiapkan camilan dan minuman. Papih Elias duduk di kursi panjang, mengajak Azka ngobrol santai tentang bisnis dan rencana liburan keluarga. Aksa, yang duduk di sebelah Mamih Aura, hanya mengangguk-angguk mendengarkan, tapi sesekali melempar candaan ke Azka.
Malam itu, meski sempat diwarnai tensi tipis, mereka tetap menghabiskan waktu bersama. Aksa dan Azka tahu, pulang ke mansion orang tua memang kadang terasa seperti masuk ke dunia yang penuh tuntutan, tapi setidaknya mereka masih punya satu sama lain. Dan selama mereka saling percaya, omongan orang—termasuk dari orang tua sendiri—tidak akan pernah mengubah cara mereka melihat satu sama lain.