Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sehelai rasa
Sore menjelang. Sinar matahari mulai redup, menembus jendela kaca cafe dengan lembut. Namun Camelia masih setia di tempatnya, tenggelam dalam lembar demi lembar bacaan yang tak kunjung membuatnya bosan. Sejak tadi, ia nyaris tak mengangkat wajah, seakan dunia luar tak lagi penting baginya.
Di sisi lain ruangan, Sena berdiri di balik meja bar. Apron cokelat tuanya masih melekat rapi, namun pikirannya tidak sepadat tugasnya. Matanya tak henti mencuri pandang ke arah sudut ruangan, ke arah Camelia.
Sudah beberapa jam dia di sana. Kenapa belum pulang juga? batin Sena, menggigit bibir bawahnya.
Ia tahu, Camelia adalah tipe yang bisa larut dalam buku seperti tersedot ke dalam dunia lain. Tapi sejak ia memberikan segelas signature vanilla brew tadi, Camelia bahkan belum menyentuhnya. Duduk diam, membaca dan tidak bereaksi. Itu membuat Sena tak tenang.
Akhirnya, ia melepas sarung tangannya, merapikan apron, dan dengan langkah percaya diri, ia mendekat ke meja Camelia.
Srek!
Suara kursi kayu yang ditarik memecah kesunyian kecil itu. Camelia langsung mendongak. Di hadapannya, Sena sudah duduk dengan santai.
"Aku ganggu, nggak? Maaf kalau kedengarannya nggak sopan, tapi kamu nggak pulang?" tanyanya hati-hati.
Camelia mengernyit. Ia menutup bukunya dengan sedikit kasar, membuat beberapa helai rambutnya terangkat tertiup gerakan tiba-tiba itu. "Anda mengusir saya, Pak?" tanyanya.
Sena nyaris panik. Ia mengangkat kedua tangannya defensif. "Ah, enggak! Bukan begitu, Mel. Maksudku—"
"Kalau memang ada biaya tambahan karena saya duduk terlalu lama di sini, bilang saja. Saya pasti bayar," potong Camelia cepat, lalu membuka kembali bukunya tanpa melihat ke arah Sena.
Sena terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan. Sikap gadis di depannya memang angkuh, tapi justru itu yang membuatnya menarik.
"Jangan salah paham. Aku tanya begitu karena kamu dari tadi cuma baca tanpa jeda. Sendiri, tanpa teman."
"Terus kenapa, Pak?" jawab Camelia masih tanpa menatapnya.
Kata ‘Pak’ itu terdengar terlalu formal, dan entah kenapa, mengusik hati Sena. Ia mendesah, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Camelia, ini di luar kampus. Kamu nggak perlu panggil aku ‘Pak’, apalagi bersikap kaku dan terus menerus berbicara formal. Anggap saja aku ini teman mu."
Camelia hanya mengangguk kecil, enggan menanggapi lebih jauh.
"Aku lebih senang kalau kamu bisa anggap aku teman, meskipun ya, aku memang dosenmu di kampus," lanjut Sena, mencoba tersenyum.
"Iya," balas Camelia singkat, seolah tidak ingin memperpanjang.
Sena mulai gelisah. Ia mengusap tengkuknya sebentar, sebelum akhirnya memberanikan diri bicara. "Mel, maaf soal malam itu, ya. Aku tahu kamu nggak nyaman. Mungkin kamu marah sama aku."
Kali ini Camelia menutup bukunya lagi dan menatap Sena. “Jadi, kamu masih kepikiran soal itu?”
Sena mengangguk. Tatapannya meredup, penuh sesal.
“Udah, lupain aja. Aku juga nggak mau memperpanjang hal yang bikin capek. Buang-buang energi," ujar Camelia, kemudian menunduk lagi.
"Iya, benar juga…” ucapnya lirih. Tapi sebelum sempat menambahkan apapun, ia mengalah. "Ya udah, aku balik kerja dulu, ya." Ia bangkit dari duduknya, lalu melangkah pergi meninggalkan Camelia.
Gadis itu sempat mengikutinya dengan pandangan sekilas, lalu mendengus pelan. Dia kenapa, sih? Kalau nggak lagi mode dosen, bisa bikin orang tambah bingung. Plonga-plongo, nggak jelas. Tapi, gemas juga sih kalau pakai baju kayak gitu.
Refleks, Camelia menepuk kepalanya sendiri. Aduh, apa sih yang aku pikirin ini? Gila!
Meski bibirnya datar, hatinya sedikit berdebar. Entah karena minuman yang belum ia sentuh atau karena pria yang kini berjalan kembali ke balik meja bar, dengan punggung tegap dan siluet yang perlahan-lahan mulai sulit untuk diabaikan.
Camelia menatap kembali buku di tangannya, namun kali ini, huruf-huruf di halaman itu tampak kabur, tak lagi mampu ia cerna seperti sebelumnya.
Fokusnya beralih. Bukan ke kata-kata, bukan ke cerita. Tapi ke sosok pria berpakain casual di balik meja bar, dosen yang seharusnya menjadi jarak, tapi malah perlahan menyusup masuk ke ruang pikirnya tanpa permisi.
Aneh.
Kenapa harus dia? Kenapa harus orang yang paling tidak seharusnya aku pikirkan? Sejak kapan suara baritonnya mengganggu ritme bacaanku? Sejak kapan aku memperhatikan caranya tertawa kecil atau cara ia menyebut namanya tanpa gelar?
Camelia, mencoba menetralisir hatinya yang tidak biasa ini. Tapi semakin ia mencoba, semakin jelas denyut aneh itu berdegup di dalam dirinya.
Bukan, ini bukan cinta. Aku tidak tahu apa itu cinta. Aku bahkan tidak paham bagaimana rasanya dicintai. Yang aku tahu, aku nyaman dengan sunyi. Aku terbiasa sendiri dan aku tidak pernah membiarkan siapapun menembus ruang itu, ruang yang kubangun tinggi, kukunci rapat. Tapi entah kenapa, lelaki itu seolah tahu di mana celahnya.
Camelia menunduk lagi. Kali ini, bukan untuk membaca. Tapi untuk bersembunyi dari dirinya sendiri.
......................
Cukup rasanya untuk hari ini. Camelia merasa telah memanjakan dirinya dengan menyendiri di KANA. Beberapa bab dari buku favoritnya berhasil mengisi hari yang sepi tanpa terasa. Judul-judul seperti The Sun and Her Flowers karya Rupi Kaur, Norwegian Wood oleh Haruki Murakami, hingga The Little Prince dari Antoine de Saint-Exupéry menemaninya larut dalam dunia yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan.
Langit pun mulai meredup, tanda malam perlahan mengambil alih. Camelia bangkit dari duduknya dan bersiap untuk pulang. Namun sayangnya, cuaca malam ini lebih dingin dari biasanya, terasa menusuk kulit, terlebih bagi dirinya yang hanya mengenakan dress bermotif bunga dengan tali kecil yang menampakkan bahu.
“Huu, dinginnya.” gumamnya pelan, memeluk tubuh sendiri saat keluar dari area parkir.
Langkahnya terhenti saat tiba-tiba sebuah jaket hangat mendarat di pundaknya. Seketika tubuhnya terperanjat. Ia menoleh cepat, dan mendapati sosok pria yang familiar menatapnya dengan sorot teduh yang dalam.
“Pakai, ya. Setidaknya ini bisa buat tubuh kamu hangat,” ucap Sena, sambil membenarkan posisi jaket yang terlihat kebesaran di tubuh ramping Camelia.
Camelia mengangguk tipis. “Iya... terima kasih, Pak,”
“Sena. Panggil aku Sena,” sela pria itu cepat. “Bukannya aku udah minta kamu, kalau kita sedang tidak di kampus untuk tidak bersikap formal?”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi dan apakah aku perlu mengantarmu?” tanyanya, kali ini sedikit mencondongkan tubuh ke arahnya.
Camelia tersentak saat menyadari pundaknya sempat disentuh. Ia langsung menggeser langkah menjauh. “Nggak usah, Pak. Maksudnya... Mas... eh, Sena.” Nadanya terdengar gugup dan canggung.
Sena menahan senyum. Dalam hati, ia membisik, ‘Mas’ manis sekali, aku suka.
“Mas, aku menyukainya, kamu boleh memanggilku begitu. Terdengar lebih, akrab.” kata Sena sambil tersenyum hangat.
Camelia tidak membalas, hanya tersenyum kecil, senyum yang sangat singkat, namun cukup untuk membuat dada Sena terasa sesak dan berdebar.
Sebenarnya apa maksudnya? Ingin jadi teman, lalu akrab begitu? pikir Camelia.
Namun ia memilih tidak memperpanjang percakapan. “Aku harus pulang, Mas Sena. Selamat malam,” ucapnya akhirnya, lalu melenggang pergi menuju arah luar, menyisakan jejak aroma parfumnya di udara malam yang mulai dingin.
Langkahnya hampir hilang dari pandangan, tapi mendadak ia berbalik. “Dan, terima kasih untuk signature vanilla brew-nya. Rasanya enak, mungkin kalau aku datang lagi kesini, aku akan memesannya lagi.” katanya, kemudian kembali berjalan menuju tepi jalan, menunggu taksi.
Sena masih berdiri di tempat, berkacak pinggang, tersenyum kaku namun sumringah. Dalam hatinya, ia gaduh. Apa tadi itu ... lampu hijau? Atau aku saja yang terlalu percaya diri?
Tapi yang pasti, malam ini Camelia tampak berbeda. Masih dingin, masih datar. Tapi, ada sesuatu yang perlahan mencair.
Sena masih terpaku di tempatnya. Tatapan matanya belum lepas dari punggung Camelia yang perlahan menjauh, menyatu dengan remang lampu jalan dan hembusan angin malam. Ada sesuatu dalam langkah gadis itu yang selalu membuatnya ingin mendekat, tapi juga takut melukai.
Jaketnya kini dikenakan oleh Camelia dan entah mengapa, ia merasa, sedikit memiliki.
Di sisi lain, Camelia duduk di dalam taksi, memandangi jendela dengan pandangan kosong. Di luar, lampu-lampu jalan melintas seperti serpihan kenangan yang enggan mampir. Tangannya terangkat menyentuh jaket di pundaknya, masih hangat dan masih beraroma kopi dan sedikit lavender, aroma Sena.
Apa ini caranya peduli? Atau hanya bentuk basa-basi dari seseorang yang tidak ingin terlihat bersalah? batinnya.
Camelia tidak berusaha menepis kehangatan itu. Tidak buru-buru melepaskan jaketnya, tidak pula menggugat maksud di baliknya.
Malam ini ia tidak ingin tahu segalanya. Ia hanya ingin merasa. Merasa hangat, meski sebentar. Merasa diperhatikan, meski belum tentu cinta. Merasa aman, meski belum tahu tujuan. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang tak ingin ia pahami dulu.
Biar waktu yang menjawab.
Karena terkadang, hati tidak butuh kepastian. Ia hanya butuh diakui keberadaannya, meski lewat secangkir kopi dan sehelai jaket di malam yang dingin.