Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
Gedung kaca tinggi dengan sistem keamanan berlapis itu kembali hidup pagi ini. Alaska melangkah cepat masuk ke ruang rapat utamanya—beberapa pria bersetelan gelap dan jas resmi sudah menunggu.
Ekspresi Alaska jelas tidak bisa ditawar hari itu. Ia marah besar.
“Tiga pengiriman tertahan di pelabuhan timur, dua di antaranya tanpa izin yang dijanjikan. Apa kalian tidur sepanjang malam?”
bentaknya keras, melemparkan folder tebal ke meja, membuat ruangan hening.
“Saya sudah bilang, barang itu harus jalan tepat waktu! Kalau sekali lagi tertunda, kalian pikir saya tidak bisa ganti semua kepala di sini?”
Para kepala bawahan tertunduk, tak berani bicara. Amar hanya berdiri di sudut ruangan, mencoba membaca gestur Alaska dengan hati-hati.
Alaska menatap layar LED di dinding—peta pengiriman ilegal yang kini tersendat. Matanya semakin tajam, dan suaranya dingin:
“Siapkan pengganti koordinator tim pelabuhan. Hari ini. Dan jangan ganggu saya lagi dengan masalah yang sama!”
⸻
Sementara Itu – Mansion Pribadi Alaska
Cahaya pagi menembus tirai putih di kamar Sancha. Tapi wanita itu masih duduk membatu di ranjang. Gaunnya belum terganti. Rambutnya tergerai tak terurus. Matanya kosong.
Naif, salah satu maid muda yang bertugas, masuk dengan nampan sarapan hangat. Ia tersenyum gugup, mencoba ramah. Untuk Kedua kalinya tuan nya membawa wanita kedalam rumah ini,yang pertama adalah mantan tunangan nya dan sekarang statusnya lebih tajam,yaitu mengandung anak dari Alaska.
“Selamat pagi, Nona Sancha… ini sarapan pagi Anda. Ada jus jeruk, roti gandum, dan bubur hangat…”
Sancha tidak menoleh. Ia bahkan tak menyentuh nampan itu.
Naif menunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahan.
“Nona… tolong… makan sedikit saja. Kalau tidak makan, kami yang disalahkan… kami bisa dihukum.”
Sancha perlahan menatapnya, tapi tidak dengan simpati—melainkan kehampaan yang menusuk.
“Aku tidak lapar. Ambil saja makanannya.”
Naif meletakkan nampan di meja kecil, tapi tak lama kemudian… Sancha menendangnya hingga jatuh ke lantai.
Piring pecah. Bubur tumpah. Jus menyebar di karpet putih.
Naif menahan napas, kaget, tapi tidak membalas. Ia hanya merunduk, membersihkan makanan itu dengan tangan gemetar.
Setelah beberapa saat, ia mengambil nampan kosong itu dan keluar dari kamar, air matanya mulai menetes.
Di koridor, Naif dengan tangan bergetar meraih ponsel khusus milik staf, lalu menghubungi nomor darurat internal.
“Halo… Tuan Amar? Ini Naif… saya minta maaf, tapi… Nona Sancha tidak mau makan sejak tadi pagi,Dia hanya duduk, diam, menolak apa pun… saya takut, Tuan… jika ini terus seperti ini, kami bisa…di hukum…!”
Amar yang saat itu sedang berada di ruang kerja Alaska mengangkat teleponnya, dan wajahnya langsung berubah.
Ia menoleh perlahan ke arah Alaska yang masih sibuk menginterogasi anak buahnya tentang pengiriman.
“Sancha tidak makan…” gumamnya lirih, tapi penuh tekanan moral. Ia tahu, jika Alaska diberitahu… bisa terjadi dua hal:
Kemarahan besar. Atau sesuatu yang jauh lebih dingin dan berbahaya.
Ruang Kerja Alaska – Siang Hari, Markas Besar
Suasana ruang kerja Alaska sunyi, hanya terdengar suara gesekan pena di atas berkas-berkas penting. Di luar kaca, langit Kanada tampak kelabu.
Amar, berdiri dengan wajah gelisah di depan meja besar tempat Alaska duduk. Tangannya meremas map kecil, dan napasnya sedikit berat karena menimbang risiko dari ucapannya.
Alaska tidak menoleh, matanya fokus pada laporan pengiriman dan grafik jaringan bawah tanahnya.
“Bicara, Amar,”ujar Alaska tanpa menatap.
Amar ragu, namun akhirnya membuka suara dengan nada hati-hati:
“Tuan… maafkan saya, tapi saya rasa ini perlu Anda ketahui.”
Alaska menghentikan gerakan tangannya “Tentang?”
Amar menelan ludah.
“Tentang… Nona Sancha.”
Alaska menoleh perlahan. Matanya tajam, namun belum marah—belum. “Apa yang terjadi?”
“Dia menolak makan, Tuan. Sejak tadi . Maid kami, Naif, sudah beberapa kali mencoba. Bahkan dia bersujud memohon. Tapi Nona Sancha… tidak menyentuh makanan sedikit pun. Dia hanya duduk membatu di tempat tidur. Tak bicara. Tak bergerak.”
Alaska terdiam.
“Dan tadi pagi… dia menendang nampan makanan. Makanan berserakan di lantai. Naif menangis. Tapi tak ada satu pun kata keluar dari mulut Sancha.”
Amar memberanikan diri menatap Alaska langsung.
“Saya tahu ini mungkin bukan prioritas utama Anda hari ini, tapi… jika dia terus seperti itu, kehamilannya bisa…”
Satu detik.
Dua detik.
Alaska hanya menatap kosong ke arah Amar. Tidak marah. Tidak emosi. Tapi ada perubahan kecil di wajahnya—sesuatu seperti… guncangan.
Ia lalu berdiri perlahan, melepas sarung tangannya dan meletakkannya di meja.
“ di mana dia sekarang?”
“posisi tetap sama seperti semua tuan,nona Sancha masih berada di kamar…!
“Suruh naif tetap di posisinya. Jangan biarkan siapa pun masuk ke kamar Sancha.”
“Apakah Anda akan kembali ke mansion, Tuan?”
tanya Amar dengan pelan.
Alaska menatap jendela kaca besar di belakangnya. Udara dingin tampak menggantung seperti bayangan gelap dari pikirannya.
“Siapkan mobil.”
“Sekarang?”
“Ya. Kita kembali.”
⸻
Beberapa menit kemudian – Dalam Mobil
Di dalam mobil hitam yang melaju cepat menuju mansion, Alaska hanya duduk diam, matanya kosong menatap keluar jendela. Amar di sampingnya, ikut diam, tahu bahwa badai baru saja mulai bergerak.
Langit mendung bergelayut di atas mansion megah milik Alaska. Mobil hitam berhenti tepat di pelataran utama. Para pengawal membungkuk memberi hormat.
Alaska keluar dari mobil dengan langkah cepat. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun Amar yang berjalan di belakangnya tahu, ini bukan tenang—ini tanda badai.
Maid dan penjaga hanya menunduk saat Alaska melangkah menuju lorong sayap timur—menuju kamar Sancha.
Klik.
Pintu dibuka dengan kode khusus. Alaska masuk… dan mengunci dari dalam.
Kamar Sancha
Cahaya senja masuk tipis dari sela tirai.
Sancha masih duduk di tepi ranjang. Gaun tidurnya kusut. Wajahnya pucat, mata sembab. Piring sarapan pagi dan siang yang tak disentuh masih ada di meja kecil.
Ia mendengar langkah Alaska masuk, namun tidak bergerak sedikit pun. Tidak menoleh. Tidak menyambut.
Hanya diam.
Alaska mendekat, berdiri di hadapan Sancha. Ia memperhatikan dengan seksama.
Wajah Sancha tampak lebih lelah dari sebelumnya. Mata cekung, kulit pucat, tubuh sedikit gemetar.
“Kau tidak makan,”
ucap Alaska pelan namun terdengar sangat jelas.
Sancha tetap diam. Tak menanggapi.
“Berapa lama kau ingin menyiksa dirimu seperti ini? Kau pikir aku akan luluh hanya karena kau tidak menyentuh makanan?”
Sancha menoleh pelan. Tatapannya kosong tapi dalam.
“Aku tidak butuh simpati darimu,”
ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.
Alaska mengepalkan tangannya. Suaranya mulai meninggi.
“Ini bukan tentang simpati! Ini tentang anak yang kau kandung! Aku tidak peduli kau membenci aku, tapi—”
Sancha berdiri dengan goyah, dan tiba-tiba tubuhnya oleng. Tangannya memegang pinggiran ranjang, tapi lututnya hampir tak kuat menopang.
Alaska langsung menangkap lengan Sancha sebelum jatuh.
“Sancha!”
Napas Sancha memburu. Kepalanya berat. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Aku tidak mau anak ini tumbuh dalam kekerasan dan kebencian… Kalau aku harus kehilangan semuanya demi itu… biar.”
Alaska menahan bahunya, menatap wajah pucat Sancha yang kini bahkan sulit membuka mata.
“Kau sudah cukup gila… jangan tambahkan bunuh diri perlahan pada daftarmu!”
“Kau bukan Tuhan, Alaska…”ucap Sancha lirih, hampir seperti bisikan.
Alaska terdiam sejenak. Nafasnya dalam. Ada sesuatu yang perlahan-lahan muncul di balik matanya yang tajam—ketakutan. Tapi ia belum siap mengakuinya, bahkan kepada dirinya sendiri.
Akhirnya, ia berseru:
“Amar! Panggilkan dokter! Cepat!”
⸻
Beberapa menit kemudian – Dokter pribadi Alaska tiba.
Sancha terbaring lemah, infus dipasang di lengan. Jantungnya masih normal, tapi tubuhnya kelelahan parah. Kekurangan nutrisi dan stres berat membuat kandungan mulai rawan.
“Jika dia terus begini… risikonya bisa sangat fatal,”ujar dokter kepada Alaska, lirih.
⸻
Setelah dokter pergi, Alaska duduk di kursi di sebelah ranjang Sancha. Ia menatap gadis itu yang tertidur lemah.
Untuk pertama kalinya…
Alaska tidak berkata apa-apa.
Ia hanya duduk.Menjaga.Menunggu.Dan di dalam dirinya, sebuah bisikan kecil mulai tumbuh:
“Apa yang sebenarnya kau kejar, Alaska? Balas dendam? Kontrol? Atau… kau hanya takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum kau pahami?”batin alaska memandang tubuh Sancha yang masih pingsan.
Alaska berdiri dari duduk nya,dan mengunci kamar Sancha kembali,
”tuan..!”seru Ali
“berikan ia perawatan yang instan,semakin perketat penjagaan di luar kamar,dan besok bawa dia cek kehamilan nya,saya akan tunggu di rumah sakit pukul 1 siang pada jam makan siang..atur jadwal dengan dokter Luna…”perintah Alaska mengambil kunci mobilnya.
Ali mendekat…”tuan mau saya antarkan..?”
gausah..”jawab Alaska mengangkat tangan nya.