Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Akhir Cinta Pertama
Bab 33. Akhir Cinta Pertama
POV Arumi.
"Hihihi..."
Segera ku balikan tubuhku begitu mendengar suara kekehan seseorang. Renata, bagaimana sepupu ku itu bisa ada di ambang pintu kamarku?
Ku lihat Bibi ART tampak ketakutan dan merasa tidak nyaman di belakang Renata. Dia pasti sudah berusaha mencegah. Namun ku tahu, Renata pasti tidak mendengarkan.
"Ada apa lagi?" Tanyaku mencoba untuk tetap tenang.
Sudah pasti dia ingin mengusik ku lagi.
"Hmm... Apa rasanya, memiliki sesuatu yang bukan milikmu, HAI PENCURI?!"
Aku menggigit bibir bawahku, geram. Ucapannya begitu kasar padahal kami bersaudara. Padahal aku tidak mencuri darinya, tapi dia lah yang telah meninggalkan begitu saja. Tapi caranya memperlakukan ku seperti orang lain yang menjadi musuh baginya.
Ku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Kenapa baru sekarang merasa kehilangan?! Kemarin-kemarin kemana saja?!" Kataku.
Bisa ku lihat rahangnya mengeras dan tangannya terkepal di samping. Aku tahu kata-kataku akan semakin memancing kemarahannya. Tapi aku juga ingin membela diriku.
"Suami yang tampan dan kaya. Bertanggung jawab dan sangat peduli meski dia tipe lelaki yang tak banyak bicara. Siapa pun pasti ingin bersama pria seperti itu." Kataku lagi.
"Rupanya ada yang bertepuk sebelah tangan. Ingat ya, jangan pernah berani-berani kamu memiliki perasaan terhadap Dimas! Dia milik ku, dan selamanya akan menjadi milik ku."
"Justru kamu yang kini bertepuk sebelah tangan. Apa Dimas masih punya perasaan yang sama padamu? Kurasa tidak lagi." Balasku.
"Kau..! Huh... Mau bagaimana pun perasaan Dimas padaku, kamu tetap tidak akan memilikinya. Apa kamu pikir dia mau melunasi semua hutang-hutang orang tuamu?! Apa kamu pikir keluarganya bisa terima anak mereka menjadi sapi perah untuk melunasi hutang seorang istri yang hanya pengganti?! Mikir!!
Kali ini aku yang mengepalkan tanganku. Aku sadar, ucapannya benar. Tidak mungkin keluarga Dimas mau menerima anaknya membayarkan hutang-hutangku. Dan yang pasti, aku jadi tidak punya muka untuk bertemu mereka.
"Hihihi..."
Lagi-lagi Renata terkekeh.
"Tidak bisa jawab kan?! Mau bagaimana pun kamu bertahan, kamu tidak akan bisa bersama Dimas. Pilihan mu hanya satu, bercerai dari Dimas!!"
Sesak rasanya. Dan hanya bisa diam.
"Jadi, kapan kamu akan bercerai? Semakin lama kamu menunda semakin berasa bunga hutangmu!
Kepala ku rasanya mau pecah. Hatiku berat, tapi aku tak punya pilihan lain.
"Terserah. Lakukan saja apa yang kamu mau." Jawab ku sembari memalingkan muka.
Aku tak ingin melihat senyum puas Renata yang menambah sesak di dadaku. Pasrah sudah. Biarlah, aku terima nasib ku jika memang ini takdir ku untuk menjadi janda ke 2 kalinya.
Mengingatkan bagaimana sifat Renata, ku yakin dia tidak akan menyerah untuk mencapai apa yang dia inginkan. Buktinya, dia rela meninggalkan Dimas. Pasti ada sesuatu yang sedang dia kejar dan itu sangat berharga baginya.
"Baiklah, aku tak akan sungkan lagi. Besok pengacara ku akan menemuimu di kafe waktu itu. Dan kau boleh bersiap malam ini untuk membereskan semua barang-barang mu. Jangan ada sisa! Aku tak sudi memakai barang bekas!"
"Buat apa?"
"Buat urus perceraianmu!"
Renata tersenyum getir. Lalu melangkah pergi meninggalkan aku yang gelisah dan tak berdaya sendiri.
Kaki ku melemah begitu Renata tak terlihat lagi. Dan ambruk di tepian ranjang yang menjadi saksi.
"Bu...."
Ku lihat Bibi menatap ku sendu dan berjalan mendekatiku. Dia berusaha untuk membangunkan aku yang terduduk lemah di lantai.
"Bu..."
"Aku tidak apa-apa Bi."
"Saya tadi tidak bisa menahan wanita tadi. Maaf..."
"Tidak apa-apa Bi. Dia memang seperti itu."
"Siapa dia sebenarnya Bu? Maaf kalau saya ikut campur."
"Dia sepupu ku Bi. Maaf, kalau dia sudah membuat Bibi takut."
"Astagfirullah... Kenapa sesama saudara jahat sekali?"
"Ya begitu lah manusia Bi. Terkadang saudara sendiri seperti orang asing. Dan orang asing terasa seperti saudara."
"Kenapa dia tidak di adukan saja kepada Bapak, Bu?"
"Tidak Bu. Ini hanya masalah antara keluarga ku saja."
"Tapi tadi... Emm, maaf... Bukan maksud Bibi mau nguping, hanya saja..."
"Dia dulunya kekasih Bapak, sebelum Bapak menikah dengan ku. Tapi menjelang hari pernikahan, dia kabur. Dan aku menggantikannya menikah dengan Bapak. Dan sekarang, dia kembali untuk menempati posisi yang seharusnya."
"Saya tidak tahu harus berkata apa. Ibu yang sabar ya. Setiap kesulitan akan ada kemudahan setelahnya. Semoga yang Maha Kuasa melancarkan segala urusan Ibu dan mengangkat kesulitan Ibu."
"Aamiin. Terima kasih Bi."
***
Kepala ku terasa berat. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan keputusan ku ini. Kantung mataku sedikit menghitam, mataku terlihat sayu dan kelelahan.
Jam 10 pagi ini, aku bertemu dengan pengacara yang di utus oleh Renata di kafe tempat kami bertemu sebelumnya. Barang-barang ku sudah aku kemasi ke dalam koper. Sudah bersiap dengan segala keputusan meski berat dan sedih menusuk ke tulang-tulang.
Ku lihat Renata sudah duduk disamping seorang pria berusia kisaran 35 tahunan. Senyum getirnya terbit ketika melihat ku berjalan menuju ke arahnya. Dan tanpa banyak bicara aku duduk di depan mereka.
"Nih! Tanda tangan!"
Tanpa basa basi Renata menyodorkan padaku beberapa lembaran kertas bersama sebuah pulpen di atasnya. Ku tarik perlahan kertas-kertas itu dan hendak membacanya.
"Tidak perlu di baca! Cepat, tanda tangan saja! Semua sudah di urus Pak Tomi. Kau tinggal terima hasilnya saja. Cepat!!"
Aku membuang napas kasar. Renata begitu tidak sabaran.
"Aku perlu membaca dulu. Bahwa dengan menandatangani semua berkas ini, semua hutang-hutang akan lunas."
Muka Renata berubah masam. Lalu dia memberikan lagi kepada ku lembaran yang terpisah dari yang sebelumnya.
"Nih! Jika kamu kembali lagi dengan Dimas, maka begitu pula hutang-hutang itu akan aku tagih kembali!"
Ternyata hutang-hutang itu akan terus menempel pada ku.
Ku baca dengan teliti isi poin-poin dalam surat perjanjian yang di buat Renata. Hanya ada 2 poin disana, yaitu : apabila aku kembali kepada Dimas, maka seperti katanya tadi, bahwa aku harus melunasi hutang-hutang itu. Dan aku terbebas dari hutang, bila mana aku tidak berhubung sama sekali dengan Dimas setelah bercerai.
Menghela napas panjang, aku mulai menanda tangani satu persatu lembaran di atas meja. Entah dengan alasan apa Renata dan pengacaranya tampak yakin, urusan perceraianku akan berjalan dengan lancar. Mungkin itu sebabnya membayar pengacara sangatlah mahal. Karena mereka bisa melakukan yang orang biasa tidak bisa lakukan.
Renata tersenyum puas melihat semua kertas sudah aku tanda tangani.
Setelah selesai menandatangani, lembaran perjanjian masing-masing di pegang oleh ku dan satunya lagi oleh Renata.
"Bagus! Tunggu saja kabar baik ini di rumah mu. Ingat, sepulang dari sini kau harus meninggalkan rumah Dimas karena itu bagian dari rencana perceraianmu!"
Renata dan pengacaranya beranjak bangun dari duduk mereka dan mulai meninggalkan meja dimana aku masih duduk tak percaya akan segera menjadi janda untuk kedua kalinya.
Aku mengeluarkan handphoneku setelah Renata tak terlihat lagi. Ku pandangi kontak Dimas, masih ada bekas chatan ku dengannya sejak beberapa bulan lalu dan tak pernah aku hapus. Ingin rasanya aku mengetikan sesuatu disana, sekedar pamit walau pun dia tak membalas.
Ku urungkan niatku, lalu memasukan handphone ke dalam tas. Aku beranjak berdiri dan segera keluar dari kafe itu.
"Pak, bisa pulang lebih dulu. Saya ingin jalan-jalan sendiri." Ujar ku kepada Pak Hasan yang selalu setia mengantarkan ku kemana saja.
"Biar saya antar saja Bu. Kalau Bapak tahu Ibu di biarkan sendirian, nanti bisa marah."
Ya, aku lupa. Aku tidak bisa bertindak sesuka hati. Pak Hasan pasti dimarahi Dimas jika membiarkan aku berjalan sendiri.
"Kalau begitu, bisa kita keliling-keliling dulu sebelum pulang Pak?"
"Iya Bu, tenang saja."
Aku mengangguk. Lalu masuk ke dalam mobil di ikuti Pak Hasan. Mobil pun mulai bergerak meninggalkan kafe.
Ku pandangi pemandangan apapun di luar jendela sembari melamun. Cinta pertama ku pupus sudah. Ini kah rasanya putus cinta? Rasanya sangat berat. Pantas saja banyak yang menangis karenanya. Bahkan mataku pun tak kuasa menahan. Mata yang sejak tadi mengembun mulai menjatuhkan air mata . Ini berat, melepas dirinya yang bahkan belum sempat ku miliki seutuhnya.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
Nanti dapat piala Citra
moga aja dimas terselamatkan dr rencana ular betina itu... 🤧🤧
arif mna arif... rif tolongin bosmu rif.. bosmu mau di mangsa ular betina😩😩😩
apa ini... jgn bilang ini akal2an renata n mau jebak dimas.. mau bikin huru hara itu kayaknya si ulet bulu🙄🙄🙄 moga arif bisa nolong dimas andai semua ini jebakan si renata