NovelToon NovelToon
Chaotic Destiny

Chaotic Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Fantasi / Epik Petualangan / Perperangan / Light Novel
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Kyukasho

Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.

Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.

Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.

Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9 Remake: Tangisan Gadis Itu

Angin sepoi menyentuh wajah Sho lembut, membawa aroma rerumputan liar yang tengah bermekaran. Ia berdiri di tengah padang rumput luas yang membentang sejauh mata memandang. Langit berwarna biru muda bersih tanpa awan, dan jauh di depan, terdapat sebuah pohon raksasa dengan dahan lebar yang menjulang kokoh. Sho melangkah perlahan menuju pohon itu, lalu duduk di bawahnya. Kehangatan dari cahaya matahari menyelimuti kulitnya, tapi anehnya... Semuanya terasa terlalu tenang.

Terlalu damai.

Sho menatap tangannya sendiri. Tak ada luka. Tak ada rasa sakit.

“Hm?” gumamnya lirih.

Suara langkah pelan menghentikan lamunannya. Dari samping, seorang wanita muncul dan ikut duduk bersamanya. Rambutnya panjang dan hitam berkilau, menyapu permukaan rumput. Matanya... Merah rubi yang menyala lembut—warna yang sama dengan milik Sho. Gaunnya seputih kabut pagi, tapi wujudnya memancarkan sesuatu yang lebih dari manusia.

Sho sedikit mundur. “K-Kau siapa?”

Wanita itu tersenyum lembut. “Sudah lama, Sho.”

Ia memiringkan kepala, seperti tengah mengamati wajah Sho dalam-dalam. Wajahnya terasa asing, namun... Ada sesuatu dalam sorot matanya. Sesuatu yang sangat familiar. Sho merasa seperti pernah mengenalnya. Entah di mana... Atau kapan.

“Kau terasa familiar... Siapa kau sebenarnya?” Sho bertanya pelan.

Wanita itu tidak langsung menjawab, hanya menunduk dan mengusap daun rumput yang menyentuh ujung jarinya.

“Memori adalah pedang bermata dua,” ujarnya tenang. “Kadang, untuk melindungi seseorang, kenangan harus dikorbankan.”

Dan saat itu juga, sesuatu seperti gelombang cahaya menyelimuti kepala Sho.

Kepala Sho seakan-akan meledak dan memorinya kembali.

Wanita yang tersenyum padanya. Suara tawa. Tangan yang memgelus kepalanya.

Cora.

Wajahnya yang samar perlahan menjadi jelas. Seorang wanita yang selalu bersamanya dulu… kini hadir dalam wujud dewi yang duduk di sampingnya.

“Cora...” Sho berbisik, matanya membelalak.

Persephone tersenyum. “Itu nama yang kau berikan padaku saat kau masih kecil. Nama itu... adalah bentuk cintamu pada alam dan kehidupan. Aku menyayangimu, Sho, sejak hari itu.”

Air mata nyaris jatuh dari mata Sho, namun tubuhnya gemetar bukan karena sedih—melainkan karena keindahan, kekaguman, dan kebingungan yang bercampur jadi satu.

“Kenapa sekarang?” tanyanya.

Persephone bangkit perlahan, lalu menunduk ke arahnya. “Karena kau telah membuktikan siapa dirimu. Sekarang... Kau sudah siap.”

Sebuah cahaya hijau menyelimuti dada Sho, tepat di tempat kalung kristal itu tergantung.

“Dengan ini,” suara Persephone bergema, kini berat dan agung, “aku Persephone, Ratu Dunia Bawah dan Dewi Musim Semi, memilih Sho Noerant sebagai inkarnasi pilihanku.”

Sebelum Sho bisa bertanya apa pun, dunia di sekelilingnya mulai retak seperti kaca.

Dan ia terbangun.

---

Terengah-engah, Sho mengedipkan matanya beberapa kali. Terang dari siang hari menembus celah tenda, menyilaukan sedikit pandangannya. Aroma ramuan dan kain kasa memenuhi udara. Kepalanya berat, tapi tubuhnya... Tak merasakan sakit apa pun.

Ia menoleh ke samping. Di sana, Aria tertidur di atas kursi kayu, kepalanya miring, rambut birunya jatuh tak beraturan di pundaknya. Tapi yang paling mengejutkan—tangan Aria menggenggam erat tangannya sendiri. Sangat erat, seolah-olah jika ia melepaskannya, Sho akan lenyap dari dunia ini.

Sho tersenyum kecil. “Apa semua itu hanya... mimpi?”

Namun, tiba-tiba suara lembut muncul di dalam benaknya—tanpa suara, tapi menggema di kesadaran.

“Bukan mimpi, Sho. Aku di sini.”

Sho membeku.

“Mulai dari titik ini... Aku akan selalu bersamamu. Sebagai mentor, pelindung, dan sumber kekuatanmu.”

“Karena kau... Adalah High Human. Inkarnasi dari Persephone.”

Matanya membelalak perlahan. Sebuah gelombang kekuatan hangat terasa berdenyut dari kalung di lehernya, lalu menjalar ke jantungnya, ke nadinya, ke seluruh dirinya.

Sho Noerant kini... Bukan lagi hanya seorang remaja biasa.

Ia adalah sosok baru. Sosok yang akan mengubah dunia.

---

Suara napas teratur dan lembut membangunkan Aria dari tidur yang tak benar-benar nyenyak. Kelopak matanya bergetar sebelum perlahan terbuka. Cahaya matahari pagi merambat masuk melalui celah kain tenda, menerpa wajahnya yang letih. Sakit kepala samar masih terasa dari kurang tidur, tapi... ada sesuatu yang berbeda.

Hawa hangat di telapak tangannya.

Aria menunduk. Matanya membelalak seketika.

Sho.

Lelaki itu sudah bangun. Bahkan sudah duduk di ranjang tipis yang disediakan. Mata merahnya tampak sendu, seolah baru kembali dari tempat yang sangat jauh. Tapi... Ia hidup. Ia benar-benar hidup.

Tangan mereka masih saling menggenggam.

“Aria...” Sho mencoba berbicara, namun belum sempat menyelesaikan kalimatnya—

Tubuh Aria langsung menerjang ke arahnya, memeluknya erat. Napas gadis itu tercekat, dan saat ia menyandarkan wajahnya ke dada Sho, bahunya mulai bergetar.

Air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

“Aku... Aku pikir aku kehilanganmu juga...” suara Aria pecah dalam tangis, tidak lagi peduli apakah ada orang yang mendengar. “Aku... Sudah kehilangan Ayah. Aku tidak tahu harus bagaimana kalau kau juga pergi, Sho...”

Sho terdiam. Tangannya perlahan membalas pelukan itu, ragu-ragu pada awalnya, tapi kemudian lebih erat, lebih yakin. Hangat. Nyata. Tidak ada kata yang mampu ia ucapkan—karena tidak perlu. Pelukan itu sudah menyampaikan semuanya.

Beberapa saat mereka hanya diam. Dunia di luar tenda terasa menjauh. Hanya mereka berdua, di ruang kecil itu—menyatu dalam luka dan rasa syukur.

Akhirnya, Aria melepaskan pelukannya perlahan. Matanya masih basah, tapi senyumnya yang tipis dan tulus jauh lebih kuat dari air mata yang tadi jatuh.

“Kau harus makan,” katanya, menghapus air matanya cepat-cepat. “Kau belum makan sejak—” suaranya tercekat sebentar, “—sejak dua hari lalu...”

Sho hanya mengangguk pelan. Ia masih belum percaya sepenuhnya bahwa ia bangun dan Aria benar-benar ada di depannya. Tapi genggaman tangan gadis itu masih terasa, menuntunnya keluar dari tenda.

Di luar, langit cerah. Angin membawa aroma tanah dan abu, bercampur dengan rumput dan kabut pagi. Mereka berjalan menuju tenda suplai yang terletak di ujung area evakuasi. Tenda itu dipenuhi oleh warga Rivera yang masih selamat—sebagian besar dengan wajah lelah, tubuh terluka, atau pikiran kosong.

Anak-anak duduk bersisian dengan tangan saling menggenggam, beberapa orang tua menyuapi anak mereka dengan tangan gemetar, dan para ksatria dari kerajaan Vixen menjaga antrean agar tetap teratur.

Aria dan Sho melangkah di antara mereka dengan hati berat. Beberapa wajah menoleh—sebagian mengenal mereka, sebagian lainnya hanya melihat sepasang anak muda yang masih utuh di antara puing kehancuran.

Sho merasa seperti orang asing di tengah tempat yang dulunya disebut rumah. Tapi saat Aria menggenggam tangannya lebih erat, ia tahu satu hal:

Ia belum sendirian.

---

Sho duduk di bangku kayu panjang, mangkuk logam kosong di tangannya. Sup kentang yang tadi ia santap sudah habis sejak beberapa menit lalu. Perutnya kenyang, tapi pikirannya belum benar-benar tenang.

Beberapa warga Rivera yang selamat menghampirinya.

Ada yang menepuk bahunya perlahan.

Ada yang hanya tersenyum dengan mata sembab.

Beberapa mengucapkan namanya dengan suara gemetar, seolah tak percaya dia benar-benar ada di hadapan mereka, hidup dan utuh.

Sho hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum yang tertahan. Jauh di dalam hatinya, ia merasa... Bersalah. Ia tidak menyelamatkan siapa-siapa. Bahkan—ia juga tidak tahu bagaimana bisa masih hidup.

“Semuanya terasa begitu asing...” pikirnya.

Setelah sesi singkat bercakap dan memberi salam pada warga, Sho kembali ke tenda medis untuk pemeriksaan lanjutan. Para tabib memeriksanya dengan cermat, dari kepala hingga kaki.

“Tidak ada luka sama sekali,” gumam salah satu tabib dengan bingung. “Tak masuk akal...”

Sho hanya bisa diam, memandangi telapak tangannya sendiri. Sejak bangun tadi pagi, kekuatan baru yang menyatu dalam dirinya terasa seperti riak kecil di dalam tubuhnya. Hangat, stabil, namun tetap asing. Kalung kristal hijau yang menggantung di lehernya terasa lebih hidup, seolah merespons setiap denyut nadinya.

Setelah hasil pemeriksaan menunjukkan ia sehat sepenuhnya, Sho diperbolehkan keluar.

Begitu ia keluar dari tenda medis, sosok familiar berdiri tak jauh dari pintu masuk.

Aria.

Gadis itu berdiri membelakangi matahari sore, rambut biru malamnya ditiup angin, dan di tangan kanannya tergenggam sebuah peta besar yang sudah agak kusut.

Sho berjalan mendekat, dan tanpa berkata apa-apa, Aria menyerahkan peta itu padanya.

Sho menatap peta tersebut. Di tengahnya, nama besar "Kerajaan Vixen" terpampang jelas.

“Kita harus ke sana,” ucap Aria tiba-tiba, tanpa basa-basi. “Ke Vixen.”

Sho menoleh pelan. “Vixen?”

Aria mengangguk, masih menatap jauh ke depan. “Aku... tidak tahu kenapa, tapi aku punya firasat. Firasat yang kuat... Bahwa kita harus ke sana. Kau dan aku.”

Ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Rivera hancur, Sho. Kita mungkin bisa membangunnya kembali, suatu hari nanti... Tapi itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan sekarang.”

Sho menunduk menatap tanah, kemudian kembali ke peta di tangannya.

“Kau mendengarnya, bukan?”

Suara lembut namun jelas bergema di kepalanya.

Suara itu... Persephone.

“Gadis itu... dia memiliki insting yang tajam. Tak disangka, meski belum membangkitkan kekuatannya, dia mampu merasakan panggilan takdir.”

Sho tidak menjawab, tapi jantungnya berdetak lebih cepat, bahkan Sho sempat terkejut saat Persephone berkata kalau Aria belum membangkitkan kekuatannya.

“Jangan meremehkannya, Sho. Kau akan membutuhkan keberanian dan hati kuat seperti dia untuk menghadapi hari-hari yang akan datang.”

Suara itu memudar perlahan, tapi kehangatannya tetap tinggal.

Sementara itu, Aria melanjutkan penjelasannya.

“Perjalanan ke Vixen bisa ditempuh dalam tujuh hari dengan berjalan kaki,” ucapnya sambil menatap ke arah barat di mana matahari mulai menuruni cakrawala. “Kalau pakai kereta kuda, mungkin tiga hari... Tapi semua kereta sudah digunakan untuk evakuasi warga. Kita hanya punya satu pilihan.”

Sho mengangguk pelan. “Kita jalan kaki.”

Aria menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil.

Ia tak tahu—dan tak perlu tahu untuk saat ini—bahwa orang yang berdiri di sampingnya kini telah bangkit sebagai High Human. Bahwa kekuatan para dewa sudah mulai mengalir dalam tubuh Sho.

Dan Sho... memilih untuk tidak mengatakannya. Belum sekarang.

Keduanya lalu berdiri berdampingan, menatap horizon yang luas dan kabur oleh siluet pepohonan.

Perjalanan mereka belum benar-benar dimulai. Tapi untuk pertama kalinya sejak kehancuran Rivera, mereka tahu ke mana arah langkah berikutnya.

Menuju Vixen.

Menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar pelarian.

Menuju takdir yang telah menanti sejak lama.

1
J. Elymorz
yahh hiatus/Cry/

semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/
J. Elymorz
gila... hollow bener' gila
Soul Requiem
Ini Saya, Kyukasho, untuk sementara Chaotic Destiny Akan Hiatus dikaenakan HP saya rusak/Frown/
J. Elymorz: /Cry//Cry//Cry/
total 1 replies
J. Elymorz
ouh oke.. kelakuan bodoh dari krepes ternyata berguna, bagus krepes
J. Elymorz
si krepes dateng tiba-tiba banget plss, krepes jangan jadi beban yh/Grievance//Grievance/
J. Elymorz
akh... gantung banget plss/Grievance//Grievance/
J. Elymorz
SJSKSKKSK APASI SHO, PINTER BGT GOMBALNYA
J. Elymorz: aku pas baca chapter ini
awal: /Grimace/
tengah: /Hey/
akhir: /Kiss/
total 1 replies
J. Elymorz
aduh... perasaan yg rumit..
J. Elymorz
yara santai banget pls/Shame/
J. Elymorz
BAGUSS LIORAA
J. Elymorz
Ayooo lioraaaa, kamu pasti bisaaa/Determined//Determined/
J. Elymorz
AKHIRNYAAA SHO BALIKK/Joyful//Joyful/
J. Elymorz: "Kau adalah matahari ku.." KSSKKSKSKSKSKS APASI SHO, GOMBAL BGT/Hammer//Hammer/
total 1 replies
J. Elymorz
Persephone sayang banget sama sho/Cry//Cry/
J. Elymorz
wamduh ada plagiatnya sho, dasarr
J. Elymorz
baguss/Cry//Cry/
J. Elymorz
Ga tidur sama makan selama 3 hari? Bener-bener gila!! /Skull//Skull/
J. Elymorz
lucuuu, pertemuan liora dan cresswell membawa nostalgia saat pertama kali mereka bertemu/Hey//Hey/
J. Elymorz
akhirnya liora jadi high human/Smile//Smile/
J. Elymorz: ikut senangg/Smile//Smile/
total 1 replies
J. Elymorz
bagusss, cerita mu selalu baguss/Grimace//Grimace/
J. Elymorz
HWAAAAAA ariaaa /Sob//Sob//Sob/
J. Elymorz: chapter ini bener' nyesek bagi ku, penulisannya bagus bangett sampe' aku bisa ngebayangin apa yg ada dlm ceritanya/Cry//Cry/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!