NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:550
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9

Nathan menatap bayangan punggung Kayla yang menjauh. Suara langkah kakinya menggema di lorong parkiran yang basah. Tak ada pelukan. Tak ada kalimat penutup. Hanya sisa aroma parfum Kayla yang tertinggal di udara dan perih yang menggantung di dada.

Ia tidak mengejar. Ia tidak bisa. Kata-kata Kayla tadi terlalu jujur untuk dibantah, terlalu menyakitkan untuk dibalas. Dan saat wanita itu benar-benar menghilang di balik pintu mobilnya, Nathan hanya berdiri diam di tempat, seperti orang bodoh yang tak tahu harus berbuat apa lagi.

Tangannya masih menggenggam plastik berisi puding yang kini terasa tak ada artinya.

Setelah beberapa menit membatu, Nathan kembali ke mobilnya. Tak langsung pulang. Ia hanya duduk di dalam kabin yang gelap, membiarkan embun mengaburkan kaca depan.

Satu notifikasi masuk. Chat dari grup pertemanan:

"Bro, ngilang mulu. Klub baru ini asik, yuk nyusul. Lumayan buat ngilangin suntuk."

Nathan membaca sekilas. Tak membalas. Tapi mobilnya mulai melaju. Bukan ke arah rumah, bukan juga ke kantor.

Ia tidak ingin pulang. Tidak ingin duduk sendiri lagi di ruang tamu dengan TV menyala tanpa suara. Tidak ingin melihat bantal yang sudah ia peluk tiga malam berturut-turut. Ia butuh udara. Butuh kebisingan.

Butuh mati rasa, walau cuma sebentar.

Jalanan Jakarta mulai padat meski malam semakin larut. Lampu-lampu dari kendaraan yang berlalu-lalang memantul di permukaan aspal yang masih basah. Nathan menyandarkan kepala ke jok, membiarkan pikirannya kosong. Musik di radio ia matikan. Ia tidak butuh lirik galau atau melodi sendu. Ia butuh diam, meski dunia di sekitarnya ramai.

Sampai akhirnya ia sampai di klub itu.

Dari luar, suara dentuman bass sudah terasa sampai ke dada. Pintu kaca berembun, dengan lampu neon yang terus berganti warna. Ia parkir, mematikan mesin, dan duduk sejenak, menatap bayangannya sendiri di kaca spion.

"Konyol," gumamnya. Tapi ia tetap turun.

Begitu masuk, udara hangat penuh parfum dan alkohol langsung menyambut. Ruangan gelap, lampu menyorot acak. Orang-orang menari, tertawa, mabuk, bercampur menjadi satu. Dunia di dalam sini seperti tidak mengenal kata sepi dan mungkin itu yang Nathan cari malam ini.

Ia berjalan ke bar. Tidak minum banyak. Hanya satu gelas, cukup untuk memanaskan dada, bukan untuk kehilangan kendali. Ia tidak datang untuk mabuk. Ia hanya ingin tenggelam di tengah keramaian, agar kesepiannya tidak terasa terlalu nyata.

Beberapa temannya menyapanya, menepuk pundaknya, menariknya untuk ikut bergabung di sofa VIP. Tapi Nathan hanya tersenyum kecil dan menolak halus. Ia tidak ingin obrolan basi atau tawa yang dipaksakan. Ia hanya ingin duduk, sendiri, dengan suara musik yang cukup keras untuk menenggelamkan isi kepalanya.

Sampai tiba-tiba, matanya menangkap sosok yang familiar di ujung ruangan.

Alea.

Bukan. Bukan dengan lelaki. Bukan juga berdansa liar. Ia duduk di kursi tinggi dekat bar, bersama lima temannya, perempuan semua. Mereka tertawa pelan, berbagi kue kecil dengan lilin menyala satu batang. Seperti merayakan ulang tahun secara sederhana, meski tempatnya tidak sederhana.

Alea terlihat berbeda malam ini. Rambutnya digerai, make-up-nya tipis tapi anggun. Tidak seperti asistennya yang biasa mengenakan kemeja rapi dan catatan di tangan. Tapi yang paling mencolok adalah caranya membawa diri. Tenang. Tidak mencolok. Di tengah keramaian, ia tetap tampak tidak ingin jadi pusat perhatian.

Nathan mengernyit pelan. Entah kenapa, ia tidak bisa memalingkan pandangan.

Setengah menit kemudian, Alea berdiri.

Ia mengatakan sesuatu kepada teman-temannya. Singkat, sopan, dan sepertinya ditanggapi dengan anggukan pelan. Lalu tanpa menoleh lagi ke arah Nathan, ia melangkah ke arah pintu keluar, membenarkan jaket tipisnya dan menuruni anak tangga dengan langkah mantap.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Nathan merasakan hening. Meski musik masih bergema keras di sekelilingnya.

"Alea? Di klub?" Nathan mengerutkan kening, lalu tersenyum samar. "Nggak kelihatan dari penampilannya... tapi ternyata bisa juga, ya."

Nada suaranya pelan, seperti menertawakan kejutan kecil yang tak ia duga.

Nathan kembali menyandarkan punggungnya ke kursi bar, menatap kosong ke gelas yang telah kosong di hadapannya. Dentuman musik yang tadinya terasa menyamarkan kekosongan, kini justru memperjelasnya.

Satu per satu kata-kata Kayla tadi mengendap kembali di pikirannya.

"Aku cuma pengen tahu kamu bisa lewatin hari itu dengan tenang. Itu aja."

"Aku kasih ruang buat kamu belajar jadi dewasa. Tapi ruang yang kamu minta itu... berubah jadi jarak."

"Waktu senggang kamu. Harusnya buat aku, tapi kamu kasih ke orang lain."

Suara itu berdengung di kepalanya. Tidak seperti bisikan lembut, tapi seperti gema di ruangan sempit, menghantam dari segala arah, tak bisa dihindari. Ia menutup mata, tapi justru semakin jelas. Wajah Kayla. Air matanya. Suaranya yang bergetar, tapi tetap kuat.

Nathan menunduk. Kedua tangannya terlipat di atas lutut. Ia menggenggam jemarinya sendiri, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah.

Selama ini, ia merasa sudah cukup. Cukup memberi waktu, cukup mencintai, cukup menjadi seseorang yang bisa diperjuangkan. Tapi sekarang, ia sadar… yang ia lakukan hanyalah menyisakan sisa. Sisa energi setelah kerja. Sisa waktu setelah nongkrong. Sisa perhatian setelah dunianya sendiri.

Ia menatap cermin panjang di dinding belakang bar. Wajahnya sendiri. Mata yang lelah. Bahu yang menggantung. Seorang pria yang kehilangan arah, tapi masih mencoba tampak tenang.

"Kenapa gue harus nunggu Kayla ngomong segitu banyak dulu buat sadar, ya?" gumamnya lirih.

"Kayla ngomong apaan emang sama lo?" sahut Nuel menepuk bahu Nathan.

"Banyak,” gumam Nathan, menatap gelas kosong di tangannya. "Dan setelah gue pikir-pikir, emang gue yang salah. Nggak seharusnya gue ngenyampingin dia... di saat dia justru naruh gue di prioritas pertama. Sebelum gue sibuk sama perusahaan, Kayla udah ratusan kali ingetin gue buat berhenti foya-foya. Dia nggak pernah maksa, cuma nyuruh gue mikir uat masa depan gue sendiri.

Dia nggak suka tempat kayak gini, tapi dia nggak pernah ngelarang. Dia nerima gue apa adanya, dengan sabar, walau gue jelas nggak ngasih dia hal yang sama. Ribuan kali dia berharap gue berubah, tapi gue selalu punya alasan buat nolak. Dan sekarang... giliran gue udah nggak punya waktu buat hal-hal dulu yang gue anggap penting, termasuk buat dia… gue baru sadar.

Dia masih sempetin waktu kirim kabar, kirim pesan. Gue? Bales aja jarang. Bahkan kadang gue baca pun enggak. Dan yang bikin makin nusuk, dia nggak pernah marah. Tadi malam itu... kali pertama dia nunjukin kecewanya. Dan itu... nyakitin gue banget, El. Karena gue baru sadar, selama ini dia udah ngasih banyak... tapi gue malah ngira semuanya bakal tetap sama tanpa gue usahain. Gue pikir cukup nyenengin dia lewat hadiah, barang-barang... padahal yang dia mau cuma satu. Kehadiran gue."

Nuel terdiam. Sesaat, suasana jadi lebih berat dari suara bass di ruangan itu. Ia menepuk bahu Nathan lagi, kali ini lebih pelan.

"Dia bisa nerima lo dulu waktu lo foya-foya, kan? Waktu lo cuma tahu caranya ngabisin duit orang tua. Nah, sekarang lo lagi bener. Lagi usaha. Lagi kerja keras. Tapi malah sekarang dia ngerasa nggak dikasih cukup waktu? Gimana sih? Kenapa justru sekarang dia yang nuntut?"

Davin menatap Nathan, mencoba masuk ke celah kegoyahannya.

"Lo udah kerja seharian, capek, terus cuma pengen sedikit waktu buat diri lo sendiri. Apa itu salah? Kalau emang dia ngerti lo, dia nggak bakal pergi cuma karena hal sekecil ini. Lagian, lo juga nggak ngelakuin hal yang gimana-gimana, kan? Cuma nongkrong, nggak ngapa-ngapain. Tapi tetep aja dipermasalahin, dibesar-besarin. Kadang... yang kayak gitu tuh bukan tanda sayang, tapi tanda nggak ngerti."

Nathan tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju ke lantai, menatap kosong seolah sedang membongkar ulang satu per satu kesalahan yang selama ini ia abaikan. Ucapan Davin menancap logis, masuk akal, tapi juga terasa asing di dada. Ada yang tidak selaras antara isi kepala dan rasa yang perlahan membuncah dari dasar hati.

"Bukan soal dia ngerti atau enggak," gumam Nathan pelan, hampir tak terdengar. "Tapi soal gue... yang selama ini ngebuat dia harus ngerti, terus-menerus, tanpa pernah gue coba ngerti balik."

Ia menatap gelas di tangannya yang kembali kosong.

"Dan sekarang, pas dia akhirnya berhenti ngerti, gue baru panik."

Davin menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, mengangkat alis sedikit. "Ya tapi lo juga manusia, Nat. Lo punya batas. Nggak bisa selalu ngejar ekspektasi orang."

Hening sejenak. Musik masih menggema, tapi percakapan mereka terasa seperti di ruang berbeda, lebih sunyi, lebih jujur.

"Lo tahu, kan... bukan cuma Kayla yang bakal pergi kalau lo terus begini?"

Nathan menoleh.

Dan menemukan Davin menatapnya, datar. Tapi di balik sorot matanya, ada sesuatu yang lebih gelap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!