“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. TERJEBAK DI HALTE
Beberapa hari sebelumnya, sebuah pengungkapan mengejutkan mengguncang dunia bisnis dan masyarakat.
Setelah penyelidikan intensif yang dilakukan oleh tim keamanan pribadi Alaric dan otoritas yang bekerja sama, terungkaplah bahwa dalang di balik rentetan teror yang menimpa Alaric—mulai dari upaya penembakan, sabotase mobil, insiden kebakaran di gereja, hingga pembunuhan kelinci Arshen—adalah Vivianne Solviera, ibu kandung Renzo sendiri, dengan keterlibatan dan persetujuan Samuel Alverio II, ayah Renzo.
Motifnya, seperti yang diduga selama ini, adalah warisan Ravenshire Alverio. Vivianne, yang obsesinya pada kekuasaan dan warisan telah menggerogoti pikirannya selama bertahun-tahun, merasa Alaric adalah penghalang terbesar bagi Renzo—dan dirinya sendiri—untuk menguasai penuh Alverio Group.
Mereka percaya bahwa dengan menyingkirkan Alaric, jalan bagi Renzo yang mereka kira dapat mereka kendalikan untuk naik takhta akan terbuka lebar.
Tragisnya, upaya terakhir mereka—kecelakaan yang menimpa Adelina—adalah karena mereka mengetahui Adelina sempat memergoki Vivianne saat bertemu dengan orang suruhan teror Alaric. Adelina mengikuti Vivianne sampai hotel dan tak sengaja terjadi pertikaian membuat Adelina jadi korban.
Berita ini menjadi badai media yang sempurna. Vivianne Solviera, salah satu CEO di perusahaan induk, dan Samuel Alverio II, ditangkap dan kini menghadapi serangkaian tuntutan pidana berat.
Saham Alverio Group, raksasa bisnis yang selama ini dianggap kokoh, anjlok secara drastis dalam hitungan jam, menciptakan kepanikan di pasar modal.
Nama Alverio, yang identik dengan prestise dan kekuasaan, kini tercemar oleh skandal keji dari dalam keluarga sendiri.
...***...
Udara di kafetaria Alvera Corp terasa lebih berat dari biasanya, dipenuhi bisikan tentang skandal tersebut. Meski hidangan ala Barat hari ini terlihat menggiurkan, sebagian besar karyawan tampak lebih sibuk membicarakan berita itu daripada menikmati makanan.
“Percaya nggak? Ibunya sendiri…”
“Dan Pak Samuel juga terlibat! Saham kita bisa-bisa hancur karena mereka!”
“Tuh lihat, Nadhifa masih aja dekat sama Renzo, padahal keluarganya hancur dan reputasinya tercoreng…”
“Mungkin mengira ini kesempatan emas meraih simpati si bos muda yang sedang terpuruk…”
“Atau jangan-jangan mengincar sisa-sisa harta yang belum disita…”
Telinga Nadhifa panas mendengar bisikan-bisikan tajam itu. Dia menunduk lebih dalam, berusaha menahan rasa malu, kesal, dan sedih yang menggelegak di dada. Dia memahami betapa hancurnya hati Renzo.
Tiba-tiba, nampan makan diletakkan di seberang meja. Renzo duduk, wajahnya tampak lebih tirus dan bayang kelelahan di bawah matanya semakin pekat, meski dia masih berusaha tersenyum.
“Jangan dengerin mereka,” bisik Renzo, suaranya rendah namun terasa seperti tameng. “Gue tahu setiap kata itu kaya silet, tapi jadikan itu penyemangat untuk membuktikan bahwa kita lebih kuat dari omongan mereka.”
Nadhifa mengangguk pelan, mencoba menelan rasa sakit itu.
Renzo ingin sekali menggenggam tangannya, memberinya kehangatan dan kekuatan. Tapi jas kerjanya yang hari ini terlihat sedikit lebih kusut seakan memberatkan langkahnya.
Dia hanya bisa memberikan senyuman kecil yang berusaha menenangkan sebelum akhirnya mereka makan dalam keheningan yang dipenuhi pemahaman.
Beberapa saat kemudian, Renzo tiba-tiba merogoh saku jasnya. “Gue minta nomor rekening lo,” pinta singkatnya, ponsel sudah di tangannya.
“Buat apa?” tanya Nadhifa, meski sudah bisa menebak.
“Gue tahu dari manajer The Granelle. Lo yang bayar makan malam kita waktu itu.”
Nadhifa langsung menggeleng, malu. “Nggak usah, Mas. Sudah lewat.”
“Jangan ngawur,” sindir Renzo, matanya menyiratkan rasa bersalah yang dalam. “Gue tahu pasti itu ngabisin sebagian besar gaji lo. Gue nggak mau itu jadi beban buat lo.”
Mendengar ketegasan itu, Nadhifa terdiam. Dia memang masih merasakan dampaknya. “Kalau … kalau begitu, separuhnya aja,” usulnya lemah, berusaha kompromi.
Renzo menghela napas. “Nadhifa, itu gue yang ngajak, gue yang pengin ngasih apresiasi. Jadi, gue yang bayar penuh. Nggak ada separuh-separuh.” Nadanya tegas, tidak mau ditawar.
Melihat keteguhannya, Nadhifa akhirnya mengalah. Dengan malu-malu, dia menyebutkan nomor rekeningnya. Renzo langsung mengetik dengan cepat.
“Udah ditransfer. Cek nanti,” ujarnya, lalu wajahnya berubah serius. “...dan, gue minta maaf udah ninggalin lo.”
“Itu wajar, Mas. Mommy kamu yang terpenting,” jawab Nadhifa tulus. “Bagaimana kondisinya sekarang?”
“Secara fisik lebih stabil, tapi trauma psikisnya dalam. Mommy udah pindahkan ke luar negeri, dirawat di sana dekat saudara-saudara Mommy. Di sini .. gue nggak bisa menjamin keamanannya. Khawatir masih ada orang yang disewa orang tua gue,” ujar Renzo, suaranya parau mengakui kenyataan pahit itu.
Nadhifa memandangnya dengan mata berlinang. “Semoga Mommy-mu cepat sembuh dan diberikan ketenangan disana, Mas. Aku akan terus mendoakannya."
Kata-kata tulus Nadhifa itu seperti oase di tengah gurun kekacauan hidup Renzo. Di tengah reruntuhan reputasi keluarganya, gosip pedas, dan ketidakpastian, kehadiran dan dukungan sederhana Nadhifa terasa seperti anugerah yang tak terduga.
Senyum kecil yang lebih tulus akhirnya merekah di bibirnya. “Thanks, Dhifa. Saat ini, itu yang paling gue butuhkan.”
...***...
Motor matic putih Nadhifa mengeluarkan suara terakhir yang menyedihkan sebelum benar-benar diam di jalan yang masih basah oleh hujan sore.
Dengan susah payah, dia mencoba menstarter berulang kali, namun hanya suara dengungan lemah yang membalas. Wajahnya mulai panik, melihat kendaraan lalu lalang di sekelilingnya.
Tiba-tiba, sebuah mobil sport berwarna gelap yang familiar menepi di belakangnya. Renzo melompat keluar, wajahnya serius.
“Mogok?” tanyanya singkat, sudah memeriksa mesin dengan mata yang bukan ahlinya. Setelah beberapa saat, dia menghela nafas. “Ayo kita dorong ke halte.”
Dengan hati-hati, mereka mendorong motor itu ke halte bus yang tak jauh dari situ. Gerimis sisa hujan masih turun, membuat blazer wanita yang dikenakan Nadhifa basah di bagian bahu dan punggung. Saat melepas helm, terdapat bekas air dari helm yang mengenai kerudungnya.
Renzo melirik, matanya tertarik pada tetesan air yang mengalir di dagu Nadhifa. Tangannya hampir-reflek mengangkat, ingin mengusapnya, tapi dia cepat mengepalkan tangan. Itu bukan haknya.
Tiba-tiba, Renzo mengambil ponselnya. “Selfie, yuk,” ujarnya tiba-tiba.
Nadhifa tercekat. “S-Sekarang? Dalam keadaan seperti ini?”
“Justru dalam keadaan seperti ini,” jawab Renzo sambil sudah mendekatkan wajahnya.
Nadhifa yang kikuk mendadak bisa mencium aroma parfum Renzo yang familiar, campuran kayu dan sedikit citrus, membuat dadanya berdebar. Dia buru-buru menarik ujung kerudungnya ke atas untuk menutupi sebagian wajahnya yang dipastikan sudah memerah, tepat saat Renzo senyum narsis dan jari menekan shutter.
Setelah selesai, Renzo langsung sibuk dengan ponselnya, jarinya mengetik cepat.
Nadhifa hanya bisa memperhatikannya dengan bingung. “Sebentar, kamu ngapain?” tanyanya penasaran.
Renzo melipat tangannya di dada, bersandar di tiang halte. “Gue kirim foto itu ke Alaric,” katanya santai. “Sekalian minta dia kasih lo mobil. Lo kan udah jadi karyawan teladan, sering lembur, dan setia meski perusahaan sedang nggak baik-baik aja. Sudah seharusnya dihargai.”
Nadhifa mengerutkan kening. “Mas Renzo, Pak Alaric itu CEO. Bukan beliau yang menentukan pembelian mobil untuk karyawan level aku.”
Renzo terkekeh, matanya berbinar licik. “Dia memang nggak, tapi dengan foto bukti ‘karyawan teladannya’ sedang terdampar di halte karena motor mogok, plus sedikit ‘desakan’ dari gue, dia bakal bikin keputusan.”
Dia mendekat sedikit, suaranya rendah. “Ini cara gue agar lo mau menerima mobil. Kalo gue yang beliin, pasti lo tolak lagi dengan berbagai alasan, ‘kan?”
Nadhifa terdiam. Dia terpana.
Renzo memang selalu punya cara liciknya sendiri untuk memperhatikan orang lain, tanpa membuatnya merasa dikasihani.
Tiba-tiba, dengan gerakan yang jarang dia lakukan, Renzo menarik lengan blazer Nadhifa—hanya pada bagian kainnya, menghindari sentuhan kulit—dan memandunya untuk duduk di bangku halte bersamanya.
“Tenang aja,” ujarnya, suaranya kembali lembut. “Gue udah hubungi mekanik. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini.”
Nadhifa menatapnya, rasa haru dan terima kasih yang dalam membanjiri hatinya. Di tengah semua kekacauan yang menimpa hidup Renzo, dia masih bisa menemukan ruang untuk memperhatikannya dengan cara yang begitu tulus.
“Terima kasih, Mas,” bisiknya, suaranya hampir tertelan oleh deru mobil yang lewat.
Renzo hanya tersenyum kecil, menatap jalanan yang mulai diterangi lampu neon. Dalam diam, dia berharap mekaniknya tidak datang terlalu cepat.