Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. OPERASI JANTUNG.
Luis melangkah menuju jendela, menatap seluruh penjuru kota. Lampu-lampu berkilau menghiasi setiap bangunan, menciptakan pemandangan malam yang menenangkan.
Pandangannya tiba-tiba terhenti. Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok Rindi yang masuk ke dalam sebuah taksi.
“Dasar murahan… semua perempuan di dunia ini sama saja. Liza, di mana kamu sekarang?” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Beberapa ketukan terdengar dari arah pintu. Seorang pria berbadan tegap mengenakan jas hitam muncul dan segera menghampiri Luis.
“Tuan, ada kabar baik. Kami sudah menemukan donor jantung yang cocok untuk Nyonya Besar. Sebaiknya operasi segera dilakukan, mengingat kondisi beliau semakin memburuk,” lapornya serius.
Luis terperangah mendengar perkataan sekretarisnya. Ia bergegas mengenakan pakaian.
“Cepat! Sebelum semuanya terlambat!” serunya dengan nada tergesa.
Luis segera mengambil jas dokternya yang tergantung di kursi, lalu keluar dari kamar hotel dengan langkah cepat. Kabar dari Zam, sekretarisnya, membuatnya sedikit lega setelah enam bulan penantian panjang — donor jantung untuk ibunya akhirnya ditemukan.
Lift terbuka, dan tanpa pikir panjang ia masuk, menekan tombol lantai dasar. Di tangannya masih tergenggam ponsel dengan layar menyala — pesan terakhir dari rumah sakit yang hanya berisi satu kalimat.
“Kondisi nyonya menurun drastis.”
Begitu tiba di lobi, Luis langsung berlari menuju area parkir. Ia bukan lagi dokter yang tenang dan berwibawa seperti biasanya — malam itu, ia hanyalah seorang anak yang berusaha menyelamatkan ibunya.
Luis menyalakan mobil dan melaju menembus jalanan kota yang ramai. Sirene kecil di dasbor menyala, memberi tanda bahwa ini darurat. Sepanjang perjalanan, pikirannya hanya satu berharap nyawa ibunya bisa di selamatkan.
“Bertahanlah, Ibu… aku akan sampai sebentar lagi,” gumamnya sambil menekan pedal gas lebih dalam.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan rumah sakit. Luis turun dengan tergesa, menyalakan kartu identitas dokter di dadanya, dan langsung menuju ruang operasi.
Dokter Ansel, rekan sejawatnya, sudah menunggu di depan pintu.
“Tuan Luis, donor sudah siap. Tapi kondisi nyonya terus menurun.”
Luis menarik napas panjang, lalu menjawab pelan.
“Baik, aku yang akan memimpin operasinya. Persiapkan semuanya, jangan sampai ada yang terlewat,” ujar Luis tegas.
Dokter Ansel mengangguk patuh, lalu segera memerintahkan tim untuk menyiapkan seluruh peralatan sebelum operasi dimulai.
Beberapa menit kemudian, lampu ruang operasi menyala terang. Suasana hening, hanya terdengar suara alat medis yang berdetak stabil. Di balik masker dan sorot matanya yang tajam, Luis berbisik dalam hati.
“Bertahanlah, Bu… Luis akan melakukan yang terbaik untuk Ibu.”
Suara detak mesin monitor jantung terdengar stabil di ruang operasi yang dipenuhi cahaya putih terang. Luis berdiri di sisi meja operasi, kedua tangannya bersarung steril, matanya fokus pada setiap gerakan timnya.
“Tekanan darah stabil,” lapor salah satu perawat sambil menatap layar monitor.
Luis mengangguk pelan.
“Baik, kita mulai.”
Pisau bedah di tangannya bergerak perlahan, hati-hati, seolah waktu berhenti mengikuti irama napasnya.
Namun beberapa menit setelah operasi berjalan, monitor tiba-tiba berbunyi—beep-beep-beep!—lebih cepat dari biasanya.
“Dok, tekanan darahnya turun!” seru dokter Ansel cemas.
Luis menatap layar monitor yang berkedip-kedip.
“Periksa aliran oksigennya! Pastikan suplai tetap lancar!” katanya cepat, suaranya tegas tapi nadanya menegang.
Seorang perawat berlari ke arah mesin oksigen.
“Selangnya tertekuk, Dok!”
“Luruskan! Cepat!” Luis menahan napas sejenak sambil menatap detak jantung pasien yang menurun di layar.
Beberapa detik kemudian, garis pada monitor mulai kembali naik. Ruangan itu masih sunyi, semua mata menatap layar dengan cemas.
“Stabil kembali,” lapor perawat dengan suara bergetar.
Luis mengembuskan napas lega, tapi belum sempat ia melanjutkan, lampu monitor utama mendadak redup, lalu mati.
“Kenapa ini?! Komputer utama tidak merespons!” seru teknisi panik.
Luis menatapnya tajam.
“Gunakan sistem cadangan! Cepat, jangan biarkan monitor mati lama-lama!”
Tim medis bergerak cepat, suara alat dan langkah kaki berpadu dalam ketegangan yang memuncak. Luis menatap pasien di hadapannya — ibunya sendiri — dengan rahang mengeras.
“Tidak boleh ada kesalahan, tidak malam ini,” batinnya bergetar.
Ketika monitor cadangan akhirnya menyala kembali, Luis menarik napas dalam, lalu berkata pelan.
“Baik… kita lanjutkan. Fokus semua dengan keselamatan pasien.”
Suasana ruang operasi masih mencekam. Keringat mulai membasahi pelipis Luis di balik masker, tangannya bergerak lincah menggunakan alat medis. Setiap detik terasa panjang dan berat.
“Tekanan darah turun lagi!” teriak perawat.
“Tambahkan dosis adrenalin seperempat mili!” perintah Luis cepat tanpa berpaling dari meja operasi.
Jarum suntik diserahkan. Luis menegakkan tubuhnya sejenak, matanya menatap layar monitor yang berdenyut lemah. Semua orang menahan napas.
“Detak jantungnya— kembali normal, Dok!” suara dokter Ansel terdengar lega, tapi Luis belum sempat menjawab. Tiba-tiba alarm mesin kembali berbunyi keras, membuat seluruh ruangan seakan membeku.
“Aliran darah ke jantung baru tidak stabil!” seru salah satu ahli bedah.
Luis menatap layar tajam, wajahnya memucat.
“Tenang! Periksa sambungan bypass-nya! Jangan sampai ada kebocoran!”
Tangannya bergerak cepat, matanya fokus penuh di bawah cahaya lampu operasi yang panas dan menyilaukan.
Beberapa detik terasa seperti berjam-jam. Luis menahan napas, menekan perlahan area sambungan, memperbaiki posisi. Monitor kembali menunjukkan ritme yang stabil.
Suara beep-beep kembali berirama normal. Semua mata menatap layar seolah baru saja diselamatkan dari jurang kematian.
“Tekanan darah stabil, detak jantung normal,” ucap dokter Ansel pelan.
Luis menghela napas panjang.
“Kita berhasil menyambungkan. Sekarang... kita tutup perlahan.”
Beberapa jam kemudian, operasi dinyatakan selesai. Tubuh ibunya dipindahkan ke ruang pemulihan dengan penuh kehati-hatian. Luis masih berdiri terpaku di ruang operasi, napasnya tersengal, seragamnya basah oleh keringat.
Di luar ruang operasi, ia akhirnya melepaskan masker. Wajahnya letih, namun sorot matanya menunjukkan harapan.
Zam, sekretarisnya, mendekat.
“Bagaimana kondisi nyonya besar, Tuan?”
Luis menatapnya pelan, lalu menarik napas panjang.
“Operasi berjalan lancar. Sekarang… kita hanya bisa menunggu hasilnya.”
"Syukurlah...." Zam mengelus dada, turut bahagia mendengarkan kabar baik itu.
Luis bersandar di dinding koridor rumah sakit, menatap lampu indikator ruang ICU yang masih menyala merah. Untuk pertama kalinya, setelah berjam-jam berjuang mempertahankan nyawa ibunya, Luis akhirnya menarik napas lega.
Dari kejauhan tampak seorang pria paruh baya berjalan terburu-buru sambil bertumpu pada tongkat kayu. Beberapa pria berbadan tegap mengikuti di belakangnya.
“Bagaimana keadaan ibumu?” tanyanya pada Luis dengan wajah panik, sementara keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Operasinya berjalan lancar, semoga tidak ada kendala ke depannya,” jawab Luis tenang, meski matanya masih menyiratkan kekhawatiran.
“Ini semua salahmu! Andai saja kamu mau mendengarkan perkataan kami, jantung ibumu tidak akan melemah seperti ini. Awas saja, kalau sampai sesuatu terjadi pada istriku, aku tidak akan melepaskan mu!” bentaknya tajam.
Ia kemudian menoleh ke arah sekretarisnya.
“Zam, antar aku ke ruang Nyonya Angel.”
Zam mengangguk patuh, lalu segera berjalan menuju ruang tempat Nyonya Angelina dirawat.
Sementara itu, Luis hanya berdiri terpaku, menatap kepergian mereka dengan sorot mata kosong yang sulit diartikan.