Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: 777 di Ruang Rapat.
Aura Rommy Ivanov begitu kuat sehingga hampir menyesakkan, namun Megan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Senyum itu adalah topeng terakhirnya sebelum melangkah ke arena perang yang sesungguhnya. Rommy sedang sibuk menyesuaikan dasi mahalnya, punggungnya menghadap pintu lemari obat.
“Aku ingin kau berdiri di sampingku, Sayang. Pastikan senyummu tidak hilang,” perintah Rommy, suaranya dipenuhi arogansi. “Investor ini perlu tahu siapa yang akan dia hadapi.”
“Tentu, Rommy,” jawab Megan, suaranya nyaris berbisik. Tangannya gemetar saat meraih botol air mineral Rommy yang selalu dibawanya ke mana-mana. Ini adalah kesempatan emas. Di meja rias, Axel duduk diam, matanya mengikuti setiap gerakan Megan, memberikan sinyal ‘cepat’ melalui gerakan kepala kecil.
Megan melangkah ke kamar mandi, berpura-pura memeriksa riasannya. Di balik pintu yang tertutup, ia membuka tas kecil yang disembunyikan Axel di bawah tempat tidur: sebuah vial kecil berisi pil penenang dosis tinggi milik Rommy sendiri, yang diam-diam dicuri Axel dari persediaan P3K Rommy. Megan meremas dua butir pil, menghancurkannya menjadi bubuk halus di atas selembar tisu, lalu dengan cepat menuangkannya ke dalam botol air. Ia mengocoknya pelan, memastikan bubuk itu larut tanpa jejak.
Hanya dua menit berlalu, tetapi rasanya seperti dua jam di neraka. Ia keluar dari kamar mandi, meletakkan botol air itu di meja kopi, persis di tempat Rommy akan mengambilnya.
“Kau sudah siap?” Rommy menoleh, mengamati Megan dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Sempurna. Ayo pergi.”
Mereka meninggalkan Axel di kamar, di bawah pengawasan ketat, tetapi Axel hanya melambaikan tangan dengan senyum penuh arti. Axel tahu, permainan besar baru saja dimulai.
...****************...
Ruangan pertemuan di benteng Rommy adalah lambang kekuasaan yang kejam. Dindingnya dilapisi marmer hitam, dan meja kayu gelap yang masif mendominasi. Ada tiga kursi di sisi Rommy, dan hanya satu kursi tunggal di seberangnya, menunggu kedatangan investor yang 'bodoh' itu.
Rommy duduk dengan santai, Megan di sisinya. Dia meraih botol air yang telah disiapkan Megan dan meminum beberapa teguk. Megan harus menahan napas agar ketegangannya tidak terlihat.
“Jangan gugup, Sayang. Ini hanya investor kecil yang ingin menyelamatkan dirinya dari krisis,” Rommy berbisik, membelai tangan Megan. “Aku sudah memastikan semua kelemahan finansialnya akan kuterima sebagai keuntungan.”
Pintu ganda ruangan itu terbuka. Megan merasakan denyutan listrik menjalar di nadinya. Ia menegang, mempersiapkan dirinya untuk melihat pria yang hanya ia kenal melalui mata Axel—seorang investor kaya raya yang disamarkan oleh Vega Xylos.
Seorang pria masuk. Dia tinggi, mengenakan setelan gelap yang sangat rapi dan mahal, tetapi bukan kemewahan yang menarik perhatian, melainkan kehadiran murninya. Matanya, yang mengingatkan Megan pada kilatan baja di bawah sinar bulan, langsung tertuju padanya.
Vega Xylos. King Mafia. Papa dari putranya.
Jantung Megan berhenti sejenak. Dia telah mempersiapkan diri, tetapi melihatnya secara langsung setelah delapan tahun, di bawah kendali musuh bebuyutannya, membuatnya lumpuh. Vega tidak menunjukkan emosi apa pun. Wajahnya dingin, kaku, memancarkan kuasa yang begitu menindas, membuat ruangan marmer itu terasa lebih kecil.
“Selamat datang, Tuan Xylos,” sapa Rommy, berdiri dan mengulurkan tangan. Rommy menyebut nama belakang itu tanpa sedikit pun curiga.
Vega mengangguk, menjabat tangan Rommy dengan genggaman yang singkat dan kuat. “Tuan Ivanov. Terima kasih atas waktu Anda.”
Vega kemudian beralih menatap Megan. Tatapannya menusuk, intens, mencari setiap detail yang ia ingat dari malam traumatis di klub itu. Megan berusaha membalas tatapan itu dengan tatapan kosong, mencoba meyakinkan Vega bahwa ia tidak mengenalnya. Namun, di dalam dirinya, ia berteriak. Ia melihat sekilas kerinduan yang tersembunyi di balik kekejaman mata Vega.
“Dan ini… istri Anda?” tanya Vega, suaranya dalam dan bergetar samar, sebuah getaran yang hanya Megan yang bisa mendengarnya.
“Ya. Megan,” Rommy tersenyum bangga, memeluk pinggang Megan dengan posesif. “Dia adalah alasanku untuk terus maju, Tuan Xylos. Wanita yang sangat berharga.”
Vega Xylos mengalihkan pandangannya, seolah Megan hanyalah perabotan mahal. Ia duduk di kursi tunggalnya. “Saya mengerti. Keluarga adalah aset terpenting.”
“Tepat sekali,” Rommy terkekeh. Ia mengambil botol airnya lagi dan meminumnya sedikit lebih banyak, seolah ingin meredakan ketegangan pertemuan bisnis ini.
Megan menahan diri untuk tidak menatap botol itu. Efek obat penenang itu seharusnya mulai bekerja dalam lima belas hingga dua puluh menit. Sampai saat itu, dia harus fokus pada Vega.
Rommy memulai presentasi tentang investasinya, menggunakan bahasa bisnis yang rumit dan penuh tipuan. Vega mendengarkan dengan sabar, kadang-kadang mengajukan pertanyaan tajam yang membuat Rommy sedikit tersentak. Selama ini, mata Vega selalu kembali kepada Megan.
“Anda tahu, Tuan Ivanov,” kata Vega tiba-tiba, menyela Rommy yang sedang bersemangat. “Saya tidak terlalu tertarik dengan aset yang mudah dijual. Saya tertarik pada aset yang unik. Aset yang memiliki nilai sentimental dan tidak bisa disentuh oleh orang lain. Aset yang membuat orang yang melihatnya, selalu ingin merebutnya kembali.”
Megan tersentak. ‘Merebutmu kembali.’ Itu adalah kata-kata yang tidak mungkin hanya kebetulan. Itu adalah kode. Vega sedang berbicara dengannya, bukan dengan Rommy.
Rommy, yang gagal menangkap makna ganda dari kalimat itu, tertawa. “Tentu saja. Semua orang ingin memiliki sesuatu yang unik. Seperti properti Karpatia ini. Saya membangunnya dari nol.”
“Saya tidak berbicara tentang properti,” balas Vega, pandangannya terkunci pada mata Megan. “Saya berbicara tentang sesuatu yang saya tinggalkan delapan tahun lalu. Sesuatu yang seharusnya sudah saya kunci. Dan sekarang, saya datang untuk mengambilnya.”
Suasana di ruangan itu menjadi dingin, tegang. Rommy mulai merasakan ada sesuatu yang salah, tetapi ia menganggapnya sebagai keangkuhan investor kaya.
“Bisnis adalah bisnis, Tuan Xylos,” Rommy berkata, nadanya sedikit lebih keras. “Anda tertarik pada nikel saya atau tidak?”
“Saya tertarik,” jawab Vega, tersenyum tipis. Senyum yang membuat darah Megan membeku. “Tapi saya harus memastikan bahwa aset tersebut—apakah itu nikel, properti, atau hal lain—diberikan kepada pemilik yang sah. Apakah Anda setuju, Nyonya Ivanov?”
Megan merasa seluruh dunia berputar. Ini adalah jebakan. Vega tidak datang untuk bernegosiasi bisnis, dia datang untuk perang. Dan dia baru saja menarik Megan ke dalam percakapan ini, memaksanya untuk bereaksi.
“Saya… saya tidak mengerti urusan bisnis, Tuan Xylos,” Megan membalas, mencoba menjaga suaranya tetap datar. Ia meremas tangannya di bawah meja, berharap Rommy tidak menyadari bahwa ia telah gagal mempertahankan perannya sebagai istri yang bodoh.
Vega mengabaikan Rommy dan terus menatap Megan. “Tentu, Anda mengerti, Nyonya. Anda mengerti tentang kepemilikan. Anda mengerti tentang janji. Dan Anda mengerti bahwa apa yang telah disentuh, tidak akan pernah bisa dilupakan.”
Ini adalah referensi langsung pada malam mereka bertemu. Vega sedang menguji apakah Megan masih mengingatnya, atau apakah trauma telah menghapus semua ingatan itu.
Rommy mulai gelisah. Ia menuangkan sisa air di botolnya ke dalam gelas, dan meminumnya dengan cepat. “Cukup dengan filosofi, Tuan Xylos. Jika Anda ingin berinvestasi, mari kita bicara angka. Jika tidak, saya harus bersiap untuk perjalanan saya.”
Vega Xylos menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit. “Perjalanan? Anda dan keluarga Anda akan pergi?”
“Ya. Liburan yang sangat dibutuhkan. Besok pagi, kami akan terbang,” Rommy menyeringai. “Tentu saja, saya akan membawa seluruh keluarga. Istri saya dan putra saya yang jenius, Axel. Dia adalah kebanggaan saya.”
Megan merasakan pukulan di perutnya. Rommy tidak berbohong. Mereka benar-benar akan terbang besok, jauh dari jangkauan Vega. Rencana mereka—Rencana ‘Anggrek Hitam’ untuk menyerang B-40 pada hari Jumat—sudah tidak relevan. Konfrontasi harus terjadi hari ini.
“Axel?” ulang Vega, nadanya berubah menjadi lebih dingin dari es. “Putra Anda.”
“Ya. Anak yang cerdas. Dia akan menjadi pewaris yang sempurna. Bahkan membantu saya dengan analisis saham saya. Sangat berharga,” Rommy menegaskan, seolah ingin mengklaim hak kepemilikan mutlak atas Axel di depan Vega.
Vega tidak merespons kata-kata Rommy. Ia hanya menatap Megan. Ia melihat ketakutan di mata Megan, ketakutan yang mengkhianati Rommy. Vega akhirnya tahu: anak itu miliknya, dan Rommy akan menggunakannya sebagai sandera.
Tiba-tiba, Rommy terbatuk. Batuknya keras, memutus ketegangan yang mencekik. Dia memegang kepalanya, matanya sedikit berkunang-kunang.
“Maaf,” Rommy berbisik, menyeka bibirnya. “Saya rasa saya terlalu lelah. Perjalanan ini membuat saya stres.”
Obatnya mulai bekerja. Megan menahan dorongan untuk tersenyum lega. Ini adalah saatnya dia harus bergerak, sebelum Rommy pingsan sepenuhnya dan sebelum Vega kehilangan kendali.
Vega Xylos mengambil ponselnya. Dia mengetik sesuatu dengan cepat, dan meletakkannya di atas meja, menghadap Megan, bukan Rommy. Pesan di layar itu hanya terdiri dari satu kata: ‘Jumat?’
Itu adalah kode rahasia yang ia dan Axel kembangkan. Kode untuk menanyakan jadwal penyerangan. Megan tahu dia tidak bisa mengetik balasan, Rommy mungkin akan bangun sebentar lagi.
Ia mengambil gelas airnya, yang masih berisi sedikit air, dan secara tidak sengaja—atau pura-pura tidak sengaja—ia menjatuhkannya ke lantai. Gelas itu pecah, airnya tumpah.
“Ya Tuhan, maafkan saya,” kata Megan, pura-pura panik. Ia segera berjongkok untuk membersihkan kekacauan itu.
Saat berjongkok, ia berada tepat di bawah meja. Ia melihat kaki Vega, yang mengenakan sepatu kulit mengkilap. Dengan gerakan kilat, ia mengeluarkan pisau saku kecil yang diselundupkan Axel. Bukan untuk menyerang, melainkan untuk berkomunikasi.
Di bagian bawah meja kayu itu, tempat yang tidak mungkin dilihat Rommy, Megan menggoreskan tiga angka dengan ujung pisau kecilnya. Tiga angka yang dikirim Axel melalui logistik katering:
777.
Vega Xylos melihat goresan itu saat Megan berdiri kembali, wajahnya pucat karena pura-pura malu. Vega mengangguk sedikit, hampir tidak terlihat. Pesan itu jelas: Peringatan Taktis Level Merah. Rommy akan menggunakan mereka sebagai tameng. Jumat terlalu lambat.
Rommy tiba-tiba jatuh dari kursinya, tubuhnya ambruk ke lantai dengan bunyi yang keras. Obat penenang itu telah membuatnya pingsan total.
Megan menatap mayat Rommy yang tergeletak di lantai, lalu menoleh ke Vega Xylos, yang kini berdiri, tatapannya tidak lagi dingin, tetapi dipenuhi api. Vega telah melepaskan persona investornya.
“Waktu habis, Megan,” desis Vega, suaranya kembali menjadi suara King Mafia yang menggelegar. “Kita akan keluar sekarang.”
Tiba-tiba, alarm berbunyi keras di seluruh benteng. Bukan alarm yang dikendalikan oleh Rommy, tetapi alarm yang dipicu oleh Zeno. Serangan ‘Anggrek Hitam’ sudah dimulai, dipicu oleh perubahan rencana Vega yang mendadak.
Megan dan Vega bertukar pandang. Mereka tidak punya waktu. Mereka harus mengambil Axel. Dan mereka harus melakukannya saat benteng itu berada di ambang kehancuran.
“Axel ada di kamar tidur utama,” kata Megan, cepat. “Jendela berlapis baja, pintu terkunci.”
Vega Xylos menghela napas, menyunggingkan senyum predator. “Tentu saja. Pewarisku tidak akan mudah dijangkau. Ayo, Ratu Mafia. Mari kita rebut kembali apa yang menjadi milik kita...”