NovelToon NovelToon
(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

(Batas Tipis) CINTA & PROFESI

Status: sedang berlangsung
Genre:Trauma masa lalu / Cintapertama
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Penasigembul

Dorongan kuat yang diberikan sepupunya berhasil membuat Marvin, pria dengan luka yang terus berusaha di kuburnya melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang praktek seorang Psikolog muda. Kedatangannya ke dalam ruang praktek Bianca mampu membuat wanita muda itu mengingat sosok anak laki-laki yang pernah menolongnya belasan tahun lalu. Tanpa Bianca sadari kehadiran Marvin yang penuh luka dan kabut mendung itu berhasil menjadi kunci bagi banyak pintu yang sudah dengan susah payah berusaha ia tutup.
Sesi demi sesi konsultasi dilalui oleh keduanya hingga tanpa sadar rasa ketertarikan mulai muncul satu sama lain. Marvin menyadari bahwa Bianca adalah wanita yang berhasil menjadi penenang bagi dirinya. Cerita masa lalu Marvin mampu membawa Bianca pada pusaran arus yang ia sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar dari sana.
Ditengah perasaan dilema dan masalahnya sendiri mampukah Bianca memilih antara profesi dan perasaannya? apakah Marvin mampu meluluhkan wanita yang sudah menjadi candu baginya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penasigembul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

Pertemuan dengan Marvin hari ini membuat Bianca keheranan dengan dirinya sendiri. Mengapa luka yang selama ini ia sembuhkan kembali terasa menyayat bagi dirinya. Bukankah ia sendiri sudah memberikan maaf kepada dirinya?

Sejak pertemuan pertamanya dengan Arkana Marvin Dirgantara, Bianca merasa kliennya memiliki magnet tersendiri yang terus menarik dirinya untuk mengetahui lebih jauh tentang pria itu. Seolah ada kenangan dengan pria itu yang tidak pernah benar-benar hilang dalam ingatannya.

Bianca kembali membuka catatan sesinya tadi dengan Marvin, membaca kembali catatannya. Disana tertulis tentang pengampunan, memaafkan yang semuanya ditujukan untuk diri sendiri. Jika menurut Bianca sosok pria yang mulai mengusik pikirannya harus bisa memaafkan diri sendiri untuk bisa merasakan maaf yang diberikan oleh orang lain berbanding terbalik dengan Bianca yang masih bergulat memaafkan dirinya sendiri untuk bisa memaafkan orang lain.

Sedikit banyak Bianca mulai memahami luka apa yang dipendam oleh Marvin selama ini, pria itu merasa bersalah karena ia merasa teledor ketika menjaga adiknya sewaktu bermain bersama dan menyebabkan adiknya harus merenggang nyawa, ditambah ia merasa ibunya selalu menyalahkannya, kemungkinan besar rasa berduka yang belum selesailah yang menyebabkan perilaku ibunya, sedangkan ayahnya hanya berusaha memberikan dukungan kepada istrinya tapi lupa Marvin kecil juga membutuhkan dukungan, karena kehilangan bukan hanya dialami orang tuanya tapi juga dialami Marvin kecil.

Rasa haus membuat Bianca menghentikan aktivitasnya, tanpa ia sadari catatanya sudah banyak coretan karena sedari tadi ia berusaha menyusun kembali penggalan cerita yang Marvin utarakan ketika sesi berlangsung. Bianca meninggalkan kamarnya menuju dapur berniat mengambil segelas air putih dingin untuk menyegarkan kerongkongannya.

Langkahnya terhenti ketika melewati ruang kerja papanya, pintunya sedikit terbuka membuatnya mampu menangkap suara dari dalam, Bianca melangkah mendekat sampai dirinya berdiri tidak jauh dari pintu ruang kerja papanya.

“jika kamu tidak bisa membujuknya, biar aku yang bicara padanya.” Suara Bram terdengar menembus indera pendengaran Bianca, Bianca menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruang kerja papanya yang tidak tertutup rapat. Ia sangat mengerti maksud ucapan papanya, ini tentang dirinya dan perusahan keluarganya. “Aku juga berencana menjodohkannya dengan salah satu anak kerabatku.” Tambah Bram lagi yang sontak membuat Vivi dan Bianca terkejut di posisinya masing-masing.

“Aku tidak setuju untuk masalah perjodohan, Mas. Tapi untuk membujuknya, berikan Caca waktu. Aku akan kembali bicara dengannya tapi tidak dalam waktu dekat.” Vivi menyampaikan rasa tidak setuju atas rencana suaminya untuk menjodohkan putri mereka, ia sangat menyadari itu akan membuat Bianca semakin tertekan karena bahkan untuk memilih pasangan hidupnya ia harus mengikuti kehendak papanya lagi. Kata perjodohan berhasil membuat Bianca membeku di tempatnya, hatinya meronta memaksanya untuk meninggalkan tempat itu tapi kakinya seolah terpaku disana.

Bram menghembuskan nafasnya kasar, “Dia bisa memilih, perusahaan atau perjodohan.” Sahut Bram menanggapi istrinya. “Jika dia mau meninggalkan profesinya untuk meneruskan perusahaan dia boleh memilih sendiri pasangannya tapi jika ia tetap menginginkan profesinya aku yang akan mencarikan pasangan yang menurutku layak untuknya dan perusahaan.” Lanjut Bram lagi, mendengar hal itu membuat hati Bianca seakan teriris pisau tajam.

“Biarkan Caca menikmati pilihannya, Mas. Ia sudah dewasa, beri dia kesempatan untuk bisa memutuskan sesuatu untuk hidupnya.” Vivi berucap dengan lembut dan tenang, kalimat yang Vivi lontarkan berhasil membuat Bianca sedikit merasa bahwa mamanya masih memihak padanya

Vivi melangkah menghampiri suaminya yang berdiri membelakanginya, memeluk tubuh tegap pria itu. “Kali ini aku yang meminta, Mas. Jangan buat Caca merasa terpenjara oleh keinginan dan ambisi kita.”

Bianca mengepalkan tangannya dan memilih meninggalkan tempatnya berdiri dan kembali ke kamarnya, rasa haus yang ia rasakan seketika menguap. Sejak papanya pulang hari-hari Bianca terasa lebih berat dan berjalan lebih lama terutama ketika berada di rumah. Papanya tidak berubah, penuh kontrol, tidak bisa dibantah dan semua keinginannya harus sesuai dengan rencana yang sudah disusunnya tanpa memikirkan perasaan orang-orang di sekitarnya termasuk Bianca.

Perbincangan orangtuanya berhasil memporak porandakan hatinya, keputusan Bram untuk memberinya pilihan antara perjodohan atau perusahaan membuat Bianca sadar, Bram akan menggunakan cara apa saja agar rencananya tetap sesuai dengan yang dikehendaki pria itu.

Bianca menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal dan berteriak dengan kencang berusaha meluapkan rasa kesal dan marah dalam dirinya.

*

Dari sudut matanya Vivi melihat Bianca baru saja melewati ruang kerja suaminya, dengan cepat wanita paruh baya itu mengurai pelukannya dan melangkah menuju pintu dan apa yang dicurigainya benar, putrinya baru saja masuk dan menutup pintu kamarnya dengan kesal.

“apa Caca mendengar semuanya?” gumam Vivi yang hanya ditujukan kepada dirinya,

Bram yang merasakan sentuhan istrinya menghilang membalikkan badan dan menghampiri Vivi yang berdiri di pintu, “ada apa?” tanya Bram sambil merengkuh pinggang ramping istrinya itu.

“tidak ada apa-apa.” Ujar Vivi akhirnya, ia merasa tidak perlu menceritakan jika baru saja ia melihat Bianca dan dugaan bahwa putri mereka mendengarkan pembicaraan tadi. Bram akan merasa semakin mudah bicara dengan putrinya karena ia merasa secara tidak langsung Bianca sudah mendengar keinginannya tanpa memikirkan perasaan Bianca yang akan semakin terluka.

“Istirahat yuk, Mas.” Ajak Vivi berusaha mengalihkan fokus suaminya, menarik lengan Bram dan menutup pintu ruang kerja suaminya. Keduanya melangkah menuju kamar mereka, meski sudah semakin tua tapi keharmonisan keduanya tidak berubah, Meski Bram memiliki sikap yang keras tapi ia juga mencintai istrinya.

*

di tempat lain, Marvin baru saja tiba di penthousenya. Mendatangi makam Martha cukup membuat rindu kepada adik kecilnya sedikit terobati, meskipun himpitan dalam dadanya masih begitu menyesakan. Bisa menceritakan sedikit kejadian dua puluh satu tahun lalu kepada orang lain juga sedikit mengurangi rasa sesaknya walau mungkin hanya untuk malam ini.

Langkahnya terhenti ketika ia mendapati Intan dan Saka sedang duduk di ruang tamu dan terlihat jelas bahwa mereka sedang menunggu dirinya.

“Ada apa?” tanya Marvin pada Saka, raut wajah Intan menyiratkan kekhawatiran.

“Papamu masuk ICU, tadi sore dia mengalami serangan dan kesulitan bernafas,” jawaban yang Marvin tunggu ia dapat dari Intan, suara wanita itu sangat khawatir. “tante ingin mengajakmu ke rumah sakit, nak.” Lanjut Intan menyampaikan tujuannya berada di penthouse Marvin.

Mendengar kabar yang dibawa oleh Intan membuat lututnya lemas, ia bahkan belum sempat mendudukkan dirinya sendiri. “tapi...” Ucapannya tergantung di udara, ia masih tidak ingin menemui orang tuanya tapi jika ia tidak datang ia mungkin akan di cap anak yang tidak memperdulikan orang tuanya. “tapi, bukannya kemarin papa sudah lebih baik?” lanjut Marvin menyelesaikan kalimatnya, meski bukan itu yang sebenarnya ingin ia ucapkan.

“Kondisinya drop hari ini, saturasi oksigennya sempat turun terus dan dokter memutuskan untuk memindahkan papamu ke ruang ICU untuk pemantauan lebih lanjut dan lebih intensif.” Jelas Intan sabar walaupun dipenuhi kekhawatiran. Marvin terdiam, tidak bisa mengatakan iya atau tidak, tidak bisa memutuskan, tidak ingin datang, tapi tidak ingin memiliki penyesalan yang akan membuatnya semakin tersiksa.

“Cuma datang untuk lihat, Vin.” Suara Saka terdengar, memberi saran. “Tidak perlu bertemu kalau belum bisa, setidaknya datanglah liat bokap lu.” Lanjut Saka lagi, nadanya sedikit membujuk.

Marvin menimbang setiap ucapan sepupunya, mungkin jika hanya melihat dari jarak aman tidak masalah.

Lama Marvin terdiam, menimbang sebelum memutuskan, “Baiklah, tapi aku tidak mau bertemu dengan papa atau mama. Aku hanya akan melihat dari jarak aman.” Putus Marvin memecahkan keheningan. Intan terlihat menghela nafas lega. Saka menepuk pundak sepupunya dan mengangguk seolah menyalurkan support yang sepupunya butuhkan.

Mobil Saka melaju di jalanan malam, setelah sepakat hanya menggunakan satu mobil ketiganya sudah berada di perjalanan menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan Marvin hanya memejamkan matanya sambil memijat pelipisnya, sesekali ia menatap ke arah luar jendela memerhatikan jalanan ramai yang mereka lalui, suasana mobil diliputi keheningan semuanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Marvin melangkah pelan mengikuti Intan yang sudah berjalan di depannya sedangkan Saka berjalan tepat di sampingnya. Langkah keduanya berhenti ketika Intan menunjuk sebuah kaca besar yang dapat memperlihatkan mereka dengan keadaan di balik kaca besar itu.

Dengan langkah pelan, Marvin menghampiri Intan dan mengikuti pandangan tantenya. Anton tertidur dengan selang oksigen di hidungnya dan alat yang terus berbunyi di sebelahnya, alat itu menunjukkan saturasi oksigen, ukuran tekanan darah, detak jantung, dan lainnya yang tidak dimengerti oleh Marvin.

Marvin memandangi papanya di balik kaca besar itu, papanya sudah semakin tua, terlihat keriput halus yang muncul di wajahnya. Marvin tersadar dari pikirannya ketika pandangannya terhalang, kaca besar itu mulai ditutup oleh tirai. Marvin mengerjap sebentar.

“Tadi tante hanya minta suster membukanya sebentar, tidak boleh ada yang menjaga di dalam dan jendelanya hanya akan dibuka di waktu tertentu dengan batas waktu.” Jelas Intan sambil menepuk bahu keponakannya, mata Marvin masih tidak lepas dari kaca besar yang sudah tertutup itu.

“ternyata kamu masih punya hati untuk menjenguk papamu?” suara ketus yang terdengar memenuhi ruang tunggu ICU tempat Marvin masih memandangi kaca besar tadi berhasil membuat pria itu membeku di tempatnya.

1
Tít láo
Aku udah baca beberapa cerita disini, tapi ini yang paling bikin saya excited!
Michael
aku mendukung karya penulis baru, semangat kakak 👍
Gbi Clavijo🌙
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!