---
📖 Deskripsi: “Di Ujung Ikhlas Ada Bahagia”
Widuri, perempuan lembut yang hidupnya tampak sempurna bersama Raka dan putra kecil mereka, Arkana. Namun di balik senyumnya yang tenang, tersimpan luka yang perlahan mengikis keteguhan hatinya.
Semuanya berubah ketika hadir seorang wanita kaya bernama Rianty — manja, cantik, dan tak tahu malu. Ia terang-terangan mengejar cinta Raka, suami orang, tanpa peduli siapa yang akan terluka.
Raka terjebak di antara dua dunia: cinta tulus yang telah ia bangun bersama Widuri, dan godaan mewah yang datang dari Rianty.
Sementara itu, keluarga besar ikut memperkeruh suasana — ibu yang memaksa, ayah yang diam, dan sahabat yang mencoba menasihati di tengah dilema moral yang makin menyesakkan.
Di antara air mata, pengkhianatan, dan keikhlasan yang diuji, Widuri belajar bahwa bahagia tidak selalu datang dari memiliki… kadang, bahagia justru lahir dari melepaskan dengan ikhlas.
“Karena di ujung ikhlas… selalu ada bahagia.”
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zanita nuraini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29- PERSIAPAN PERNIKAHAN RAKA RIANTY
2 minggu berlalu kini semua sedang disibukan dengan persiapan pernikahan besok
Gedung megah itu dipenuhi suara langkah dan instruksi dari berbagai arah. Ballroom besar yang biasanya digunakan untuk acara bisnis kini berubah total. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga panggung utama, lampu kristal besar perlahan dinyalakan, memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Di tengah kesibukan itu, tim dekorasi sibuk menata bunga melati, mawar putih, dan anggrek di sepanjang jalan menuju pelaminan. Aroma bunga bercampur dengan wangi lilin aroma terapi yang menenangkan.
Raka berdiri di tengah ruangan, mengenakan kaos simple dan celana panjang.
kemeja putih celana hitam dan Jas pengantinnya digantung di sisi ruangan, menunggu dipakai besok.
Dari wajahnya terlihat tegang tapi berusaha tenang. Ia menatap sekeliling, memperhatikan detail kecil seperti posisi kursi tamu, pencahayaan, hingga tempat duduk untuk penghulu dan saksi. Beberapa kali ia menegur panitia agar posisi dekorasi sesuai skema yang disetujui keluarga.
“Lampu di sisi kanan jangan terlalu terang,” katanya dengan nada datar tapi tegas.
“Nanti fokusnya ke pelaminan, bukan ke meja tamu.”
Salah satu staf buru-buru memperbaiki posisi lampu.
Tak jauh dari sana, Rianty sedang memeriksa gaunnya bersama penata busana. Gaun putih dengan detail renda lembut itu tampak elegan tanpa kesan berlebihan. Lengan panjang, potongan anggun, dan kain satin yang jatuh lembut membuatnya terlihat dewasa dan berkelas. Rambutnya diikat sebagian, dan riasan wajahnya dibuat sederhana sesuai permintaan keluarga. Ia tersenyum kecil saat bercermin, lalu menoleh ke arah ibunya, Nyonya Cassandra.
“Gaun ini pas banget, Ma. Enggak terlalu mencolok.”
Nyonya Cassandra mengangguk puas.
“Kamu harus tampil sempurna besok. Semua tamu besar datang. Jangan ada yang kurang.”
Sementara itu, di sisi lain ballroom, Widuri berjalan pelan memeriksa dekorasi meja. Ia mengenakan gamis warna pastel dan jilbab senada, sederhana tapi rapi. Tangannya sibuk menata vas bunga, memeriksa pita, dan memastikan semua susunan sesuai pesanan. Para staf menghormatinya karena ketenangannya dalam bekerja. Meski posisinya bukan bagian utama panitia, Widuri diminta membantu karena pengalamannya dalam mengatur acara.
Ia tidak banyak bicara, hanya sesekali memberikan instruksi singkat. “Bunganya jangan terlalu tinggi, biar tamu bisa saling lihat saat duduk.”
Suara lembutnya membuat para pekerja bergerak lebih cepat.
Sesekali matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Raka. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat dadanya terasa berat. Ia cepat-cepat menunduk, berpura-pura fokus pada pekerjaan.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat, untuk tidak goyah dengan apa pun yang terjadi hari ini. Semua sudah menjadi jalan hidup masing-masing.
Sore itu, ballroom semakin ramai. Petugas hotel mondar-mandir membawa perlengkapan tambahan. Tim catering datang dengan daftar menu yang harus dicek ulang: nasi kebuli, ayam bakar, sate lilit, dan beberapa hidangan internasional untuk tamu dari luar kota. Aroma rempah mulai tercium dari dapur hotel.
Tuan Bramasta dan Tuan Darvisan masuk bersamaan, didampingi beberapa panitia. Mereka berdiskusi di tengah ruangan.
“Pastikan posisi meja akad dekat panggung utama,” ujar Tuan Bramasta. “Penghulu duduk di depan, jangan di tengah tamu.”
Tuan Darvisan mengangguk. “Sudah diatur. Kursi wali dan saksi juga disiapkan. Semua sesuai tata cara akad Islam.”
Widuri mendengar percakapan itu sambil memegang clipboard kecil. Ia memastikan perlengkapan akad sudah siap — mikrofon, buku nikah, pena, serta sajadah kecil di atas meja. Ia memeriksa semuanya tanpa suara, tapi gerakannya cepat dan terarah.
Raka datang menghampiri meja akad, memandangi perlengkapan itu sebentar.
“Besok jam berapa penghulu datang?” tanyanya.
“Jam sembilan tepat,” jawab salah satu panitia.
Raka mengangguk, lalu menatap ruangan yang kini hampir selesai. Wajahnya sulit dibaca — ada gugup, ada lega, tapi juga sedikit bayangan masa lalu yang tak bisa hilang begitu saja.
Dari kejauhan, Widuri memperhatikan sejenak. Bukan karena ia masih berharap, tapi karena ia ingin memastikan semuanya berjalan baik. Ia tidak ingin perasaan pribadi mengganggu tanggung jawab yang ia pegang.
Menjelang malam, semua sudah hampir selesai. Bunga terakhir dipasang di pelaminan, lampu besar sudah diuji, dan kursi tamu disusun rapi. Tim sound system memeriksa mikrofon untuk akad. Di layar besar di sisi ruangan, sudah disiapkan slideshow foto Raka dan Rianty.
Rianty datang kembali dengan wajah sedikit lelah, duduk di kursi dekat pelaminan. “Akhirnya hampir selesai juga,” katanya pelan.
Widuri yang kebetulan lewat hanya tersenyum kecil. “Semoga besok lancar,” ucapnya singkat.
Rianty membalas senyum itu, mungkin tak menyadari betapa besar usaha Widuri untuk tetap tenang di depannya.
Di luar ballroom, Nyonya Cassandra mengatur pembagian kamar hotel untuk keluarga besar. Beberapa tamu dari luar kota mulai berdatangan malam itu. Nama-nama dicatat, koper dibawa ke kamar masing-masing. Suasana hotel terasa sibuk tapi teratur.
Raka akhirnya keluar dari ballroom sekitar pukul delapan malam. Ia menatap ruangan megah yang kini siap menyambut hari penting dalam hidupnya. Ada rasa lega, tapi juga tegang. Ia tahu, besok semua akan berubah.
Widuri yang masih di dalam ruangan menutup clipboard-nya, lalu berdiri diam sejenak. Ia memandangi karpet merah yang membentang panjang. Hatinya tenang, meski ada sedikit sesak yang sulit dijelaskan. Ia menatap ke arah pintu tempat Raka baru saja keluar, lalu menarik napas panjang.
“Semoga semua berjalan baik,” katanya pelan.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Widuri melepas sarung tangan kerjanya dan merapikan jilbabnya. Ia berjalan keluar dengan langkah tenang, membawa tas kecil di tangan. Di parkiran hotel, udara malam terasa sejuk.
Ia menatap langit sebentar sebelum masuk ke mobil. Besok, ia tahu, semuanya akan benar-benar berakhir — bukan dengan air mata, tapi dengan keikhlasan yang ia bangun pelan-pelan.
Sementara itu, di dalam ballroom, para petugas terakhir mematikan sebagian lampu. Ruangan besar itu kini tampak tenang, hanya cahaya lembut lampu gantung yang tersisa. Semua sudah siap menyambut hari besar.
Persiapan selesai tanpa hambatan.
#tbc
waduh udah persiapan pernikahan aja ni kalian Terima ga ni dengan pernikahan mereka
jangan lupa like komen vote and kirsan nya yaa readers!!