Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nilai yang Mengubah Segalanya
“Anak itu setiap kali selalu juara pertama. Sudah bukan hal baru lagi,” ujar Pak Liang sambil tersenyum tipis.
Ia mulai memeriksa daftar nilai ujian seluruh angkatan, tapi kali ini, ketika mencari nama Dira Bagaskara, matanya justru berhenti di posisi kesebelas.
Wajah Pak Liang langsung berubah muram. Baru tadi ia sempat membicarakan rencana lomba matematika untuk Dira, eh, sekarang nilainya justru turun drastis. Bukankah itu sama saja mempermalukan dirinya sendiri di depan guru lain?
“Pak Liang, ini aneh sekali. Silviana malah ada di peringkat dua, dan Lukman di posisi tiga,” kata Ibu Lili, wali kelas 12B, dengan nada tak percaya.
Pak Candra, wali kelas 12C, spontan menoleh. “Ibu Lili, jangan bercanda. Mana mungkin Silviana turun ke peringkat dua? Semua guru tahu, dia murid paling unggul di sekolah ini.”
“Kalau nggak percaya, lihat saja sendiri,” jawab Ibu Lili sambil menyerahkan lembaran itu.
Dan benar saja, angka 2 besar tertera di samping nama Silviana. Pak Candra langsung terdiam. Kata-kata yang sempat menempel di lidah pun tertelan.
Pak Liang terpaku. Ia sejak awal yakin kalau juara satu dan dua pasti berasal dari kelasnya. Karena itu, ia tidak repot mengecek seluruh daftar. Tapi begitu mendengar ucapan Ibu Lili dan melihat hasil sebenarnya, tubuhnya seperti membeku di tempat.
“Kalau Silviana bukan pertama, dan bukan juga dari kelas 12A, berarti… siapa? Ibu Lili, apa mungkin dari kelas 12B?”
Ibu Lili menggeleng. “Murid terbaik kelasku saja paling tinggi di peringkat sepuluh.”
Pak Candra lalu berdehem pelan, seperti baru teringat sesuatu. “Kalau bukan dari kelas 12A, 12B, atau 12C… jangan-jangan dari kelas 12D?”
Pak Liang mendengus. “Mana mungkin. Semua orang tahu, kelas 12D itu peringkat paling rendah di seluruh angkatan.”
Namun, rasa ingin tahu akhirnya mendorong mereka mencari daftar nilai kelas 12D. Pak Liang pun bergegas menghampiri meja Ibu Rinjani, yang menyimpan dokumen itu.
Begitu melihat nama di posisi paling atas, matanya membulat.
Shinta Bagaskara.
Total nilai: 736.
Peringkat kelas: 1.
Peringkat seluruh sekolah: 1.
Rinciannya:
Sains: 298 (peringkat 1)
Matematika: 148 (peringkat 1)
Bahasa Inggris: 147 (peringkat 1)
Bahasa Mandarin: 143 (peringkat 1)
Seluruh mata pelajaran—semuanya peringkat satu.
Sementara Silviana Ayu hanya mendapat 724 poin, menempati posisi kedua, dan Lukman Adiprana di urutan ketiga dengan 712 poin.
Wajah Pak Liang semakin gelap. Dalam hati, ia langsung menuduh Shinta curang. Mana mungkin anak dari desa bisa mengalahkan Silviana?
Guru-guru lain hanya bisa menatap hasil itu dalam diam. Butuh beberapa detik untuk saling berpandangan, dan dari sorot mata mereka, jelas tergambar rasa tak percaya.
Ini… Shinta Bagaskara peringkat satu?
Bukankah dulu katanya nilainya di desa bahkan di bawah rata-rata? Padahal, soal ujian kali ini terkenal sulit. Bahkan Silviana, siswa yang langganan juara olimpiade, hanya bisa mencapai 724 poin.
Tapi Shinta? Ia melampauinya dua belas poin penuh.
“Nilai Shinta ini, asli?” tanya Ibu Lili ragu.
“Entahlah,” jawab Pak Candra dengan suara pelan.
Keduanya lalu menatap Pak Liang, menunggu reaksinya.
Wajah Pak Liang semakin tegang. Ia segera berjalan ke meja guru untuk mencari lembar ujian milik Shinta. Sesuai aturan, setiap hasil ujian dikumpulkan lebih dulu di meja wali kelas sebelum dibagikan ke guru mata pelajaran.
Beberapa menit kemudian, ia sudah memegang empat set ujian Shinta.
Ia membuka lembar Bahasa Inggris terlebih dahulu.
Begitu melihat jawaban di bagian esai terakhir, senyum sinis muncul di wajahnya.
“Jelas sekali Shinta berbuat curang!” serunya. “Pantas saja nilainya bisa tinggi. Kalau tidak mencontek, mustahil dia mengalahkan Silviana dan Lukman! Murid seperti ini tidak pantas dipertahankan di sekolah kita.”
Dengan wajah panas dan napas memburu, Pak Liang menggenggam lembar ujian itu bersama daftar nilai, lalu melangkah cepat ke luar ruang guru.
Di pintu, ia berpapasan dengan Ibu Rinjani. Tatapannya sinis.
“Ibu Rinjani, muridmu hebat sekali, ya,” ujarnya dengan nada mengejek. “Nilai pas-pasan, kelakuan buruk, tapi masih tega curang demi jadi nomor satu. Aku jadi penasaran, berapa banyak murid di kelasmu yang belajar cara mencontek seperti dia?”
Kening Ibu Rinjani mengerut.
“Aku mau lihat, apa kali ini kau masih bisa membelanya.”
Ia lalu pergi ke ruang kepala sekolah.
Meski yakin Shinta tidak mungkin curang, Ibu Rinjani tetap merasa khawatir dan akhirnya ikut menyusul.
Beberapa guru lain saling pandang. Dalam hati, sebagian dari mereka justru senang melihat Pak Liang kerepotan.
Mereka tidak berharap Shinta benar-benar curang, tapi kalau nilai itu memang asli, berarti sekolah baru saja melahirkan murid jenius, bahkan lebih hebat dari Silviana.
Beberapa menit kemudian, mereka semua sudah berkumpul di ruang kepala sekolah.
“Pak Kepala Sekolah, murid bernama Shinta Bagaskara kali ini mendapat 736 poin, mengalahkan Silviana dengan selisih dua belas poin. Nilai setinggi itu tidak masuk akal! Dia pasti mencontek.”
Menurut Pak Liang, seorang anak dari desa dengan latar belakang pendidikan seadanya tidak mungkin tiba-tiba menjadi peringkat satu di seluruh sekolah, apalagi dengan soal sesulit ini.
Namun, salah satu guru yang mengawas ujian Shinta angkat bicara. “Pak Kepala Sekolah, saya yang menjaga ruang ujian Shinta. Dia tidak melakukan kecurangan apa pun.”
Guru lain yang juga menjadi pengawas ikut menimpali, “Saya pun tidak melihatnya mencontek. Dari awal sampai akhir, dia fokus sendiri.”
Karena Shinta cukup dikenal oleh para guru, banyak yang memperhatikan tingkah lakunya selama ujian dan semua guru pengawas ujian kemarin sepakat, anak itu tidak berbuat curang sedikit pun.
semangat thorrr😍😍😍