Kau sewa aku, Kudapatkan cintamu
Semua berawal dari selembar kertas perjanjian.
Ia hanya butuh uang, dan pria itu hanya butuh istri… meski sementara.
Dengan tebusan mahar fantastis, mereka terikat dalam sebuah **pernikahan kontrak**, tanpa cinta, tanpa janji, hanya batas waktu yang jelas. Namun, semakin hari, batas itu mulai kabur. Senyum kecil, perhatian sederhana, hingga rasa yang tak pernah mereka rencanakan… pelan-pelan tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa disangkal.
Penasaran dengan kisahnya? Yuk ikuti ceritanya...
jangan lupa kasih dukungannya ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part. 9- KSA, KDC
Lanjut...
Keira menarik map itu dengan sedikit kasar, lalu membuka lembar pertama. Matanya berlari cepat menelusuri tulisan yang dipenuhi bahasa hukum yang kaku. Semakin dibaca, wajahnya pun makin keruh.
“Menjaga kerahasiaan pernikahan dari pihak luar kecuali keluarga inti…” Keira membaca keras-keras. “Maksudnya apa, Arga? Jadi aku harus diam? Bahkan sama temanku sendiri?”
Arga menegakkan punggungnya, lalu menjawab. “Betul. Aku tidak ingin gosip. Dunia kampus bisa sangat kejam. Dan aku tidak mau ada yang tahu urusan pribadi ini.”
Keira mendengus. “Luar biasa. Aku nikah, tapi harus bungkam kayak penjahat yang disembunyiin.”
Ia lalu beralih ke lembar berikutnya. Matanya pun melebar. “Tidak boleh meninggalkan rumah lebih dari tiga hari tanpa izin suami. Arga, ini konyol! Aku bukan tahanan.”
Arga menatap Keira tajam, tapi tetap bicara dengan tenang. “Itu demi keamananmu. Aku tidak suka ketidakpastian.”
“Keamanan? Atau pengendalian?” balas Keira, dengan suara yang meninggi.
Sementara, pengacara yang duduk di sebelah hanya menunduk, seolah tau posisinya bukan untuk ikut campur.
Keira lalu menutup map itu dengan keras. “Ini bukan perlindungan, Arga. Ini seperti jebakan.”
Arga mencondongkan tubuhnya kembali, lalu bicara dengan pelan tapi terdengar menusuk. “Kalau menurutmu ini jebakan, kenapa kau masih duduk di sini dan membaca sampai habis? Kenapa tidak pergi saja?”
Keira tercekat. Kata-kata itu menohok jantungnya. Ia menggenggam erat map di tangannya dan berusaha menahan rasa gemetarnya.
“Aku…” Keira menelan salivanya. “Aku masih duduk di sini karena aku butuh kuliah. Karena aku butuh masa depan. Tapi bukan berarti aku mau diperbudak.”
Arga tidak membalas, tapi matanya menatap Keira tanpa berkedip. Lalu ia bersandar kembali dan menarik napas panjang.
“Kalau ada syarat yang tidak kamu suka, kita bisa bahas," ujar Arga.
Keira mengerutkan dahinya karena merasa tak percaya. “Benar? Bisa diubah?”
“Bisa,” jawab Arga singkat.
Suasana pun hening sejenak. Jantung Keira kini berdebar dengan cepat. Untuk pertama kalinya ia merasa ada celah untuk bicara.
“Kalau begitu,” katanya lirih tapi tegas, “aku tidak mau syarat yang membatasi kebebasanku. Aku bukan boneka yang bisa kamu atur sesuka hati.”
Arga menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Senyum yang sulit ditebak apakah itu tanda setuju atau tantangan baru.
Beberapa detik kemudian, Arga menyilangkan tangannya di dada, pandangannya tetap menembus Keira seolah membaca pikirannya. Senyum tipisnya pun masih mengendap di bibirnya.
“Baiklah, kalau kau tidak mau syarat itu, kita bahas,” ujarnya datar. “Tapi ingat, Keira… setiap penghapusan syarat punya konsekuensi.”
Keira mengerutkan keningnya. “Konsekuensi apa lagi? Ini pernikahan, bukan jual beli barang.”
“Justru karena ini pernikahan, maka lebih serius dari sekadar jual beli," balas Arga. Nada suaranya tidak meninggi, tapi terdengar menekan dada Keira seperti beban yang tak kasatmata.
Keira lalu ikut melipat tangannya di dada dan menantang balik. “Aku tidak takut dengan konsekuensi. Aku hanya tidak mau diperlakukan seperti tahanan.”
Perlahan tubuh Arga semakin condong ke depan, jaraknya begitu dekat hingga Keira refleks menegakkan punggungnya.
“Kalau aku hapus syarat tentang izin meninggalkan rumah… kau harus menggantinya dengan syarat lain," ujar Arga.
“Misalnya?” tanya Keira seraya menyipitkan matanya.
Arga menatap lurus, lalu mengatakan syaratnya. “Kau harus selalu pulang ke rumah yang sama denganku, setiap malam. Tanpa alasan, tanpa pengecualian.”
Keira langsung melongo. “Apa bedanya? Itu sama saja, Arga!”
“Beda.” Arga menekankan kata itu. “Aku tidak melarangmu pergi. Tapi aku menuntutmu kembali. Itu jauh lebih sederhana, bukan?”
Keira memukul meja kecil di antara mereka dengan telapak tangannya. “Sederhana untukmu! Tapi bagiku tetap belenggu!” pekiknya.
Namun Arga tidak bergeming, sorot matanya pun tetap dingin. “Keira, dunia tidak akan memberi sesuatu tanpa menuntut balasan. Kau ingin kuliah, aku bisa membukakan jalan. Tapi aku juga menuntut kepastian. Aku bukan pria yang suka bermain-main.”
Keira membisu, giginya bergemeletuk menahan amarah sekaligus menahan rasa takutnya. Karena ia tau, pria ini benar-benar serius.
“Kenapa aku?” lirih Keira, yang nyaris seperti gumaman. “Kenapa kau memilih aku, Arga? Dari semua gadis di luar sana… kenapa aku yang harus terjebak dalam tawaran gila ini?”
"Pertanyaan itu lagi," gumam Arga seraya memandangnya lama. Beberapa saat kemudian Arga berkata lagi, “Karena kau satu-satunya yang berani melawanku."
______
___________
Di kafe yang sejuk dan berkelas itu, Keira duduk dengan tangan yang semakin dingin. Matanya terpaku pada sebuah map tebal di meja, sementara Arga duduk tegak di kursinya, dengan wajah yang tenang seperti biasa.
Sedangkan pengacara di sampingnya sudah siap dengan dokumen perjanjian pra-nikah di tangannya.
“Keira, aku tidak ingin kau menandatangani sesuatu tanpa tau konsekuensinya. Jadi aku akan tunjukkan apa yang akan menjadi hakmu.”
Keira mengernyit dan masih menimbang-nimbang apa ini hanya mimpi buruk atau kenyataan.
Arga lalu membuka sebuah halaman dan mendorongnya ke depan Keira. Di sana tertulis angka yang membuat mata gadis itu membesar.
“Seratus juta…?” gumamnya.
Arga menatapnya datar, seolah menikmati keterkejutan itu. “Bukan.”
Pengacara pun tersenyum tipis lalu mulai membacakan isi perjanjian dengan suara formal, tegas, dan jelas.
“Dengan ini, pihak pertama, Saudara Arga Mahendra, menyatakan akan memberikan kompensasi sejumlah sepuluh miliar rupiah kepada pihak kedua, Saudari Keira Prameswari, sebagai bagian dari perjanjian pra-nikah ini…”
Keira langsung tersentak, kursinya pun sampai bergeser sedikit ke belakang karena tubuhnya ikut mundur.
“Ap—APA?!” serunya dengan mata yang nyaris keluar dari tempatnya. “Sepuluh… m-miliar?!”
Tangannya gemetar, jantungnya pun berdetak tak terkendali. “Ini… ini pasti salah dengar. Aku… aku cuma bermimpi, kan?”
Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri sampai memerah, berharap bisa terbangun dari mimpi aneh ini. Tapi ketika pandangannya jatuh lagi pada Arga, pria itu masih duduk di depannya, dengan tatapan tajam yang begitu nyata.
“Ini bukan mimpi,” ujar Arga datar. “Dan aku tidak sedang bercanda, Keira.”
Keira gelagapan. “S-sepuluh… m-miliar… itu… uang segila apa…? Aku… aku bahkan tidak bisa membayangkan punya sepuluh juta dalam tabungan… dan kau…”
“Aku sudah bilang, aku tidak main-main. Kau setuju, tandatangani. Kau menolak, aku akan hancurkan kertas ini sekarang juga,” potong Arga.
Keira menatap laki-laki di depannya itu dengan wajah antara bingung, panik, dan tak percaya. Tangannya terulur gemetar menuju pulpen di atas meja, lalu berhenti.
“B-baiklah… aku setuju…” gumam Keira.
Arga pun mengangguk tipis, seolah itu hanyalah jawaban yang memang sudah dia perhitungkan sejak awal.
**
Hari itu, Keira pulang ke rumah dengan langkah gontai. Lututnya gemetar, napasnya tidak beraturan, dan pandangannya pun kosong. Ia seperti berjalan di antara kabut, tubuhnya bergerak tapi pikirannya entah kemana.
Setibanya di rumah, paman dan bibinya langsung menyambutnya di ruang tamu.
“Keira?” panggil pamannya, cemas. Tapi Keira hanya berjalan melewati mereka tanpa menoleh, dan wajahnya pun pucat pasi.
“Keira, Nak… kau baik-baik saja?” tanya Bibinya sambil buru-buru menghampiri dan menyentuh lengannya.
Keira pun berhenti, lalu menoleh perlahan dengan mata kosong. Ia hanya menggeleng lemah, seperti orang linglung, kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Paman dan bibinya saling pandang, wajah mereka pun dipenuhi kekhawatiran.
“Aku… aku yakin ini karena kejadian semalam,” ujar bibinya. “Lamaran dari pak Tarjo itu membuat Keira shock…”
Pamannya menghela napas dengan berat, seraya menatap ke arah pintu kamar Keira yang baru saja tertutup. “Entahlah… tapi aku rasa ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Keira terlihat… seperti membawa beban yang tidak bisa kita pahami.”
BERSAMBUNG...