NovelToon NovelToon
Claimed By Mister Mafia

Claimed By Mister Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Anak Yatim Piatu / Romantis / Cinta Terlarang / Mafia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: tami chan

Setelah kedua orang tuanya meninggal, Amy pindah ke Bordeaux -sebuah kota Indah di Prancis, dan berteman dengan Blanche Salvator yang ternyata merupakan anak dari seorang Mafia paling di takuti bernama Lucien Beaufort.
Dengan wajah yang karismatik, mata biru dan rambut pirang tergerai panjang, Lucien tampak masih sangat muda di usia 35 tahun. Dan dia langsung tertarik pada Amy yang polos. Dia mendekati, merayu dan menggoda tanpa ampun.
Sekarang Amy di hadapkan pilihan : lari dari pria berbahaya yang bisa memberinya segalanya, atau menyerah pada rasa yang terus mengusiknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tami chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tembok yang runtuh.

Suara sendok yang diletakkan perlahan di atas piring keramik menandai berakhirnya makan malam Lucien dan Amy. Cahaya lampu temaram restoran menyoroti sisa-sisa senyum yang masih mengambang di udara antara mereka berdua.

Makan berdua saja dengan Lucien, entah kenapa membuat hati Amy terasa hangat, apakah mungkin juga karena tawaran Lucien yang begitu menggiurkan? Apa lagi yang Amy inginkan selain pembalasan setimpal untuk Tante Siska dan Om Jo!

"Masih ada waktu," ucap Lucien, suaranya rendah namun terdengar jelas di telinga Amy. "Ayo kita jalan-jalan sebentar. Bordeaux di senja memiliki pesona yang tak akan bisa kau lupakan, Amy."

Hati Amy langsung berdegup kencang. Sebuah alarm kecil berbunyi dalam benaknya. Ini seperti kencan. Dan kencan dengan Lucien, pria yang adalah ayah dari teman sekelasnya, adalah wilayah berbahaya yang yang berusaha dia hindari –sejak pagi ini. Amy akui, awalnya dia memang terlena, siapa sih yang bisa tahan di goda pria tampan dan sangat mempesona serta menggoda ini? 

Namun bayangan wajah Blanche, polos namun penuh tekad, muncul di pikirannya. “Amy itu temanku! Selamanya harus jadi temanku. Kalau dia jadi istri Papa, dia pasti akan sibuk mengurus Papa dan tak mau main denganku lagi!”, “Lagian nggak asik! Masa aku punya Mama yang seumuran denganku!” Kata-kata itu masih terngiang, pedas dan jelas, menjadi tembok tinggi yang memisahkannya dari Lucien.

"Aku… sebaiknya pulang," bantah Amy, berusaha membuat suaranya terdengar tegas. "Besok ada kelas pagi."

Lucien hanya tersenyum, sebuah senyum yang sudah terlalu mahir meluluhkan perlawanan. "Hanya tiga puluh menit. Aku janji akan mengantarmu pulang tepat waktu." Tangannya yang hangat sudah menggenggam lengan Amy dengan lembut, menuntunnya keluar dari restoran sebelum ia sempat mengucapkan penolakan lagi.

Dan begitu kaki mereka menyentuh trotoar kota tua Bordeaux, seisi penolakan Amy seolah meleleh diterpa angin senja.

Langit di atas Sungai Garonne sedang mempertunjukkan sebuah mahakarya. Oranye, merah muda, dan ungu berbaur dalam sebuah gradasi sempurna, memantulkan warnanya ke permukaan air yang berkilauan. Bangunan-bangunan batu kapur yang megah berubah menjadi keemasan, seolah menghangatkan seluruh kota. Suasana di sekelilingnya terasa lambat, romantis, dan syahdu.

Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalanan berbatu. Awalnya, Amy berusaha menjaga jarak, tangannya kaku terlipat di depan. Namun Lucien dengan santai menceritakan sejarah singkat setiap bangunan tua yang mereka lewati, suaranya seperti narator dalam film dokumenter yang hidup. Ia tidak memaksakan percakapan, membiarkan Amy menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka.

Lalu, perhatian-perhatian kecil itu mulai datang, seperti remahan-remahan roti yang menghancurkan benteng pertahanan di hati Amy.

Saat mereka melewati sebuah toko krim es tua yang antriannya panjang, Lucien tiba-tiba berhenti. "Tunggu sebentar," katanya. Ia kembali beberapa menit kemudian dengan dua cup kecil berisi krim es vanilla dengan karamel —rasa favorit Amy yang hanya sekali ia sebutkan secara tidak sengaja.

"Kamu ingat?" tanya Amy, terkejut.

Lucien hanya mengangguk, matanya berbinar. "Aku ingat semua hal tentangmu, Amy."

Saat angin malam mulai berhembus lebih kencang, tanpa banyak bicara, Lucien melepas jaket linennya dan menyampirkannya di bahu Amy. Kehangatan jaket itu, yang masih menyimpan aroma parfum kayu cedar yang khas, seolah meresap hingga ke tulang-tulangnya.

Di sebuah jembatan kecil, mereka berhenti, memandang matahari yang hampir tenggelam sepenuhnya. Pundak mereka hampir bersentuhan. Amy bisa merasakan kehadiran Lucien begitu kuat dan menenangkan.

"Tidak semua tembok harus dirobohkan dengan paksa, Amy," bisik Lucien tiba-tiba, memecah keheningan. Matanya menatap langsung ke dalam mata Amy, seolah bisa membaca seluruh pergulatan di hatinya.

 "Kadang, kita hanya perlu memberinya waktu untuk ditembus oleh cahaya, seperti senja yang perlahan menerobos kegelapan ini." Kalimat itu, diucapkan dengan suara yang begitu dalam dan tulus, adalah pukulan terakhir bagi pertahanan Amy. Rasanya seperti sebuah kebenaran yang ia ketahui namun tak pernah berani akui.

Hatinya goyah. Dahsyat.

Kata-kata Blanche masih ada di sana, di sudut gelap pikirannya, tapi suaranya terdengar sayup, kalah oleh debar jantungnya sendiri yang berdetak kencang untuk pria di sampingnya. Ia menyadari, ini bukan lagi tentang menjadi 'mama' bagi Blanche, atau tentang memenuhi ekspektasi siapa pun. Ini tentang dirinya dan Lucien, tentang dua orang dewasa yang saling tertarik, di sebuah kota yang indah, di bawah senja yang memabukkan.

Amy menarik napas dalam. Ia tidak menjawab, tetapi ia juga tidak menarik tangan ketika jari-jari Lucien secara perlahan menyelip di sela-sela jarinya, menggenggam erat. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan genggaman itu, dalam momen yang sempurna ini, menyerahkan diri pada senja dan pada getar aneh yang mengalir deras di dalam dada mereka berdua. Untuk malam ini, mungkin hanya untuk malam ini, ia memilih untuk berhenti melawan dan menyerah.

+++

Hari sudah semakin gelap, ketika Lucien mengantarkan Amy kembali ke Asrama. Mereka masih berdiri di sana, di dasar tangga tepat di tepi trotoar jalan –saling bertautan tangan –tanpa kata-kata –hanya saling menatap dan tak ingin lepas.

“Jadi… sepertinya… sekarang sudah waktunya kita berpisah?” Tanya Lucien –sekedar memastikan, siapa tau Amy mengurungkan niatnya untuk tidur di asrama dan ikut Lucien pulang.

Amy tersenyum sambil tergelak lirih. “Aku harus kembali sekarang…” ucapnya.

Lucien menarik napas panjang lalu maju selangkah agar lebih dekat dengan Amy. “Bagaimana kalau Jonathan itu datang lagi?” ucapnya khawatir.

“Dia tidak akan bisa masuk, pintu asrama di jaga security dua puluh empat jam,” jawab Amy santai.

“Oke… tapi jika terjadi sesuatu, kau harus segera menelponku, Amy!”

Amy mengangguk dan memberikan senyum manisnya pada Lucien.

“Oh astaga.. senyum itu, membuatku gila…” gumam Lucien sambil menggigit bibirnya sendiri. Lalu dia menengok ke kanan dan kiri, dan berbisik, “boleh minta cium? Sebentar?’

Amy membola, “Non!” pekiknya lirih. Lalu buru-buru dia melepaskan jaket Lucien yang masih tergantung di bahunya dan memberikannya pada pemiliknya.

Lucien terkekeh sambil menerima jaketnya kembali, “oh iya, apakah teman sekamarmu ada?” 

“Amanda? Entahlah, aku belum melihatnya lagi sejak kemarin. Tadi di sekolah juga dia tak ada.”

Lucien mengangguk beberapa kali, “berhati-hatilah dengannya. Katamu dia dekat dengan Mateo?”

“I-iya…” jawab Amy gugup. Apakah Blanche sudah menceritakan semuanya pada Lucien?

“Kalau dia dekat dengan Mateo, aku yakin sekali dia sudah dijerumuskan oleh ayah dan anak sialan itu!”

Amy menatap Lucien –bingung.

“Pokoknya, kau harus berhati-hati dengannya. Jangan menerima apapun pemberiannya apalagi jika dia menawarkan barang-barang aneh seperti obat-obatan!”

Amy terbelalak, “aku ingat! Mateo pernah memberi Amanda beberapa butir obat dalam plastic! Apakah itu…?”

“Iya! Itulah sebabnya aku tidak menyukai Felipe Ramos dan anaknya! Kau berhati-hatilah.” Lucien mengusap pipi Amy lembut, “masuklah, aku akan menunggumu sampai kau aman berada di dalam asrama.”

Amy mengangguk lalu berbalik dan menaiki anak tangga. Sebelum masuk ke dalam asrama, dia berbalik sebentar sekedar melambaikan tangan lalu masuk dan menutup pintu besar itu.

Amy bergegas menaiki tangga, dia ingin masuk ke kamar lalu membuka jendela kamarnya agar bisa melihat Lucien. Namun saat sampai di kamar, dia terkejut karena melihat Amanda yang tengah berbaring dengan wajah pucat di atas ranjangnya.

“Amanda!” pekiknya kaget.

1
sunshine wings
Nah.. Lengah kan.. 🤨🤨🤨🤨🤨
Tamie: pacaran bae jadilengah 😄
total 1 replies
sunshine wings
🤭🤭🤭🤭🤭
sunshine wings
Wah! Kembang setaman Amy.. 🥰🥰🥰🥰🥰
Tamie: 🤭🤭🤭...
total 1 replies
sunshine wings
hahaha . pawangnya Amy..
sunshine wings
🥰🥰🥰🥰🥰
Tamie: mleyot g tuh 🤭🤭
total 1 replies
sunshine wings
hubungi papanya Blanche, Amy..
sunshine wings
Jangan coba² 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
Tamie: belum tau siapa Lucien dia 😏😏
total 1 replies
sunshine wings
Betul apa katanya Amy.. Enak saja ngatain orang yg nggak² 😏😏😏🙄🙄
sunshine wings
Papanya toh..🥰🥰🥰🥰🥰
Tamie: 🤭🤭🤭.....
total 1 replies
sunshine wings
Apa mungkinkah pria yg diselamatkan Amy itu ayahnya ato kakanya Blanche?
🤔🤔🤔🤔🤔
Tamie: jàwabannya ada di bab berikutnya 😎🤭
total 1 replies
sunshine wings
Lanjutkan saja Amy.. Kalo orangnya bae sepatutnya gak masalah ya..
Tamie: bener banget, G usah dengerin gosip 😄🤭
total 1 replies
sunshine wings
Semangat Amy 💪💪💪💪💪
Semua akan indah pada waktunya..
Karma tidak akan salah tempat..
❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Cepat Amy!!!
Jangan beri kesempatan pada lintah penghisap darah!!!
💪💪💪💪💪❤️❤️❤️❤️❤️
Tamie: pasti semua bakal kena balasan satu persatu 😎😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!