Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 20
Di kediaman keluarga Ruelle,
Meghan meminta izin untuk pulang pada Bima setelah Dio mengantarkannya ke apartemen milik Bima. Kini, ia tengah menikmati film bersama Morgan, kakaknya.
Di sela-sela menonton, Meghan tak sungkan menceritakan semua yang terjadi beberapa hari lalu, termasuk hubungannya dengan Dio.
"Hah? Kamu masih perawan?" ucap Morgan tak percaya, matanya membulat sempurna.
Meghan langsung memukul wajah Morgan dengan bantal yang dipeluknya, membuat Morgan terbahak melihat reaksi adiknya. Tawa Morgan menggema, memecah keheningan malam.
Ia percaya pada setiap cerita adiknya. Meski terlihat masa bodoh, Morgan selalu memantau Meghan dari jauh, menggunakan pengawal bayangan.
Morgan juga yang menghukum lima pria yang mengganggu Meghan dan Regina. Ia tahu betul tentang lima pria dan obat perangsang di dalam minuman Bima. Semua sudah diatur sedemikian rupa, seperti bidak catur yang digerakkan oleh tangan yang tak terlihat.
Morgan hanya khawatir jika hubungan adiknya itu diketahui oleh sang ayah, Ruelle Alexander Beaumont. Urusannya bisa menjadi sangat rumit.
Berbeda halnya jika sang ibu yang mengetahui. Ia pasti akan sangat senang, mengingat Meghan adalah anak bungsu yang terlalu mandiri, bahkan tak memiliki satu pun teman pria.
Entah karena kekuatan Tuan Ruelle atau memang Meghan yang menutup diri, yang jelas itulah kenyataannya.
Hari demi hari berlalu, Meghan belum juga kembali ke apartemen milik Bima. Tubuhnya terasa sakit semua, kondisinya pun kian melemah.
Eleanor, sang ibu, cemas melihat keadaan putrinya. Sementara itu, Ruelle mulai menaruh curiga pada Meghan.
Dua minggu sudah Meghan sakit. Hasil pemeriksaan menyatakan Meghan menderita sakit magh, penyakit yang memang sudah lama ia derita. Di pagi hari, ia mengalami mual dan muntah, namun tidak terlalu parah, dan perutnya terasa tidak nyaman.
Di belahan dunia lain...
Dio kini sedang mengalami muntah dan mual parah hingga tubuhnya lemas dan pucat. Setiap kali diperiksa, dokter selalu menduga Couvade Syndrome. Namun, melihat status Dio yang masih lajang, diagnosis itu terasa tidak mungkin. Akhirnya, dokter menetapkan bahwa ia menderita penyakit magh.
Sudah dua minggu, setiap pagi ia mengalami mual dan muntah yang parah. Ia berusaha mengeluarkan semuanya, namun hanya air yang keluar. Ia juga merasa mual jika mencium aroma wewangian. Anehnya, belakangan ini ia sering memasak, meskipun ia sendiri tidak memakan masakannya.
Ia lebih memilih untuk hanya makan buah, roti, atau biskuit karena hanya makanan itu yang dapat diterima tubuhnya. Jika ia mencoba makan nasi atau makanan berat lainnya, Dio akan langsung muntah, bahkan sebelum makanan itu sampai di tenggorokan. Perutnya menolak segala makanan berat, seolah ada pemberontakan di dalam sana.
Aisyah, sang ibu, sebenarnya sudah menduga akan hal ini, namun ia memilih diam. Biarlah putranya itu merasakan apa yang dirasakan ibu hamil pada umumnya. Namun, di sisi lain, Aisyah juga merasa senang sekaligus cemas.
Senang karena ia akan segera menjadi seorang nenek, cemas karena Ahmed pernah bercerita bahwa keluarga Ruelle tidak segan menghukum siapa pun yang bersalah. Bayangan akan hukuman itu menghantuinya.
Setiap malam, Aisyah selalu duduk di atas sajadah, memohon bantuan dan jalan keluar kepada Sang Pemilik Hidup. Ia hanya meminta agar seluruh keturunannya dilindungi dan dimaafkan atas segala kesalahan mereka, serta diberikan kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Doanya mengalir bagai sungai yang tak pernah kering, memohon ampunan dan perlindungan.
Di tempat lain...
Regina akhirnya sadar dari koma setelah dua minggu terbaring di rumah sakit. Adhi dan Anissa sudah berada di London sejak dua hari setelah Regina dirawat.
Adhi dan Anissa memilih untuk diam, tak ingin memperkeruh suasana. Mereka yakin Bima pun terpukul dengan kejadian ini. Keyakinan itu terbukti saat Bima dengan telaten merawat Regina, membersihkan tubuh istrinya setiap pagi dengan air hangat dan waslap.
Bima melakukan itu dengan tatapan mata kosong, seolah tak ada lagi semangat hidup yang tersisa dalam dirinya. Untungnya, Alan dan Rizky memilih untuk menetap di sana untuk sementara waktu, sehingga mereka masih bisa mengajak Bima mengobrol tentang hal-hal ringan. Kehadiran mereka bagai setitik cahaya di tengah kegelapan.
Adhi dan Anissa, sebagai mertua, hanya bisa memberikan semangat untuk Bima, sang menantu. Anissa selalu mengingatkan Bima untuk makan, istirahat, dan salat. Ya, Bima melakukan semuanya, namun tetap dengan kekosongan yang sama. Hatinya terasa hampa, seperti ruang yang tak berpenghuni.
Regina masih diam membisu setelah mengetahui kenyataan pahit itu. Ia memang merasakan sesuatu yang berbeda pada tubuhnya, namun ia tidak terlalu memikirkannya.
Regina juga menyadari bahwa dirinya sudah hampir sebulan tidak kedatangan tamu bulanan. Ia berencana memeriksakannya saat Bima dan dirinya memiliki waktu luang.
Namun, takdir berkata lain. Anak yang diharapkan oleh keduanya kembali pulang sebelum sempat bertemu dengan mereka sebagai orang tua. Regina hanya berbicara seperlunya saja.
Selebihnya, ia memilih untuk tidur atau melamun, lalu menangis sesenggukan hingga tertidur. Bima tersiksa melihat istrinya seperti itu, namun ia tidak dapat berbuat banyak. Regina enggan berdekatan dengannya terlalu lama. Dinding es telah tumbuh di antara mereka.
Bahkan, saat pertama kali mengetahui bahwa dirinya keguguran di usia kehamilan yang baru menginjak dua minggu, ia marah, menangis, dan histeris. Regina juga sempat meminta Adhi dan kedua kakak laki-lakinya untuk mengusir Bima.
Regina menuduh Bima tidak ingin memiliki anak bersamanya, dan karena itulah Bima membunuh anaknya, anak yang bahkan belum ditiupkan ruh ke dalam tubuhnya. Kata-kata itu bagai anak panah yang menancap dalam di hati Bima.
Padahal, tanpa Regina ketahui, justru Bimalah yang paling merasakan sakitnya kehilangan anak, juga mendapati keadaan sang istri yang begitu terpukul. Luka di hatinya menganga lebar, sama perihnya dengan luka yang dirasakan Regina.
Hari sudah pagi. Bima memutuskan untuk keluar membeli makanan di luar untuk Regina, agar istrinya tidak bosan karena terus-menerus makan masakan rumah sakit. Kebetulan, Regina masih tertidur.
Adhi, Anissa, dan kedua kakak laki-laki Regina memilih untuk jarang berkunjung, atas permintaan Anissa.
Anissa meminta agar mereka tidak sering berkunjung karena ia ingin kembali menjahit robekan di kain kehidupan anak dan menantunya. Mereka semua memahami dan menyetujui permintaan itu. Mereka ingin memberikan ruang bagi keduanya untuk berdamai dengan diri sendiri dan keadaan.
Jika ingin mengirimkan masakan, mereka lebih memilih menunggu di ruang tunggu hingga Bima datang menghampiri. Pelukan hangat dan ucapan semangat terus mereka berikan saat mengunjungi Bima.
Mereka ingin Bima tidak patah semangat menghadapi kehidupan dan sikap Regina yang dingin padanya. Mereka tahu, ini tidak mudah bagi keduanya.
Bima sudah kembali dari luar. Ia melihat Regina sudah bangun dan tengah duduk melamun. Perlahan, Bima mengecup pucuk kepala istrinya, namun sayang, Regina tidak merespons. Sentuhannya bagai angin lalu.
Bima mencuci tangannya di wastafel, lalu membuka bungkusan makanan yang ia beli. Ia membeli bubur ayam. Bima menarik kursi, hingga berjarak dengan tubuhnya.
"Makan dulu ya," ucap Bima sambil menyodorkan sesendok bubur di depan bibir istrinya. Regina hanya diam seperti patung. "Sayang," panggil Bima pada Regina.
Regina tersadar. Matanya beralih menatap Bima, kemudian ia menggeleng pelan. Bibirnya kering, wajahnya pucat seolah tak dialiri darah, kantung mata menghitam, dan tubuhnya kian kurus. Bayangan kesedihan terpancar jelas dari dirinya.
Bima menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia meletakkan bubur tersebut di atas meja. Bima menggenggam tangan Regina yang terasa dingin, lalu mendekatkannya ke dadanya.
Ia ingin Regina tahu bahwa di sini, di dalam hatinya, Bima juga merasakan sakit dan kehilangan yang sama. Namun, di sisi lain, Bima juga membutuhkan dirinya, membutuhkan kekuatan Regina untuk melewati masa sulit ini.
Regina hanya melirik, lalu menarik tangannya dari genggaman Bima. Bima kembali mengambil bubur tersebut dan mencoba menyuapi Regina lagi. Sekali lagi, Regina hanya menggeleng pelan.
"Satu saja," bujuk Bima. Regina menatap wajah Bima cukup lama, lalu ia mengibaskan tangannya tepat mengenai bubur yang dipegang oleh Bima. Alhasil, bubur berhamburan keluar mengenai selimut, baju, dan celana Bima, juga lantai.
"Aku bilang tidak, ya tidak!" Suara Regina pelan, namun menusuk bagai sembilu. Setelah berbicara begitu, Regina memilih untuk membuang selimutnya ke lantai dan berbaring membelakangi Bima.
Bima mematung. Hingga beberapa detik kemudian, ia tersadar. Ia membersihkan kekacauan yang dibuat oleh Regina dengan sabar dan tanpa suara. Ia juga sudah menghubungi pelayanan rumah sakit, meminta selimut baru. Ia menelan pahitnya penolakan dengan lapang dada.
Sebulan telah berlalu, dan kini Regina sudah diperbolehkan pulang. Waktu yang dilalui terasa begitu berat, terutama bagi Bima. Ia dengan sabar merawat Regina, menghadapi segala penolakan yang dibuat oleh Regina, seolah menumbuhkan tembok raksasa yang semakin membatasi keduanya. Jarak di antara mereka terasa semakin lebar.
Adhi dan Anissa mengantar keduanya ke apartemen milik Bima, tempat tinggal mereka. Regina merengek meminta ikut pulang ke Indonesia.
Adhi dengan tegas mengatakan bahwa Regina harus sembuh dulu, dan mencari tempat pulang yang sesungguhnya, yaitu keikhlasan hati.
Regina dan Bima masih tidur di kamar yang sama, namun Bima memilih untuk tidur di sofa. Ia sudah mulai melakukan aktivitasnya kembali, tetapi belum sanggup untuk kembali ke perusahaan. Untungnya, Nathan dan Edward mampu menghandle semuanya, dibantu oleh Alan dan Rizky jika diperlukan.
Pagi itu, Bima sudah selesai membuat roti bakar selai cokelat dan susu cokelat kesukaan Regina. Ia meletakkannya di atas meja, lalu mencium kening Regina sesaat. Regina masih tertidur pulas, terlelap dalam dunianya sendiri.
Bima memutuskan untuk keluar kamar, membawa laptopnya untuk mengecek laporan dan email yang dikirim oleh Nathan dan Edward. Ia ingin memastikan semuanya berjalan lancar, meski dari kejauhan.
Ia juga sudah menghubungi Meghan, berharap Meghan bersedia menemani sang istri. Namun, Meghan belum memberikan jawaban pasti.
Bima merasa lelah setelah hampir seharian mengerjakan pekerjaannya melalui laptop. Kelelahan itu menghantarkannya hingga ia tertidur di sofa.
Regina perlahan membuka pintu kamar. Ia melihat Bima tengah tertidur dengan posisi duduk. Dengan hati-hati, Regina mengambil laptop dan membenarkan posisi tidur suaminya. Ada sentuhan lembut dalam setiap gerakannya.
Regina masuk ke kamarnya dan mengambil selimut, menutupi tubuh Bima. Di luar sedang hujan deras. Regina memutuskan untuk pergi ke balkon belakang, tempat biasa ia menjemur pakaian.
Di bawah derasnya air hujan, Regina duduk di lantai, menikmati setiap tetesan air yang membasahi tubuhnya. Seolah mencari ketenangan, ia menatap langit yang gelap dan kelam. Air mata berbaur dengan air hujan, menyamarkan kesedihannya.
Bima terbangun, lalu tersenyum mendapati selimut yang menghangatkan tubuhnya. Ia bangkit, membawa laptopnya ke kamar. Pandangannya terpaku pada makanan yang berada di atas meja.
Masih utuh, belum tersentuh, bahkan suhunya sudah dingin. Ia duduk di pinggiran ranjang, mencari keberadaan istrinya. Karena tak ada, Bima mengira istrinya berada di kamar mandi. Cukup lama Bima menunggu, dan akhirnya ia tak sabar.
Bima berjalan ke arah kamar mandi, membuka pintunya dengan kasar. Kosong! Kamar mandi itu kosong. Ia mulai panik. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk mulai menghantuinya.
Bima mencoba mencari istrinya di setiap sudut, setiap ruangan, namun nihil. Ia masih berusaha berpikir positif, meski hatinya mulai diliputi kecemasan. Semua ruangan sudah ia geledah, namun Regina tetap tak ditemukan.
Ia meraih ponselnya, menghubungi nomor Regina. Nada panggilan telepon berdering nyaring, suaranya berasal dari kamarnya. Bima semakin panik. Firasat buruk semakin kuat mencengkeram hatinya.
Dengan tangan bergetar, ia menghubungi nomor Nathan. "Ya, Bima?" ucap Nathan setelah panggilan terhubung.
"Regina hilang, tidak ada di rumah," ucap Bima dengan suara tercekat. "Sudah dicari di setiap sudut ruangan?" tanya Nathan. Bima mengangguk, seolah Nathan dapat melihatnya. "Jangan panik. Aku dan Edward segera ke sana. Cek CCTV, kami juga akan menyusuri jalanan, siapa tahu Regina belum jauh," ucap Nathan, berusaha menenangkan Bima.
Bima segera mengambil laptopnya, mengecek CCTV sesuai dengan perintah Nathan. Bima tersenyum tipis melihat Regina dengan lembut membenarkan letak tidurnya dan menyelimuti tubuhnya. Setidaknya, ia tahu bahwa Regina masih peduli padanya. Durasi video dipercepat oleh Bima agar ia bisa dengan cepat menemukan Regina.
Regina berjalan ke arah balkon, dan belum juga kembali sampai sekarang. Bima segera berlari, menerobos derasnya air hujan. Ia mendapati Regina sudah terbaring di bawah guyuran hujan, bibirnya membiru.
Dengan cepat, Bima menggendong tubuh istrinya. Ia menggantikan baju Regina yang basah. Bekas kebiruan dan bekas gigitan mulai menyamar, namun tidak sepenuhnya hilang. Luka-luka itu adalah saksi bisu penderitaan Regina.
Bima juga sudah menghubungi Nathan, meminta Nathan membawa dokter bersamanya. Waktu terasa berjalan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan.
Sambil menunggu Nathan datang bersama dokter, Bima dengan cepat menggosokkan telapak tangannya ke tangan Regina, berusaha menghangatkan tubuh istrinya. Ia juga memeluk tubuh Regina agar tidak kedinginan. Ia merasakan suhu tubuh Regina berubah. Bima mengeceknya, dan benar, Regina demam.
Tak berselang lama, pintu pun terbuka, menampilkan seorang dokter wanita yang dibawa oleh Nathan dan Edward. Bima keluar dari kamar sembari menunggu Regina diperiksa. Ia menceritakan semuanya pada Nathan dan Edward, mencurahkan segala kekhawatiran yang membebani hatinya.
Setelah memeriksa, dokter mengatakan bahwa Regina hanya demam dan dehidrasi. Dokter menyarankan agar Regina dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang lebih intensif.
Bukan Upik Abu