Aluna, seorang pekerja kantoran, punya satu obsesi: Grand Duke Riven Orkamor, antagonis tampan dari game otome yang seharusnya mati di semua rute. Baginya, menyelamatkan Riven adalah mimpi yang mustahil.
Hingga sebuah truk membuatnya terbangun sebagai Luna Velmiran — putri bangsawan kaya raya yang manja dan licik, salah satu karakter dalam game tersebut.
Kini, Riven bukan lagi karakter 2D. Ia nyata, dingin, dan berjalan lurus menuju takdirnya yang tragis. Berbekal pengetahuan sebagai pemain veteran dan sumber daya tak terbatas milik Luna, Aluna memulai misinya. Ia akan menggoda, merayu, dan melakukan apa pun untuk merebut hati sang Grand Duke dan mengubah akhir ceritanya.
Namun, mencairkan hati seorang antagonis yang waspada tidaklah mudah. Salah langkah bisa berarti akhir bagi mereka berdua. Mampukah seorang fangirl mengubah nasib pria yang ia dambakan, ataukah ia hanya akan menjadi korban tambahan dalam pemberontakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Grand Duke!
Hari pertama di Akademi Trisula terasa begitu sureal. Lautan siswa baru memenuhi halaman utama, suara mereka berdengung menciptakan musik latar yang penuh semangat dan kegugupan.
Namun, Luna tidak peduli pada semua itu. Perhatiannya terkunci pada tiga orang di dekat air mancur pusat.
Berdiri dengan anggun di balik pilar koridor, ia menggunakan kipas Desera-nya untuk menutupi separuh wajahnya. Dari luar, ia tampak seperti seorang nona bangsawan yang sedang termenung menikmati pemandangan. Di dalam, otaknya bekerja sekeras seorang analis intelijen.
"Iselyn, Elion, dan Zean. Tiga karakter kunci sudah berkumpul. Event pertama sedang berlangsung. Aku harus tahu siapa yang Iselyn pilih...."
Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahunya dengan cukup keras. "Hoi!"
Luna nyaris terlonjak kaget, tetapi refleks tubuhnya menahannya untuk tetap tenang. Ia berbalik dengan gerakan pelan yang terkalkulasi. Sebuah suara yang familier dan penuh energi terdengar di telinganya.
"Serius sekali. Lagi mengincar mangsa yang mana, Tuan Putri Manja?"
Di hadapannya, berdiri seorang gadis yang tingginya hanya sebahu Luna, mengenakan seragam laki-laki dengan kancing atas yang terbuka. Uniknya, Luna merasa akrab, seperti telah berteman dekat sejak lama.
Rambut merah tembaganya diikat tinggi menjadi kuncir kuda yang berantakan, dan mata hijau gioknya menatap Luna dengan jahil. Ia sedang mengunyah sepotong dendeng kering. Luna mengenalinya dengan baik. Salah satu dari tiga sahabat wanita Iselyn selain Luna, si kuat yang rakus, Garam Ironveil.
"Garam," desah Luna, nadanya anggun namun terselip nada lelah. "Bisakah kau tidak menepuk bahuku seperti sedang mencoba meremukkan batu?"
"Tidak bisa," jawab Garam setelah menelan dendengnya. "Ngomong-ngomong, kau kelihatan berbeda. Lebih... licik?"
Luna terkejut. Di game, dijelaskan kalau Garam dan Luna sudah berteman sebelum mereka masuk ke akademi. Tapi dia tidak tahu kalau mereka sedekat itu sampai Garam tahu ada sesuatu yang berubah darinya.
Sebelum Luna sempat menjawab, Garam sudah mengeluh. "Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Aku lapar. Sangat lapar. Kantin di sini katanya menyajikan daging panggang terbaik."
Ia kemudian menjentikkan sebuah kunci perunggu di depan wajah Luna. "Aku sudah menaruh barang-barangku di kamar kita. Cepatlah, aku mau lihat sebagus apa makanan kantin akademi. Kau yang traktir, kan?"
Luna terdiam sejenak, memproses informasi itu. "Kamar... kita?"
"Yap! Aku bertemu Lady Aylin sehari yang lalu, dia memintaku untuk menjagamu. Saat aku periksa tadi, rupanya kita menjadi teman sekamar. Apa harta Duke Velmiran yang melakukannya?" Garam menyeringai lebar.
"Teman sekamar? Dengan gadis paling berisik dan rakus se-kekaisaran ini? Kakak perempuanku yang melakukannya? Kenapa!?" batin Luna. Dia merasa sakit kepala kronis akan segera datang padanya di masa depan.
"Kau tidak ada kegiatan, kan?"
Luna melirik kembali ke arah Iselyn. Mereka masih disana. Dialog event lebih lama yang Luna pikirkan. Kalau di game dialog mereka berbentuk teks dan bisa dipercepat. "Ah, aku...."
"Ayo!" Tanpa menunggu jawaban, Garam meraih pergelangan tangan Luna dan mulai menariknya menyusuri koridor.
"Perutku sudah berteriak minta keadilan!"
Luna hanya bisa pasrah diseret oleh kekuatan Garam yang mengejutkan. "Ya sudahlah. Lagipula tidak ada yang benar-benar penting di bagian pembuka ini. Pun aku juga akan tahu siapa yang akan dipilih oleh Iselyn saat sambutan dekan akademi nanti."
Saat mereka berbelok di sebuah persimpangan koridor yang ramai, waktu seolah berhenti bagi Luna.
Di sana, berjalan sendirian dari arah berlawanan, adalah dia.
Rambut platinumnya berkilau lembut di bawah cahaya sihir dari lampu gantung sederhana. Mata biru esnya menatap lurus ke depan, fokus pada buku-buku tebal yang dibawanya, seolah tidak peduli pada keramaian di sekitarnya.
Aura dingin dan kesepian yang keluar darinya menciptakan sebuah dinding tak kasat mata, membuat para siswa lain secara naluriah memberinya jalan.
Ia persis seperti di dalam game, tetapi seratus kali lebih nyata dan seribu kali lebih tampan. Setiap langkahnya, setiap helai rambutnya yang bergerak, setiap detail seragamnya yang sempurna... semuanya begitu hidup.
Grand Duke! Riven Orkamor!
Di luar, tubuh Luna membeku. Wajahnya tetap tenang di balik kipasnya, hanya matanya yang sedikit melebar — sebuah refleks sempurna dari didikan bangsawannya selama 17 tahun.
Di dalam, Aluna sedang berteriak histeris.
"ITU DIA! RIVEN! SUAMIKU! DIA NYATA! DIA BERNAPAS! DIA BERJALAN! YA TUHAN, GANTENGNYA MELEBIHI ILUSTRASI LEVEL SSS! OKSIGEN! AKU BUTUH OKSIGEN! TOLONG, AKU BISA MATI BAHAGIA SEKARANG JUGA! FOTO! AKU HARUS FOTO — TIDAK, TAHAN DIRIMU, ALUNA! JANGAN AGRESIF! INGAT ALUNA, KAMU ITU SEKARANG LUNA VELMIRAN!"
Saat Riven semakin mendekat, melewati mereka dengan jarak hanya beberapa meter, sebuah ide gila — sebuah ide yang brilian — terlintas di kepala Luna.
Ini adalah kesempatannya. Pertemuan "alami" yang ia rencanakan bisa terjadi sekarang juga.
Ia menghentikan tarikan Garam dengan sebuah sentakan kuat. "Garam, tunggu," desisnya.
Garam menoleh, hendak protes karena perjalanan menuju makan siangnya terganggu, tetapi ia langsung terdiam saat melihat ekspresi Luna. Wajah temannya itu kini dingin, fokus, dan penuh perhitungan. Api aneh menyala di mata biru Luna.
Dengan gerakan cepat, Luna mengaktifkan cincinnya. Sekeping koin emas berkilauan tiba-tiba muncul di telapak tangannya. Ia menyodorkannya ke depan Garam.
Mata hijau giok Garam yang tadinya malas langsung membelalak. Kilatan kerakusan yang murni muncul di matanya, fokusnya 100% terkunci pada koin emas itu.
Luna mencondongkan tubuhnya dan berbisik dengan suara yang tajam dan mendesak.
"Kau lihat pria super tampan maksimal berambut platinum dan bermata biru itu?"
Garam mengangguk cepat, matanya masih terpaku pada koin emas. Itu setara dengan uang sakunya selama empat bulan yang diberikan oleh Marquess Ironveil.
"Dorong aku ke arahnya... sealami mungkin."
Garam menyeringai licik, seolah berkata 'serahkan padaku'. Ia mengambil koin emas itu dengan cepat.
Saat Riven tinggal berjarak beberapa langkah lagi, Garam berpura-pura tersandung dan mendorong punggung Luna dengan kekuatan yang... sedikit berlebihan.
"Ups!" seru Garam, sama sekali tidak terdengar menyesal.
Dunia Luna berputar. Jarak antara dirinya dan Riven berkurang dalam sekejap. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Tubuhnya, yang sudah kaku karena campuran gugup dan bahagia, terlempar ke depan seperti papan kayu.
Riven, yang menyadari pergerakan tiba-tiba itu, berhenti melangkah dan memasang kuda-kuda, siap menahan benturan.
Luna, dengan tangan yang terjulur kaku, tidak jatuh dalam pelukan romantis seperti di novel-novel. Sebaliknya, tangannya mendarat dengan canggung dan menggenggam erat kerah seragam Riven.
GRAP!
Hening.
Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Untuk pertama kalinya, Luna bisa melihat pantulan dirinya di mata biru sedingin es itu. Ia bisa mencium aroma samar mint dan kertas tua dari tubuhnya.
Kepalanya kosong.