NovelToon NovelToon
Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:20.3k
Nilai: 5
Nama Author: Shaa_27

“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”

Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.

Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.

Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.

Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

titik awal kebahagiaan Rani?

Matahari pagi mulai menampakkan sinarnya. Suara ayam berkokok bersahutan, udara desa masih terasa segar dan sejuk. Namun pagi itu, suasana di depan rumah Bu Marni justru jauh dari tenang. Puluhan warga sudah berkerumun, saling berbisik dan menunjuk-nunjuk ke arah rumah itu.

Dari ujung jalan, sebuah becak perlahan berhenti. Turunlah Andi dan Bu Marni dengan wajah letih. Bu Marni masih tampak pucat, tubuhnya sedikit lemas karena tekanan darahnya sempat tinggi semalam. Namun ia sama sekali tidak menyangka akan disambut pemandangan seperti ini.

“Ada… ada apa ini?” tanya Andi heran, matanya menyapu kerumunan warga.

“Lho, kok rame begini?” Bu Marni mulai merasa gelisah.

Melati berlari kecil dari halaman rumah, wajahnya panik dan mata sembab. Di belakangnya, Maya ikut keluar dengan wajah tak kalah cemas.

“Bu… Mas Andi…” suara Melati bergetar, “Tadi pagi… ada tiga orang debt collector datang ke sini.”

Andi langsung tersentak. “Apa? Debt collector?”

Maya mengangguk cepat. “Iya. Katanya ini kunjungan pertama, Bu… dan Ibu telat bayar satu bulan. Total hutangnya… seratus lima puluh juta rupiah.”

Ucapan Maya membuat seluruh warga yang mendengar semakin riuh. Suara bisik-bisik langsung berubah jadi gumaman keras.

“Seratus lima puluh juta?”

“Waduh, gede banget tuh!”

“Pantesan orang-orang tadi badannya gede semua, serem…”

Wajah Bu Marni langsung pucat pasi, napasnya tertahan. “Apa…? Uang segitu banyak? Hutang siapa? Ibu… Ibu nggak pernah hutang pinjol! HP aja Ibu nggak punya!”

Melati menunduk, suaranya kecil. “Mereka nunjukin surat penagihan, Bu… nama Ibu ada di situ. Alamat kita juga lengkap.”

“Gak mungkin!” Bu Marni mulai bergetar. “Ibu nggak pernah ngutang sepeser pun!”

Maya mencoba menenangkan, namun suaranya juga terdengar gugup. “Mereka bilang kalau nggak ada kejelasan, mereka bakal datang lagi… dan kali ini lebih banyak orang.”

Para tetangga mulai bersuara lebih keras.

“Pantesan akhir-akhir ini rumah ini sering ribut.”

“Pinjol itu bahaya, bisa disita rumahnya.”

“Udah pasti ada yang pakai nama ibunya.”

Bu Lastri, yang dikenal suka ikut campur urusan tetangga, maju ke depan dengan nada menyindir.

“Lho, Andi… kalau bukan ibumu, siapa lagi? Masa iya ada orang iseng pinjem uang segitu besar pakai nama Bu Marni. Data mereka lengkap lho.”

Andi membalas dengan nada meninggi. “Bu Lastri, tolong jangan asal nuduh! Kami juga baru tahu soal ini!”

“Lho, saya cuma ngomong kenyataan!” sahut Bu Lastri dengan tangan terlipat di dada. “Kalau nggak diselesaikan, debt collector itu bisa datang tiap hari!”

Suasana pagi itu makin memanas. Warga lain hanya menyaksikan dengan wajah penasaran, sebagian malah mengambil video diam-diam dengan ponsel mereka.

Bu Marni terduduk di kursi depan rumah, matanya berkaca-kaca. “Dari mana… dari mana Ibu harus bayar uang sebanyak itu…” gumamnya lirih.

Andi mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Siapa pun yang pakai nama Ibu buat ngutang, akan gue cari. Sampai ketemu!”

★★★★★

Pagi itu, sinar mentari menembus tirai tipis kamar Rani. Udara sejuk membawa aroma embun dan bunga halaman. Rani berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja kerjanya. Rambutnya diikat sederhana, namun wajahnya tampak segar dan cerah—jauh berbeda dari beberapa minggu lalu saat hidupnya dipenuhi air mata dan kemarahan.

Saat melangkah keluar kamar, suara klakson mobil pelan terdengar dari depan rumah. Alis Rani berkerut. “Siapa pagi-pagi begini?” gumamnya. Ia berjalan menuju jendela, lalu terbelalak kecil melihat siapa yang ada di depan pagar.

Dion.

Cowok itu berdiri santai bersandar pada mobil SUV hitamnya, mengenakan kemeja putih tergulung di lengan, celana panjang rapi, dan senyum hangat yang selalu membuat suasana hati Rani terasa ringan.

Rani membuka pintu rumah dengan langkah cepat. “Dion? Kamu ngapain di sini sepagi ini?” tanyanya terkejut namun tak bisa menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirnya.

Dion mengangkat alisnya, tangannya memasukkan kunci mobil ke saku celana. “Menjemput kamu, tentunya. Masa perempuan secantik kamu dibiarkan jalan sendirian pagi-pagi? Dunia ini nggak seaman itu, Rani.”

Rani menghela napas kecil, tapi senyum di wajahnya justru makin lebar. “Gombal pagi-pagi, ya?”

“Bukan gombal, itu bentuk kepedulian,” jawab Dion cepat, matanya menatap Rani lembut.

Mereka pun berjalan beriringan ke arah mobil. “Padahal aku bisa berangkat sendiri, Dion. Kamu nggak perlu repot-repot,” ucap Rani pelan sambil merapikan tasnya.

Dion membuka pintu mobil untuknya dengan sikap gentleman. “Aku tahu kamu bisa sendiri. Tapi kadang… orang yang kuat juga butuh seseorang buat nemenin, kan?”

Rani terpaku sejenak, lalu perlahan masuk ke dalam mobil. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Suasana di antara mereka terasa hangat namun tidak canggung.

Begitu mobil melaju, Dion menyalakan musik pelan. Lagu romantis mengalun lembut. “Kamu kelihatan beda sekarang,” katanya sambil melirik Rani sekilas.

“Beda gimana?” tanya Rani penasaran.

“Lebih tenang. Lebih… bahagia,” jawab Dion dengan tulus. “Aku suka lihat kamu kayak gini. Kamu berhak bahagia, Ran.”

Rani terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Dion. “Terima kasih ya, Dion. Kamu selalu muncul di saat aku lagi butuh seseorang. Kamu tahu nggak, selama ini aku nggak pernah dijemput kerja kayak gini.”

Dion tersenyum. “Kalau gitu, anggap aja ini awal dari kebiasaan baru.”

Rani terkekeh kecil. “Kamu tuh… suka bikin aku nggak nyaman tapi dalam cara yang menyenangkan.”

Dion tertawa ringan. “Bagus dong, berarti aku berhasil bikin kamu nggak bisa berhenti mikirin aku.”

“Jangan GR deh,” balas Rani cepat, tapi pipinya merona.

Perjalanan ke pabrik dipenuhi dengan obrolan ringan—tentang hobi, masa kecil, cita-cita, bahkan makanan favorit. Tidak ada tekanan, tidak ada beban. Hanya dua orang yang saling menikmati kebersamaan pagi itu.

Begitu mobil Dion berhenti di halaman depan pabrik, mata puluhan karyawan langsung tertuju ke arah kendaraan hitam mengilap itu. Mereka saling berbisik pelan, penasaran siapa yang datang sepagi itu—dan apalagi mobil itu bukan sembarang mobil. Semua orang tahu… itu mobil bos besar, pemilik pabrik yang baru.

Pintu mobil terbuka pelan. Dari dalam, Rani turun dengan langkah pelan namun anggun. Wajahnya tampak sedikit tegang saat menyadari tatapan semua orang tertuju padanya.

“Eh… itu bukannya… Rani?” bisik salah satu pegawai bagian gudang sambil menyenggol temannya.

“Iya, beneran Rani…” sahut yang lain tak kalah terkejut.

“Lho, kok dia keluar dari mobil Pak Dion?” tambah satu suara lain, kini nada bisikan berubah jadi gumaman keras yang terdengar oleh banyak orang.

Belum sempat mereka mencerna lebih jauh, pintu mobil sisi pengemudi terbuka. Dion keluar dengan kemeja rapi dan kacamata hitam bertengger di hidungnya—tampang elegan dan berwibawa khas pemilik pabrik. Ia berjalan santai ke arah Rani, dan dengan alami berjalan berdampingan dengannya.

Rani merasakan puluhan pasang mata menatap mereka dengan rasa kaget, penasaran, dan sedikit kagum. Ia meremas tali tasnya erat-erat dan menunduk, pipinya memanas.

“Gila… beneran barengan,” gumam salah satu karyawan perempuan.

“Pasti mereka ada hubungan khusus…” sahut yang lain, setengah menahan teriak.

Dion yang sadar akan perhatian itu hanya terkekeh kecil. Ia berhenti sejenak dan menatap semua karyawan pabrik yang berkumpul di depan pintu masuk.

“Pagi semuanya,” sapa Dion dengan suara tenang tapi tegas.

“Pagi… Pak Dion…” jawab para karyawan hampir serempak, meski nada suara mereka terdengar canggung dan kaget.

Dion melirik ke arah Rani yang semakin salah tingkah, lalu kembali menatap para karyawannya. Ia menyelipkan tangan ke dalam saku celana dan tersenyum santai.

“Sepertinya kalian semua kaget, ya?” ucapnya ringan, membuat beberapa karyawan langsung menunduk malu.

“E-eh… nggak, Pak… cuma… yaa… kaget aja,” gumam salah satu karyawan pria gugup.

“Kalau kalian kaget sekarang,” lanjut Dion dengan nada menggoda, “berarti kalian harus belajar terbiasa. Soalnya…” Dion menatap Rani lekat-lekat dan suaranya terdengar jelas, “…mulai sekarang, pemandangan seperti ini bakal sering kalian lihat.”

Semua karyawan langsung terperangah.

“APA?!” seru beberapa orang bersamaan.

“Astaga, maksud Pak Dion…?”

Dion mengangguk santai. “Iya. Rani ini… calon istri saya.”

Seketika halaman depan pabrik meledak dengan bisik-bisik dan seruan tak percaya. Beberapa karyawan perempuan bahkan menutup mulutnya dengan tangan saking kagetnya.

“Calon… istri?” gumam salah satu pegawai wanita.

“Gila… Rani beneran luar biasa…”

“Pantes aja dia kelihatan bahagia banget akhir-akhir ini.”

Rani menghela napas kecil, pipinya semakin panas. “Dion…” bisiknya pelan sambil melirik kesal, “kenapa kamu ngomong kayak gitu di depan semua orang?”

Dion hanya tersenyum manis. “Karena aku nggak mau sembunyi-sembunyi, Ran. Kamu pantas dihargai di depan semua orang, bukan disembunyikan.”

Ucapan itu membuat beberapa karyawan perempuan menjerit kecil — bukan karena iri, tapi karena terharu.

Seorang karyawan pria tua, Pak Sarwo, mendekat sambil menepuk pelan bahu Rani. “Rani… kamu pantas dapat kebahagiaan, Nak. Setelah semua yang kamu lewatin, ini… kabar bagus. Kamu gadis baik.”

“Iya, Rani…” timpal Bu Mira, salah satu karyawan senior. “Dion itu orang baik, cocok sama kamu. Jangan ragu bahagia ya, kami semua dukung kamu.”

Rani terdiam. Matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih semuanya… aku… aku nggak nyangka kalian akan mendukungku.”

“Jangan khawatir,” sela Dion santai, “aku janji… Rani nggak akan pernah ngerasa sendirian lagi.”

Sorak sorai kecil terdengar, beberapa karyawan bertepuk tangan dan bersorak mendukung. Aura pagi itu yang biasanya datar kini penuh semangat dan kehangatan.

Rani menunduk malu, tapi di dalam dadanya—ada kehangatan yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun.

1
Nur Hafidah
kasihan sekali,makanya jadi orangg jangan sombong,jaga ucapan
Nur Hafidah
Bu marni tidak tahu malu
Tini Uje
gila..gila sekalian aja buk marni nya thor kasian juga anak nya 😄..masukin rsj aja bukmar nya
penulis_pena: 🤣 masalahnya RSJ nya penuh 🤣
total 1 replies
Ayudya
terima Rani dari pada ntar kamu di nganggu terus ma nenek lampir🤣🤣🤣🤣
riya chan
Kok aneh ya awalnya si rani nggak ada anak tiba" ada anak aja thor nggak nyambung deh trus si rani nabungnya di kaleng kok tiba" ada di buku tabungan sih sebenarnya yg mana yg benar ,, thor maaf semoga bisa di rev
penulis_pena: 😭kak maaf kayaknya aku lupa deh
total 1 replies
Ayudya
lah emak nya Andi Uda gila tu
Ayudya
hancur hancur deh kamu andy
Aether
awokawok sampai tukang cilok pun kaget
Ayudya
lah mang urat malunya keluarga Andi Uda putus ya
penulis_pena: 😭 keluarga kek gitu gak pernah ada malunya kak
total 1 replies
Ma Em
Semoga Rani selalu bahagia dan Dion benar2 tulus mencintai Rani dan segera kan niat baiknya jgn ditunda tunda .
Ayudya
bahagialah kamu rani
Ma Em
Rani terima saja lamaran Dion dan setelah lepas masa idah bisa langsung nikah .
Sulfia Nuriawati
tenag hdup mu Rani drpd bela cinta batin tersiksa, lbh baik buang cinta beracun jd bs hdup tenang
Ayudya
nikmati kehancuran mu andi
Nur Hafidah
capek bgt punya suami dan mertua yang bisanya nuntut
Ayudya
semangat kak.cerita buat kita bisa belajar akan arti sebuah keluarga
penulis_pena: 🥹huaaa makasih kak 😍
total 1 replies
Ma Em
Semoga Rani semakin sukses serta Andi dan keluarga benalunya semakin terpuruk .
Ma Em
Bagus Rani kenapa tdk dari dulu kamu pergi dari Andi si mokondo dan keluarga benalu , semoga Rani bisa bertemu dgn lelaki yg baik yg tulus mencintai Rani bkn dijadikan ATM berjalan untuk suami dan keluarganya .
AlikaSyahrani
semoga memdapatkan jodo sang bisa menerima kamu apa adanya
bukan ada apanya🤲🤲🤲
Wanita Aries
Semangat membuka lembaran baru rani
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!