Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. satu bulan telah berlalu
Satu bulan berlalu sejak pertengkaran di rumah sakit. Aluna yang semula hancur, diam-diam mulai menata diri. Ia bangkit dengan memanfaatkan bakat desain yang selama ini terpendam. Lewat kerja sama dengan Kakek Bram dari perusahaan Pramudya, Aluna akhirnya berani melangkah ke dunia bisnis fashion.
Namun belum juga karyanya benar-benar diakui, badai pertama datang menghantam.
Salah satu desain yang ia serahkan untuk diproduksi oleh Pramudya tiba-tiba lebih dulu muncul di pasaran dengan nama desainer lain. Publik langsung menuding Aluna sebagai penjiplak, seolah ia hanya menyalin ide orang lain. Tuduhan itu cepat menyebar, membuat nama baik Aluna hancur bahkan sebelum sempat berdiri tegak.
Di ruang rapat perusahaan keluarga Barra, ketegangan memuncak.
Barra membanting setumpuk dokumen ke meja.
“Aluna! Apa kamu sadar, gara-gara masalah ini, nama perusahaan terancam hancur?! Investor mempertanyakan kredibilitas kita. Kalau benar kamu menjiplak, sama saja kamu menarik aku jatuh bersamamu! Kakek pasti menyesal telah memilihmu,”
Aluna yang duduk di seberang meja menggeleng kuat, matanya berkaca-kaca tapi sorotnya tegas.
“Aku tidak pernah menjiplak, Barra! Itu karyaku! Semua ide dasar desain itu lahir dari tanganku sendiri. Siapapun bisa meniru hasil akhirnya, tapi tidak ada yang bisa meniru proses berpikirku. Kenapa kamu nggak percaya sama aku?”
Namun Barra hanya mengepalkan tangannya, wajahnya penuh amarah bercampur kekecewaan. Ia ingin percaya, tapi bukti yang tersebar di media membuatnya goyah.
Di saat suasana memanas, suara langkah pelan terdengar. Miska masuk dengan wajah berpura-pura bingung.
“Kak Barra … maaf aku nggak sengaja dengar.” Ia menunduk, lalu meletakkan beberapa lembar kertas desain di meja. “Tapi … apa termasuk desain ini juga milik Kak Aluna?”
Lembar-lembar itu terjatuh berserakan di lantai. Barra menunduk, matanya membelalak. Semua desain itu memang milik Aluna ia hafal setiap detail garis dan ide yang diceritakan istrinya beberapa waktu lalu. Tapi di sudut bawah kertas, jelas tertera tanda tangan milik Miska.
“M-Miska?!” suara Barra serak, tak percaya.
Aluna langsung berdiri, wajahnya merah padam oleh amarah. Ia meraih beberapa kertas itu dan menunjukkannya.
“Ini karyaku! Dan kamu sengaja mencurinya dariku, kan, Miska?! Kamu pikir aku nggak tahu?!”
Tangannya mendorong tubuh Miska dengan kasar hingga gadis itu hampir terhuyung ke belakang.
“Dasar licik!”
Namun Miska dengan cepat memainkan perannya. Ia menatap Barra dengan mata berkaca-kaca, wajahnya polos seolah tak mengerti apa-apa.
“Kak Barra … desain itu milikku sendiri … aku nggak tahu kenapa Kak Aluna bisa mengakuinya, jelas jelas aku menggambarnya bersama kamu kemarin malam. Kamu pasti ingat,”
Suaranya gemetar, tangannya menutupi pipi yang tadi sempat tersentuh dorongan Aluna. Penampilan itu membuat Barra terdiam. Ia menoleh pada Aluna yang sedang marah, lalu pada Miska yang tampak rapuh. Untuk pertama kalinya, suasana berbalik.
Aluna menatap Barra dengan dada bergemuruh.
“Jangan bilang kamu percaya sama dia … jangan bilang kamu lebih percaya sama air mata Miska daripada kata-kataku sendiri.”
Barra terdiam, wajahnya semakin rumit.
Hati Aluna semakin perih, karena ia tahu di depan Barra, Miska selalu berhasil tampil polos dan tak bersalah, seolah semua yang terjadi hanyalah kebetulan.
Ruangan itu mendadak senyap setelah lembaran desain berhamburan di lantai. Barra masih berdiri kaku, matanya menatap kosong pada Aluna yang terlihat begitu marah dan tersakiti.
Namun tiba-tiba, Aluna menarik napas panjang, suaranya lirih tapi sarat kepasrahan.
“Barra…” ia menunduk, menahan gejolak dalam dadanya. “Aku kalah ... akhirnya aku mengalah. Aku akan menyetujui surat cerai yang sudah kamu siapkan sebulan lalu.”
Barra langsung mendongak, wajahnya tegang. “Aluna, apa yang kamu...”
“Aku akan tanda tanganinya,” potong Aluna dengan suara bergetar, namun sorot matanya tegas. “Aku capek berjuang sendirian. Aku nggak mau lagi jadi orang bodoh yang memohon supaya kamu percaya padaku. Kamu nggak pernah menganggapku istri sejak awal, jadi … buat apa aku bertahan?”
Setelah mengatakan itu, Aluna menunduk sebentar, lalu berbalik. Langkah kakinya mantap keluar dari ruangan itu, meninggalkan Barra dan Miska dalam diam yang menyesakkan. Miska yang sejak tadi berdiri dengan wajah polos, perlahan menoleh ke arah Barra. Begitu pintu menutup rapat di belakang Aluna, senyum licik melintas di wajahnya. Senyum yang tak pernah ditunjukkan di depan Barra.
Namun di sisi lain, dada Barra justru bergemuruh. Jantungnya berdetak kencang, seolah ada sesuatu yang direbut paksa dari dalam dirinya. Kata-kata Aluna barusan terus terngiang di telinganya.
Hatinya sakit, dia tak pernah menyangka Aluna bisa menyerah secepat itu. Bagian dirinya yang selama ini diam-diam mengandalkan kehadiran Aluna mendadak hampa.
“Tenang, Kak,” suara lembut Miska terdengar, tangannya mencoba menyentuh lengan Barra. “Kak Aluna nggak akan benar-benar berani bercerai. Dia itu nggak punya tempat tinggal lain selain rumah Pramudya. Lagipula, rumah Wijaya juga hanya menganggapnya titipan kakek. Setelah kakek Bram….” Miska berhenti sejenak, lalu menyeringai samar. “Nggak ada lagi yang akan membela dia.”
Barra menatap Miska dengan mata kosong, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi hatinya bergolak. Ada rasa bersalah, ada rasa kehilangan, dan ada kemarahan yang entah ditujukan pada siapa Aluna, Miska, atau dirinya sendiri.
Hujan malam itu jatuh deras, seperti ikut merasakan kegundahan hati Aluna. Di ruang tamu yang sunyi, hanya terdengar suara gemuruh hujan dan gelegar petir dari luar jendela. Berkas perceraian tergeletak di atas meja kaca, seakan menunggu keputusan terakhir dari seorang perempuan yang telah terlalu lama menahan sakit.
Aluna duduk di sofa, menatap kertas itu dengan mata basah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya. Tangannya gemetar, jari-jarinya menyentuh ujung pena yang tergeletak di samping map. Malam itu ia berusaha keras menahan hati agar tidak runtuh, menahan perasaan yang sejak lama ia pendam.
Dengan sisa keberanian yang masih ada, ia meraih ponselnya. Jemarinya bergetar menekan nomor suaminya sosok yang pernah ia bayangkan akan menjadi rumah, tetapi nyatanya hanya menghadirkan luka.
“Barra … pulanglah malam ini,” suara Aluna lirih, hampir tak terdengar, bercampur isak tangis.
“Aku ingin kita bicara baik-baik. Setidaknya sekali saja, aku ingin kita menyelesaikan semuanya tanpa emosi. Aku masih ingin memberi kesempatan, untuk kita berdua.”
Beberapa detik sunyi, hanya terdengar suara hujan di luar jendela. Lalu, suara Barra terdengar, dingin dan menusuk.
[Aluna, jangan ganggu hidupku lagi. Cukup! Selama ini kamu hanya jadi beban buat aku ... dan aku merasa cukup capek.]
Tubuh Aluna kaku seketika. Matanya terbelalak, seolah tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. Tangannya yang memegang ponsel terkepal kuat, sedangkan tangan satunya bergetar hebat, air matanya semakin deras jatuh membasahi wajah pucatnya. Lalu terdengar suara lain dari seberang sana suara manja, lembut, namun bagai belati menusuk hati Aluna.
[Kak Barra … ayo dong, makan malamnya udah siap. Romantis banget loh aku bikin khusus buat kamu ... ayo, cepat! Nanti dingin,] Itu suara Miska, dia berusaha menarik lengan Barra agar segera mendekat ke meja.
Hati Aluna seakan diremas, perih tak terkira. Napasnya tersengal, tubuhnya bergetar hebat. Sambil menahan tangis, ia berusaha bersuara.
“Baiklah, Barra. Kalau itu yang kamu mau.”
Seketika ia memutus panggilan itu. Sunyi kembali menyelimuti ruang tamu, hanya suara hujan yang semakin deras. Dengan mata sembab, ia meraih pena, menorehkan tanda tangan dengan tangan bergetar di atas berkas perceraian itu.
Selesai menandatangani, Aluna menatap cincin nikah di jarinya. Butiran air mata jatuh membasahi cincin itu. Perlahan ia melepaskannya, meletakkannya tepat di atas kertas perceraian.
“Selamat tinggal, Barra,” bisiknya, suaranya patah.
Aluna berdiri, menarik napas panjang, lalu berjalan menuju kamar. Beberapa menit kemudian ia keluar dengan koper di tangan. Tatapannya sudah bulat, langkahnya tegas meski tubuhnya lemah. Seorang pelayan rumah melihatnya dan segera bertanya, “Nyonya, malam-malam begini … Nyonya mau ke mana?”
Aluna tersenyum samar, berusaha menutupi luka di hatinya.
“Aku pulang ke rumah Wijaya, sbentar Bi. Jangan khawatir,”
Pelayan itu mengangguk, meski raut wajahnya penuh keraguan. Ia tak tahu bahwa Aluna sedang berbohong. Karena sesungguhnya, Aluna sudah membuat keputusan lain keputusan paling berani dalam hidupnya. Malam itu juga, ia berniat meninggalkan semua kepedihan, meninggalkan tanah yang penuh luka, dan terbang ke negara lain.
"Selamat tinggal pria yang selalu menyakiti tanpa mengenal lelah,"
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡
Apalagi dia selalu ada di saat susah dulu , di saat kamu terabaikan dan tidak di anggap
Semangat Aluna 😍😍