NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI : AKU JADI NYAI

TRANSMIGRASI : AKU JADI NYAI

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Mengubah Takdir / Transmigrasi ke Dalam Novel / Transmigrasi / Era Kolonial / Nyai
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Dhanvi Hrieya

Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9. MUSUH DALAM GELAP

Meja bundar dikelilingi oleh beberapa petinggi elit Belanda, rapat darurat siang ini dipimpin oleh Johan—jendral tinggi. Dari raut wajahnya saja semua orang yang hadir tahu jika Johan tidak dalam mood yang baik, tadi malam benar-benar sangat kacau. Ada beberapa kursi kosong, jenazah mereka tengah diurus sebelum diusahakan untuk dipulangkan ketanah air. Mengingat yang tewas kali ini bukan hanya seorang tentara biasa, melainkan tokoh penting negara mereka.

"Jenazah yang tewas akan dikirimkan langsung, hanya saja dari negara ini ke negara kita harus berlayar cukup lama. Ini..., mengkhawatirkan. Bagaimana menurut Jendral?"

Gubernur jendral menjelaskan situasi dan kondisi yang tengah mereka hadapi, membawa orang hidup saja berlayar sangat sulit. Apalagi membawa jenazah dalam peti, mereka mengawetkan jenazah serta memastikan agar tidak ada pembusukan.

Jari jemari panjang Johan saling bertautan, memang tidak akan mungkin mengirimkan jenazah ke negara mereka mengingat delapan sampai dua belas bulan jenazah dibawa berlayar. Apalagi kapal yang berlayar berisikan rempah-rempah penting, hasil bumi, hasil perkebunan, dan barang-barang eksotis.

Johan memijit pangkal hidungnya, dan berkata, "Lupakan soal itu, mereka yang sudah tewas terlepas dari status penting. Siapkan pemakaman serta kirimkan telegram pada keluarga, barang-barang penting mereka selama di sini kirim kembali. Kita tidak bisa menghabiskan sumberdaya yang kurang di sini, apalagi kita dalam masa pembangunan jalan serta gedung-gedung pemerintah baru."

"Ya, Jendral benar. Mengawetkan mayat bukan perkara mudah, ada banyak bahan-bahan yang harus dihabiskan untuk satu mayat. Apalagi yang terpenting untuk kita saat ini adalah menstabilkan kedudukan orang-orang kita di sini, memperluas lagi kekuasaan untuk mengirimkan barang-barang berharga pada negara kita," celetuk wakil gubernur jendral ikut bersuara.

Para petinggi lainnya mengangguk menyetujui, Johan menyandarkan punggung belakangnya di kursi.

"Mari kita bahas apa yang terjadi semalam," ujar deep voice Johan membuat suasana di dalam ruangan rapat mendadak tegang. "Mereka menyelundup masuk, hingga tau jelas siapa-siapa saja yang hadir di pesta. Mematikan lampu dalam waktu singkat, kecolongan yang terjadi bukan tanpa alasan serta bukan direncanakan secara terburu-buru. Aku baru sampai ke Batavia, disambut dengan kemeriahan mereka para pemberontak," lanjut Johan, atensinya menyapu wajah-wajah yang duduk di kursi rapat dengan tatapan mata dingin.

Mereka akui jika yang terjadi tadi malam sungguh di luar kuasa mereka, ada banyak yang tewas tadi malam. Besar kemungkinannya para pemberontak itu telah merencanakan hal besar untuk menghancurkan mereka semua, ujung jari jemari telunjuk Johan mengetuk-ngetuk permukaan meja. Jantung orang-orang berdebar keras, bukan tanpa alasan mereka tertekan. Mereka jelas gagal, jika masalah ini menewaskan sang jendral tinggi.

Akan ada banyak kekacauan yang harus mereka semua hadapi, meskipun ada niat terselubung yang diam-diam dari beberapa orang yang duduk di kursi rapat saat ini. Johanes Van Rijn adalah sosok jendral yang setia pada negara mereka, ia bahkan tidak suka dengan orang-orang yang mengambil keuntungan pribadi di belakang punggungnya. Jika Johan mengetahui korupsi yang diam-diam dilakukan bawahannya, mereka benar-benar tak akan selamat dari tangan Johan.

Keputusan tertinggi di negara ini dipegang oleh Johan selaku jendral tinggi, tidak ada manusia yang benar-benar ingin pergi jauh dari negara sendiri tanpa menginginkan keuntungan pribadi. Mereka semua memiliki motif tersembunyi, sama-sama memasang topeng mengelabui satu sama lain.

"Hm," deheman berat dari pria bermata biru dan rambut memutih itu terdengar. "Jendral! Seperti yang Jendral tau, walaupun kita menguasai sebuah negara. Pasti ada beberapa pemberontak, negara ini memiliki orang-orang yang setia. Seperti Jendral yang setia pada negara kita, ada banyak cara untuk mereka menyelundup ke dalam pesta. Jangan lupakan para elit pribumi serta para bangsawan yang masih kokoh, mereka memang tunduk bekerja sama dengan kita. Bukankah di mata mereka kita tetaplah kutu busuk yang ingin mereka usir. Daripada saling curiga, ada baiknya kita bersatu untuk memperkuat kekuasaan kedepan," tuturnya dengan bijak.

Johan bukan orang bodoh, ia paham apa yang dikatakan pria tua itu secara tak langsung. Mereka memang terkecoh, ada pula kemungkinan mata-mata di antara orang-orang yang berada di pesta. Namun, jika Johan malah membabi-buta menyerang orang-orang yang ada di ruang rapat, itu akan membuat perpecahan. Menguntungkan para pemberontak, Johan mendesah berat.

"Kita sudahi rapat di sini," kata Johan, "Gubenur Jendral, perketat penjagaan di batalyon. Usut tuntas pada pemberontak, mereka pasti membentuk kelompok di luar sana. Ini tugas penting yang harus kamu kerjakan dengan baik, Gubenur Jendral. Aku tidak ingin ada kecerobohan lagi."

Gubernur jenderal langsung mengangguk, ia meneguk kasar air liur di kerongkongannya. Diam-diam memaki para pemberontak yang sudah membuat ia berada di situasi yang sulit.

...***...

Benar saja, kamar tidur Sekar telah dibersihkan tidak ada lagi kapas bekas darah serta kain kasa yang bernoda darah. Bahkan alas tempat tidur pun sudah digantikan dengan yang baru, Ratna membantu Sekar untuk duduk di ranjang, Sekar mendesah berat. Matanya melirik ke arah jendela, kini jendela telah tutupi dengan kayu memanjang. Tidak akan ada yang bisa keluar-masuk lewat jendela lagi kedepannya, Sekar menghela napas berat.

"Nyai lapar?" tanya Ratna memperhatikan ekspresi aneh sang nyai.

Kepala Sekar menggeleng sekilas, dan menjawab, "Pergilah, aku ingin istirahat."

Ratna mengangguk ia melangkahkan meninggalkan kamar Sekar, menutup perlahan pintu kamar. Sekar berdecak kecil menyentuh perutnya, ia cemberut.

"Aku sudah menolongmu, sampai melukai tubuhku sendiri. Kamu harus menjadi orang yang berguna untukku, Tuan. Siapa pun kamu, aku akan menuntut hutang budimu, padaku," gumam Sekar lirih.

Deru mesin mobil berhenti di depan pekarangan rumah terdengar jelas, Sekar berdiri dari posisi duduknya. Ia melangkah keluar dari dalam kamar, dahi Sekar berlipat di saat ia mendapati sosok wanita dengan kulit kuning langsat turun dari mobil sebelah. Sekar mengintip di balik tirai jendela, rambut hitam legamnya tergerai. Kebaya yang ia kenakan terlihat dari bahan bagus, tatapan mata cerah, ia terlihat memiliki daya tarik yang sulit untuk Sekar jelaskan dengan kata-kata.

"Siapa dia," gumam Sekar penasaran.

Wajah familiar terlihat di depan mata, gubernur jendral terlihat membawakan barang-barangnya. Wanita itu jelas perempuan pribumi, langkah kakinya terlihat anggun mengikuti gubernur jendral menuju teras rumah sebelah.

"Siapa yang kamu lihat, Nyai?" tanya deep voice berat mengalun.

Sekar meloncat dari posisi ia mengawasi wanita yang sudah menghilang dari pandangan matanya, kedua mata Sekar melotot ke arah Johan. Sejak kapan pria itu berdiri di teras rumah, Sekar sungguh tidak mendengar derap langkah kaki Johan mendekati jendela ruang depan.

"Jen—jendral," panggil Sekar tergagap, "sejak kapan Jendral ada di sana?"

Manik mata birunya menatap rumit ke arah Sekar, Johan mengayunkan tungkai kakinya menuju pintu rumah yang terbuka lebar. Memasuki rumah, menghampiri Sekar yang berdiri kaku di balik jendela.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!