Tristan Bagaskara kisah cintanya tidak terukir di masa kini, melainkan terperangkap beku di masa lalu, tepatnya pada sosok cinta pertamanya yang gagal dia dapatkan.
Bagi Tristan, cinta bukanlah janji-janji baru, melainkan sebuah arsip sempurna yang hanya dimiliki oleh satu nama. Kegagalannya mendapatkan gadis itu 13 tahun silam tidak memicu dirinya untuk 'pindah ke lain hati. Tristan justru memilih untuk tidak memiliki hati lain sama sekali.
Hingga sosok bernama Dinda Kanya Putri datang ke kehidupannya.
Dia membawa hawa baru, keceriaan yang berbeda dan senyum yang menawan.
Mungkinkah pondasi cinta yang di kukung lama terburai karena kehadirannya?
Apakah Dinda mampu menggoyahkan hati Tristan?
#fiksiremaja #fiksiwanita
Halo Guys.
Ini karya pertama saya di Noveltoon.
Salam kenal semuanya, mohon dukungannya dengan memberi komentar dan ulasannya ya. Ini kisah cinta yang manis. Terimakasih ❤️❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melisa satya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bos Tristan yang galak.
Hari kedua menjadi asisten sang Bos.
Penampilan Dinda hari ini jauh lebih baik daripada penampilannya yang kemarin. Seperti yang dia katakan, hari ini gadis itu mulai berdandan. Celana kantor berubah menjadi rok. Namun ukurannya lebih panjang dari rok yang dipilihkan Daren kemarin.
Rambutnya di hias cantik.
Di ikat ekor kuda namun terlihat sangat anggun. Dia juga memakai parfum dan tas yang lumayan kece.
"Selamat pagi, Pak Tristan. Cuaca hari ini sangat cerah dan menyenangkan, apa bapak sudah sarapan?"
Tristan tertegun melihat penampilan barunya.
Di saat yang sama, Daren masuk ke ruang kerja mereka.
"Bro, soal kerja sama kemarin ...." Kalimat pemuda itu terjeda saat melihat penampilan baru Dinda.
"Wah, apa ini? Lo bukannya cewek yang kemarin? Nah, bisa lo pakai rok, katanya ngga bisa?"
Dinda meletakan tas dan barang bawaannya di atas meja lalu berdiri dengan tegap seolah dia akan membawakan presentasi penting.
"Setelah peringatan dari bapak Tristan kemarin, saya jadi berfikir untuk totalitas dalam pekerjaan ini."
Tristan dan Daren saling menatap.
"Untuk menjadi asisten yang nggak malu-maluin, saya sudah searching dan melihat banyak gaya atau mode untuk busana yang harus saya kenakan, Pak Daren. Saya pun berbenah dan harus terlihat cantik!"
"Lo ngga lagi kecentilan kan?" ejek Daren.
"Maksudnya?"
"Ya, bisa jadi lo berubah kayak gini karena tahu status Tristan yang sebenarnya. Lo lagi nyari kesempatan untuk mendekati bos lu sendiri."
"Ohoo, Pak Daren. Aku masih 27 tahun."
"Lalu?"
Tanpa mengucapkan apapun, Dinda menatap ke arah Tristan.
"Maksud lo, Tristan udah tua gitu?"
Dinda memilih menundukan kepala, sebuah proposal mendarat tepat di kepala Daren.
Bugh!
Auw!
Baik Daren maupun Dinda menoleh kompak pada Tristan.
"Udah selesai ngobrolnya? Daren jika kau tidak punya pekerjaan, ganti kan aku untuk melihat perkembangan pabrik kita di Sumatera."
"What? Gua, sendiri?"
Tristan mengabaikannya.
"Tristan, yang bener saja. Gua diutus bokap lo kesini buat nemenin loh bukan buat kerja ngawasin pembangunan pabrik."
"Daren, baru dua hari kau ikut denganku. Mulutmu itu sudah tidak bisa di jaga, kau dan Dinda tidak boleh terlihat bersama."
"What? Jadi ini gara-gara si Dinda?" Daren menoleh pada gadis itu.
"Kalau gitu, dia aja yang diutus ke Sumatera. Kenapa harus gue!"
"Urusanku bukan hanya ngawasin pabrik, Daren. Dinda di sini harus belajar banyak hal sebelum ikut aku dalam perjalanan bisnis."
"What?"
"Sudah sana pergi!"
Daren mencebik, dia terlihat kesal dengan keputusan sahabatnya itu. Saat pemuda itu berhasil pergi. Dinda buru-buru mendekat dan membawakan sebuah roti ke arah Bosnya.
"Terimakasih atas pertolongannya, Pak. Oh iya, sarapan kali ini mau saya siapkan roti selai? Bapak suka kopi atau teh?"
Tristan enggan menatapnya.
"Pak."
"Saya suka teh, tapi tidak suka roti selai."
"Oh, terus bapak suka apa? Apa perlu saya pesankan dari luar?"
"Tidak perlu, buatkan saja teh. Saya tidak suka manis."
"Baik."
Dinda bergegas melaksanakan tugasnya, dia menuju ke pantry dan beberapa staf memperhatikan gaya centilnya.
"Dih, aku tidak pernah melihat ular cepat sekali berubah kulit. Kemarin dia ber keras meminta izin untuk menggunakan celana panjang sekarang dia telah memutuskan untuk memakai roknya."
Dinda sadar orang-orang itu sedang menyindirnya.
"Oh ya, memang siapa sih yang bisa menahan pesonanya Pak Tristan. Udah ganteng, kaya, perhatian lagi."
"Iya, betul banget."
Dinda tak mengatakan apapun, dia dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya agar bisa segera keluar dari pantry. Naasnya, karena tak merasa terganggu, staf di sana dengan sengaja mencekal kakinya hingga gadis itu jatuh bersama teh buatannya.
Suara pecahan kaca terdengar menghantam lantai, beling yang berserakan juga tak sengaja tertekan oleh tangan Dinda.
"Auw!"
Para staf yang membullynya lantas berhamburan keluar, mereka takut mendapatkan masalah yang lebih besar karena kejadian ini.
Dinda bangun dan melihat luka di tangannya. Tak ada siapapun yang membantu dan dia terbiasa akan itu.
Dia telah terbiasa untuk terluka.
Dinda bangkit untuk membuat teh yang baru dan membasuh lukanya. Seorang OB datang dan terkejut melihat pecahan kaca di lantai.
"Ada apa ini?"
Dinda menoleh dan meminta maaf.
"Saya jatuh, Pak. Maaf ya, saya akan bantu bersihkan pecahannya."
"Ngga usah, Bu. Ibu nggak apa-apa?"
Netra gadis itu akhirnya berembun.
"Tidak apa-apa."
"Lain kali, hati-hati, Bu. Kalau lantainya basah, panggil saya saja."
"Terimakasih, Pak."
Tristan menunggu hingga setengah jam lamanya, saat pintu terbuka dia mulai melirik gadis itu yang datang dengan senyum cerianya.
"Teh hangat ngga terlalu manis, special untuk Bapak Tristan. Silahkan."
Pemuda itu mendelik, namun sesaat kemudian dia mendapati kemeja Dinda basah dan tangan kanannya terluka.
"Kamu habis ngapain? Lama banget."
"Oh itu, Pak. Tadi saya jatoh pas mau kesini. Jadi balik bikin teh yang baru lagi."
"Jatuh? Kok bisa?"
Dinda hanya tersenyum.
"Ngga penting saya jatuh karena apa, yang penting itu, rasa teh buatan saya. Ayo di coba."
Tristan meminumnya dan suka akan rasanya.
"Satu sendok gula?"
"Yup, benar sekali. Kebetulan selera kita sama, Pak."
Tristan tersenyum.
"Oke, terimakasih untuk tehnya. Luka kamu obati dulu."
Dinda mengangguk lalu kembali ke mejanya. Raut wajah cerianya berubah murung saat mengingat perlakuan staf di kantor itu.
"Huh! Gue ngga akan nyerah hanya karena bulyan kecil ini. Nenek masih di rumah sakit, gaji di sini pasti gede buat bayar biaya pengobatan. Ini ngga ada apa-apanya di banding di suruh makai rok pendek." Batinnya.
Tristan mengawasinya sesekali sambil mengerjakan pekerjaannya.
"Dinda!" Wajah murung sang asisten seketika berubah ceria.
"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Tristan terpaku di tempatnya. Dia menyadari jika gadis itu selalu berusaha tersenyum di hadapannya.
"Kamu punya obatnya?"
Dinda melihat goresan di tangan kanannya.
"Udah ngga berdarah kok, Pak. Bentar lagi juga sembuh."
Tanpa mengatakan apapun, Tristan keluar dari ruangan untuk mencari kotak obat.
Di ruang staf, saat pemuda itu melewatinya.
"Duh, tu cewe ngaduin kita ngga ya?"
"Pak Tristan tahu ngga ya?"
Tristan mendengar pembicaraan mereka.
"Di aduin pun, kita ngga ada salah, dia aja yang jatuh sendiri. Lemah banget jadi cewe!"
"Tapi, kamu yang sengaja cekal kakinya."
"Ehmm!"
Tiga staf wanita itu seketika berbalik dan tertunduk takut di hadapan Tristan.
"Bisa jelaskan apa yang terjadi?"
Pemuda itu menatap semua orang.
"Begitu ceritanya, Paak."
"Maaf ya, Pak. Kita janji ngga akan melakukan itu lagi."
Tristan menghela nafas panjang.
"Sudah berapa lama kalian kerja? Apa kalian pernah melihat saya menggoda seorang sekertaris?"
Ketiga staf itu menggelengkan kepala.
"Ini peringatan pertama dan terakhir kali, jika saya mendengar Dinda di ganggu lagi hanya karena kalian takut dia deket sama saya, kalian tak akan lagi di terima di kantor ini."
"Maaf, Pak."
"Ini peringatan bagi semua staf, kalian ke sini untuk bekerja bukan untuk bergosip."
"Mengerti, Pak."
Tristan berlalu dan membawa kotak obat ke ruangan kerjanya.
"Kamu sih!" Salah satu dari tiga staf itu, mengeluh.
"Udah diem, Pak Tristan udah pergi."
"Beruntung banget si Dinda, udah jadi sekertaris, di belain pula sama Pak Tristan. Enak banget jadi dia."
Gadis-gadis itu meracau berharap bisa seperti Dinda, meski kenyataan yang sebenarnya, tak seindah khayalan mereka.
Saat Tristan masuk ke ruang kerja, dia mendapati Dinda telah sibuk mengatur jadwal untuk Bosnya itu.
"Ini, kotak obat. Obati sendiri luka kamu itu."
Dinda terhenyak melihat kotak obat mendarat di mejanya.
"Loh, Pak. Saya kan udah bilang nggak perlu."
"Pakai nggak!" Sentaknya.
Dinda tertegun. Dia mengangguk dan segera memakainya.
"Galak banget dah, dia kenapa sih?" batinnya.
"Kamu tadi di gangguin sama staf di luar?" tanya Tristan.
"Enggak kok, Pak. Saya tadi cuman ja ...." Sorot mata bosnya terlihat sangat kesal.
"Toh."
"Kau tahu, Dinda. Saya paling tidak suka dengan orang yang suka berbohong."
Dinda menggelengkan kepala. Nyatanya dia memang tidak berbohong.
"Sepertinya, kamu memang tidak cocok menjadi sekertaris saya."
lnjut thor
kalau bos mu tak bisa melindungi ya sudah kamu pasang pagar sendiri aja ya
kejar dia, atau justru anda yg akan d tinggalkan lagi
bikin ketawa sendiri, makin rajin upnya ya thor,