Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Aroma yang Menyihir Damian
Elena bangkit dari sofa kamar tamu, lalu melangkah ke arah pintu. Ia menempelkan telinganya di sana, mencoba menangkap suara apa pun dari luar. Semalam, ia sengaja hanya tidur beberapa jam. Di tempat ini, kelengahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Langit di luar masih gelap, namun garis cahaya tipis mulai menembus cakrawala timur, pertanda pagi sebentar lagi akan datang.
Ia memutuskan untuk keluar kamar, memeriksa keadaan rumah itu secara langsung. Pingsan terlalu lama tentu bukan hal yang baik, bukan?
Begitu membuka pintu, pandangannya langsung berkeliling. Area lantai satu tampak luas dan rapi, satu koridor menuju ruang tamu, dan satu lagi ke arah dapur. Matanya berhenti pada tangga besar yang menjulang di sisi kirinya. Kamar pemilik rumah, pasti ada di atas sana.
“Astaga!” serunya refleks ketika sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahunya dari belakang.
Ia sontak berbalik, mendapati seorang wanita berseragam pelayan yang tersenyum ramah.
“Rupanya Nona sudah bangun,” ucap Jane sopan.
“Ini di mana?” tanya Elena dengan nada bingung.
“Di rumah Tuan besar, Tuan Damian.”
“Tuan Damian?” Elena mengerjap cepat, “Maksudmu... Om Damian?” katanya cepat, seolah tanpa berpikir.
Jane sempat mengerutkan dahi. Om? Panggilan itu terdengar janggal. Tapi ia tetap mengangguk pelan.
“Benar, Nona.”
“Apa yang terjadi semalam? Aku tidak ingat apa pun,” ucap Elena sambil memegangi pelipisnya, memasang ekspresi pusing yang sangat meyakinkan.
“Untuk lebih jelasnya, biar Tuan besar saja yang menjelaskan. Tapi Nona semalam pingsan, dan Tuan Damian yang membawa Nona ke rumah ini.”
Elena mengangguk pelan, “Ah, begitu... Om Damian memang orang yang baik.”
Jane mendekat sedikit, “Kalau boleh tahu, apa hubungan Nona dengan Tuan besar? Tidak biasanya Tuan membawa wanita asing ke rumah ini,” ucap Jane yang dibuat selirih mungkin.
Elena buru-buru menggeleng, “Apa yang kau pikirkan tentang kami itu salah. Aku hanya sekretarisnya, tidak lebih,” jawabnya dengan nada panik, meskipun di dalam hati, ia tersenyum puas karena aktingnya berjalan mulus.
Jane menatapnya sejenak sebelum akhirnya mundur dan mengangguk. Ekspresinya sulit terbaca.
“Baiklah. Anggap aku tidak bertanya.”
Elena mengembuskan napas lega, lalu melirik jendela besar yang masih tertutup tirai.
“Kurasa aku harus segera pergi. Aku merasa tidak enak kalau berlama-lama di sini, apalagi ini rumah bosku sendiri. Aku akan mengambil tasku,” ucap Elena sambil hendak masuk ke dalam kamar.
Namun Jane cepat menahan lengannya, “Tidak, Nona. Kau tidak bisa pergi sebelum Tuan Damian memeriksa kondisimu. Kalau sampai terjadi sesuatu, aku yang akan disalahkan.”
Elena melepaskan tangannya perlahan, “Tenang saja. Aku sungguh sudah baikan. Aku sendiri yang akan menjelaskan pada Om Damian kalau aku yang memutuskan pergi.”
“Tidak, Nona. Kumohon dengarkan aku,” pinta Jane dengan cemas.
“Sungguh, aku tidak apa-apa,” balas Elena tidak mau kalah.
“Ada pertengkaran apa pagi-pagi seperti ini?!”
“Tuan besar,” seru Jane cepat, lalu menunduk sopan.
Elena menegakkan tubuhnya, wajahnya kaku namun matanya tidak lepas dari pria itu.
Damian berjalan mendekat ke arah mereka. Pria itu terlihat mengenakan pakaian olahraga. Sepertinya Damian akan keluar untuk melakukan joging.
“Nona ini ingin pergi sekarang, dan saya hanya berusaha menghentikannya,” jelas Jane.
Damian menatap Elena, “Benarkah, Elena?”
Elena mengangguk pelan, “Aku sudah tidak apa-apa. Lagipula, aku tidak nyaman jika berlama-lama berada di rumah bosku sendiri. Atas yang terjadi semalam, aku minta maaf dan terima kasih karena sudah membantuku. Aku berjanji akan membayarnya nanti.”
Damian menghela napas, “Jangan pergi,” ucapnya tiba-tiba.
Kedua wanita itu sontak menatapnya, Jane dengan keterkejutan, sedangkan Elena dengan kebingungan yang pura-pura.
Damian menyadari sorotan itu, lalu cepat memalingkan wajah, “Setidaknya, sarapanlah dulu di sini,” jelasnya singkat, kemudian melangkah keluar rumah tanpa menoleh lagi.
Jane menatap punggung Damian yang perlahan menjauh, lalu beralih pada Elena yang masih berdiri diam dengan tatapan sedih.
“Aku akan ke dapur membantu pelayan lain menyiapkan sarapan,” ucap Jane sebelum meninggalkan tempat itu.
Begitu Jane menghilang, wajah sedih Elena perlahan berubah. Senyum miring muncul di bibirnya, matanya menatap ke arah pintu tempat Damian tadi pergi.
“Sepertinya... kau memang masih peduli padaku. Bagus sekali,” batinnya.
Elena melirik lagi ke arah tangga yang menjulang tinggi ke lantai dua. Di sana, seseorang belum terlihat sejak tadi. Sean. Putra Damian.
Senyum samar muncul di sudut bibirnya. Akan sangat menarik jika Sean tahu siapa yang sebenarnya dibawa ayahnya ke rumah ini. Namun pikirannya segera berubah tenang. Bukan sekarang waktunya, karena ia belum mendapatkan Damian seutuhnya.
Dengan langkah sadar, ia bergerak menuju dapur. Kali ini, ia akan memulainya dengan cara paling sederhana yaitu menjadi sosok yang hangat dan peduli pada sekitarnya. Seorang wanita yang terlihat rumahan, sopan, dan masuk kriteria istri idaman. Citra yang sempurna untuk menipu semua orang di rumah ini.
Ia menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu kaca yang menghubungkan ruang santai dengan dapur.
Disana, ia bisa melihat beberapa pelayan tengah sibuk berkutat dengan alat dapur. Sementara itu, beberapa pelayan lain terlihat merapikan meja makan panjang yang tampak mewah dengan lampu kristal keemasan diatasnya.
Elena menatapnya sejenak, matanya menelusuri setiap sudut dapur modern yang rapi, lalu menarik napas panjang.
Senyum samar kembali mengembang di bibirnya. Ia tahu, inilah panggung yang tepat untuk memainkan perannya. Perlahan ia melangkah masuk, membuat para pelayan yang semula sibuk sempat menoleh ke arahnya dengan heran.
“Selamat pagi,” ucap Elena dengan suara lembut, seolah ia memang bagian dari rumah ini.
Pelayan di sana menatapnya seolah bertanya, siapakah wanita asing yang berani masuk ke tempat ini? Begitulah kira-kira yang bisa Elena artikan dari tatapan mereka.
Jane yang tengah mengawasi pekerjaan para pelayan, langsung melangkah cepat mendekati Elena. Wajahnya jelas terkejut.
“Nona, apa yang kau lakukan di sini?” desisnya tajam. Nada suaranya lebih menyerupai teguran daripada pertanyaan.
Elena mengerutkan kening, sedikit bingung dengan reaksi keras Jane, “Aku hanya datang untuk membantu.”
Jane menghela napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak meninggikan suara, “Kembalilah ke kamar. Jika Tuan besar tahu Nona ada di sini, kami semua yang akan kena masalah.” Nada itu bukan kebencian, melainkan rasa takut yang nyata.
“Kau ternyata takut padanya,” ucap Elena.
“Tentu saja. Dia atasan kami.”
Elena tersenyum samar, “Tenang saja, aku yang akan menghadapi dia untuk kalian,” ucap Elena dengan tenang.
Dan tanpa menunggu persetujuan, ia melangkah melewati Jane, lalu menatap bahan-bahan segar yang tersusun rapi di atas meja dapur.
“Nona!” seru Jane, lalu bergegas menyusulnya.
Elena tidak menghiraukannya. Ia menatap para pelayan yang kini sibuk saling berbisik. Dari cara mereka meliriknya, jelas sekali mereka sedang membicarakan dirinya. Namun Elena tetap tersenyum ramah ke arah mereka.
Tapi ia dapat memastikan bahwa tatapan bingung itu akan segera berubah menjadi tatapan kagum.
Elena menepuk tangannya satu kali, lalu menggenggamnya di depan dada. Tatapannya berkilat antusias, senyum tipis muncul di bibirnya. Memang ini bagian dari rencananya, tapi bukan berarti ia berbohong soal satu hal. Ia memang mencintai dunia memasak.
“Baiklah,” ujarnya mantap, “Aku akan membuat Quiche Lorraine. Apakah bahan-bahan untuk itu ada?”
Para pelayan di sana hanya diam. Mereka saling berpandangan dengan alis terangkat, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“Apa yang Nona katakan tadi? Juice Loren?” tanya Jane sambil mengerutkan dahi.
“Quiche Lorraine,” ulang Elena dengan sabar, walau nadanya sedikit menahan tawa.
“Quiche Toren?” sahut pelayan lain yang membuat Elena memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang.
“Mirip seperti itu,” jawabnya akhirnya, malas berdebat.
Tanpa membuang waktu, ia berjalan ke arah kulkas besar di sudut dapur, lalu membukanya. Mata Elena menelusuri deretan bahan makanan di dalam. Telur, krim, keju, smoked beef, dan sayuran segar. Tepat yang ia butuhkan.
Ia mengambil satu per satu bahan itu dengan gerakan cepat, lalu meletakkannya di atas meja dapur.
Tapi, ia kemudian sadar bahwa rambut panjangnya yang dari awal tergerai, membuat pergerakannya terbatas. Alhasil, ia meraih garpu logam dan dengan gerakan cepat, ia menggulung rambutnya lalu mengikatnya dengan garpu itu. Gerakannya begitu alami, seperti sudah biasa melakukannya.
Beberapa pelayan menatapnya takjub, sebagian lain saling berbisik pelan, tapi Elena tidak menghiraukannya.
Setelah itu, ia mencuci tangan, dan meraih apron putih yang tergantung disana, lalu memakainya sambil tersenyum kecil.
“Sekarang, kita mulai.”
Kedua tangannya segera membuka wadah tepung, menakar mentega, lalu menaruhnya di dalam mangkuk besar. Setiap gerakannya menunjukkan bahwa ia ahli dalam hal ini.
Dengan pisau di tangannya, ia memotong butter menjadi potongan kecil, gerakannya cepat namun halus. Bunyi dentuman pisau di atas talenan terdengar ritmis, hampir seperti melodi lembut yang menenangkan dapur itu.
Para pelayan yang semula berdiri tegak, kini mulai mendekat ke arah Elena. Jelas mereka penasaran dengan apa yang akan dibuat wanita itu.
“Campurannya harus dingin,” gumam Elena lirih, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Ia menambahkan sedikit air es, lalu mengaduk adonan hingga menggumpal sempurna. Setelah itu, ia menaburkan sedikit tepung di atas meja, menaruh adonan itu di sana, lalu menggulungnya dengan rolling pin.
Setiap putaran tangannya begitu anggun dan begitu ringan. Rambutnya yang terikat dengan garpu bergoyang kecil mengikuti gerak tubuhnya.
Cahaya pagi mulai menembus jendela dapur, memantul di permukaan adonan dan kulit wajah Elena yang tampak bersemangat.
Jane bahkan sampai tidak sadar kalau sekarang mulutnya sedikit terbuka, “Dia benar-benar bisa melakukannya,” lirihnya.
Elena kemudian menaruh adonan itu ke dalam dua loyang pie. Satu loyang untuk meja makan, dan satu lainnya untuk para pelayan. Akan sangat disayangkan jika mereka tidak ikut mencicipinya.
Ia kemudian menusuk permukaan adonan yang telah ditata di atas loyang dengan garpu, lalu menyiapkan isian yang berupa irisan smoked beef, bawang bombai yang sudah ia tumis dengan mentega, dan lelehan keju.
Aroma gurih mulai memenuhi udara. Beberapa pelayan juga mulai menelan ludah.
Elena beralih pada telur, lalu memecahkannya satu per satu, memisahkan putih dan kuningnya dengan teknik sempurna. Ia menambahkan krim dan bumbu, mengocoknya hingga lembut. Setelah campuran itu teraduk sempurna, ia kemudian menuangkannya ke atas adonan.
Ia mengangkat dua loyang itu, kemudian memasukkannya ke dalam oven. Dan tidak lupa mengatur suhu dan waktu pemanggangan.
“Dan sekarang, kita tinggal menunggu keajaiban bekerja,” ucapnya sambil menepuk-nepuk tangannya yang sedikit kotor akibat tepung.
Jane memandangi Elena dengan pandangan tidak percaya.
“Tidak kusangka, ternyata seorang sekretaris bisa seperti ini.”
Elena menoleh, tersenyum ramah, “Setiap orang punya sisi yang tidak kalian ketahui," ucapnya penuh arti.
Para pelayan terus mengamati oven, dan aroma butter dan keju mulai menyebar memenuhi dapur.
Damian yang baru saja masuk ke dalam rumah setelah melakukan joging, berhenti di ambang pintu ketika aroma gurih menyentuh penciumannya. Aroma itu sangat lembut, kaya butter dan keju, berpadu dengan wangi roti panggang, yang ia yakini mengalir dari arah dapur.
Tanpa sadar, langkah kakinya mengikuti jejak aroma itu.
Dan di sanalah ia melihat pemandangan yang membuatnya tidak bisa menahan diri untuk berhenti.
Elena dengan rambut yang terikat garpu dan apron putih bersih, berdiri di tengah lingkaran para pelayan. Tangannya yang ramping dengan hati-hati mengeluarkan loyang panas dari oven. Saat uap panas mengepul, aroma lezat semakin memenuhi udara.
Pelayan di sekelilingnya bersorak kecil, sebagian menutup mulut karena takjub, dan sebagian lagi memuji hasil karyanya dengan mata berbinar.
Damian memejamkan matanya sesaat, membiarkan aroma itu memenuhi paru-parunya. Rasanya, rumah yang selama ini dingin dan hening, mendadak bernyawa lagi.
Suara tawa lembut membuatnya kembali membuka mata.
Ia mendapati Elena tertawa ringan, memamerkan senyum yang bahkan berhasil menembus dinding hati yang sudah lama ia bangun sendiri.
Entah mengapa, ia tidak bisa berpaling. Ada sesuatu yang terasa berbeda pada wanita itu.
Cahaya pagi menembus jendela, jatuh tepat di wajah Elena yang bersemu lembut, seolah seluruh cahaya di ruangan itu memang sengaja berpihak padanya.
Jane yang menyadari kehadiran Damian di luar pintu, hendak memanggil. Namun Damian segera mengangkat tangan, memberi isyarat agar ia diam.
Jane hanya mengangguk paham, lalu kembali fokus pada kegiatan Elena.
Sementara Damian menunduk pada lantai, menahan senyum yang sulit ia sembunyikan.
Ia menghela napas panjang, lalu berbalik meninggalkan tempat itu. Langkahnya ringan, tapi di dalam dadanya terasa ada sesuatu yang memberontak, yaitu perasaan yang bahkan ia sendiri enggan mengakuinya.
Sementara itu, Elena sempat melirik sekilas ke arah luar dapur. Punggung Damian perlahan menjauh dan sosoknya hilang di balik koridor.
Sudut bibirnya terangkat samar. Ia tahu sejak awal pria itu berdiri di sana dan memperhatikannya diam-diam. Namun tentu saja, ia harus tetap bersikap tenang, seolah hanya sibuk dengan makanan dan pelayan disekitarnya.