Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa anda ingin bercerai nyonya?
“Berhenti!” teriak Rose, napasnya memburu, rambutnya berantakan ditiup angin.
Tapi Lucas hanya menoleh sekilas__senyum tipis terhalangi jubah hitam, sebelum memacu kudanya semakin kencang, menembus jalur sempit menuju hutan.
Rose menggigit bibir, memacu kudanya tanpa ragu. Cabang-cabang pohon mencambuk lengannya, tapi ia tidak peduli.
“Kau pikir bisa lolos dariku?” Gumam Rose, semakin memacu.
Begitu masuk lebih dalam, cahaya matahari mulai tertutup rimbun daun. Rose memutar pandangan, mencari bayangan kuda hitam itu. Tapi hutan seakan menelannya bulat-bulat. Sunyi.
“Keluar!” teriak Rose. “Kenapa kau pengecut sekali!”
Tak ada suara yang menyahut, hanya hembusan angin pelan menerpa rambutnya yang berantakan.
“Jadi benar… kau Tuan Lucas Morreti!” teriaknya lantang, suaranya bergema di antara batang-batang pohon. “Kenapa kau menghindariku?!”
Ia memutar tubuh, tatapannya liar mencari. Nafasnya kian berat, dadanya naik turun cepat.
“Kau menikahiku hanya untuk ini?!” suaranya pecah, campuran amarah dan sakit hati. “Kau pikir… karena kau kaya… kau berhak mempermainkan hidup kami? Hidup semua gadis di kota ini?!”
Lucas bersembunyi di balik semak rapat, tubuhnya menegang. Seumur-umur dia melakukan misi, baru kali ini menemukan istri yang justru memburunya.
Rose melangkah maju, tangan mengepal, matanya basah. “Kau bahkan menghabiskan seluruh gadis di Montessa… aku pikir kau hebat__Tapi ternyata, kau hanya pengecut!”
Tangisnya pecah, tapi bibirnya tetap melontarkan kata-kata seperti pisau. “Keluarlah! Hadapi aku! Aku akan membunuhmu agar kau berhenti menikahi para gadis!” suaranya parau, lehernya tegang, urat-uratnya terlihat jelas.
“Kau tahu, karena kau__aku kehilangan Jasmine. Sahabatku satu-satunya. Karena uangmu, keluargaku membuangku seperti pakaian bekas… ”
“Jawab aku… kenapa kau memberi semua gadis di kota ini harapan palsu… Lucas Morreti! KELUARLAHHH!”
Lucas memejamkan mata di balik semak. Setiap ucapan Rose menancap seperti anak panah ke dadanya. Ia melihat air mata itu, melihat bahunya yang bergetar, dan entah kenapa dadanya ikut sesak. Jemarinya mengepal di busur, tapi ia tetap diam. Ia tidak bisa keluar, tidak bisa mengungkap siapa dirinya sesungguhnya__bukan sekarang.
Kabut mulai turun, para pengawal dan pelayan berhasil menemukan Rose yang tersesat di hutan. Tapi ia tidak benar-benar tersesat, Lucas tak pernah berpaling dari pandangannya. Menjaga nya dalam diam.
“Nyonya!” Elano segera memakaikan mantel tebal.
Dimitri melirik kesekitar, seolah tahu bos besarnya ada disana. Mengawasi.
**
Wajah Rose murung tak seperti biasanya, ia menutup pintu kamar dengan perlahan, seolah takut suara engselnya memecah kesunyian hatinya sendiri.
Malam itu ia bahkan tidak turun untuk makan malam. Perutnya memang lapar, tapi rasa kecewa jauh lebih mengenyangkan daripada makanan apa pun.
Ia berdiri di balkon, menatap gedung putih besar di ujung barat__Bianco Reale, tempat yang bahkan napas pun harus dijaga jika berada di dekatnya. Sambil menggigit apel yang ia ambil dari keranjang buah, pikirannya kembali ke hutan sore tadi.
“Lucas… selalu berlari, selalu menghilang? Apa yang dia rahasiakan? Aku hanya seorang istri, yang bahkan di beli olehnya…” hati Rose Kembali membuat banyak pertanyaan.
Bunyi ketukan lembut di pintu membuatnya menoleh. “Silakan masuk!” ujarnya malas.
Tuan Hose muncul, langkahnya tenang, senyum ramah tak pernah berubah. Namun di sisi pintu, Dimitri yang sedang berjaga mendadak tegak, menatap curiga.
“Apa Rose membuat masalah lagi?” pikirnya.
“Selamat malam, Nyonya Rose,” sapa Tuan Hose sambil sedikit membungkuk. “Saya datang membawa pesan dari Tuan Lucas.”
Rose memiringkan kepala, tidak menjawab, hanya terus menggigit apel dengan ekspresi datar.
“Sepertinya Nyonya tidak kerasan tinggal di Pallazo Delle Spose. Jika Nyonya ingin bercerai sekarang… maka saya akan mengajukannya pada tuan Lucas,” ujar Tuan Hose tenang, seolah kalimat itu bukan sesuatu yang akan memecahkan dunia seseorang.
Rose mematung, mulutnya bahkan berhenti mengunyah.
“Tuan Lucas… ingin agar istrinya merasa nyaman. Tapi anda terlihat sangat tidak nyaman… seperti para istri lainnya.” Lanjut tuan Hose, melirik tenang.
Rose terbelalak, jemarinya menghentikan apel yang hampir masuk ke mulut.
“Biasanya,” lanjut Tuan Hose, “para istri baru akan mendapat pertanyaan ini setelah seratus hari di Palazzo. Tapi untuk anda… pertanyaan ini diajukan lebih awal.”
Rose mengerutkan kening. “Pertanyaan apa?”
Tuan Hose hanya tersenyum tipis. Tidak ada jawaban. Ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop tebal bersegel, lalu menyerahkannya dengan kedua tangan.
Rose memandangnya ragu, merasakan beban tak kasatmata dari benda itu.
“Bacalah saat anda siap,” ucap Tuan Hose singkat, lalu membungkuk dan meninggalkan kamar, meninggalkan Rose dengan dada yang mendadak sesak__dan Dimitri, kini menatapnya seperti baru menyaksikan awal dari badai besar.
Suasana menjadi hening.
Rose menatap amplop di tangannya, keningnya berkerut. Jemarinya mulai merobek segelnya, tapi suara Dimitri menghentikan gerakannya.
“Nyonya, jangan!” ucap Dimitri cepat, suaranya terdengar tegang.
“Jika Anda membukanya sekarang… Anda tidak punya kesempatan berpikir lagi. Besok pagi, Anda akan dijemput.”
Rose meliriknya, senyum tipis terbit di bibirnya. “Dan kalau aku tetap membukanya sekarang?”
Dimitri menghela napas, menunduk. “Itu artinya… Anda sudah memilih jalan keluar.”
Rose mengabaikannya.
Dengan gerakan cepat, ia menarik keluar lembar-lembar kertas di dalam amplop itu. Matanya membesar membaca deretan kalimat tegas di sana.
‘Silahkah, tentukan tempat tinggal setelah anda keluar dari Pallazo, selain Motessa.
Apa yang ingin Anda lakukan setelah meninggalkan Pallazo?
Sebutkan jumlah uang perceraian yang Anda minta!’
Lalu, di bagian akhir, ada sebuah surat pernyataan yang membuat dadanya terasa sesak.
‘Setelah keluar dari Pallazo, Anda tidak akan pernah kembali ke Motessa.
Anda akan menutup rapat segala informasi tentang Pallazo.
Anggap Anda yang lama telah mati, dan lahir dengan nama serta kehidupan baru.’
Rose mengernyit, matanya menyipit.
‘Pallazo adalah pintu awal… di mana kau menemukan dunia yang seharusnya…’
Usai membaca kertas itu, Rose terkekeh lirih. “Haha… manis sekali. Benarkah demikian?” bisiknya, entah kepada siapa.
Dimitri menggeleng pelan, sorot matanya penuh iba. “Anda tidak mengerti, Nyonya…”
Namun Rose justru menaruh kembali kertas itu ke dalam amplop, lalu melemparkannya ke atas laci. “Besok pagi saja aku pikirkan,” ucapnya santai, meski hatinya berdegup tak karuan.
“Saya permisi Nyonya, selamat beristirahat. Elano seperti biasa, menunggu ada di ruang Tengah.” Pamit Dimitri. Rose mengangguk santai, seolah tidak ada hal yang serius.
Langkah Dimitri terdengar cepat menuruni lorong Pallazo. Wajahnya datar, tapi sorot matanya mengeras. Ia keluar melalui pintu samping, lalu menghampiri seorang pengawal yang berdiri di bawah temaram lampu taman.
“Sampaikan pada Tuan Hose,” ucap Dimitri singkat, dengan nada berat.
“Nyonya Rose telah membuka amplopnya.”
Pengawal itu mengangguk dan segera bergegas. Tak lama, berita itu sampai di telinga Lucas Morreti.
Lucas terdiam. Jemarinya yang tadi memegang gelas anggur perlahan menegang, lalu meletakkannya di meja tanpa suara.
Tuan Hose, yang berdiri tak jauh, memandang heran. “Tuan… bukankah ini kabar yang Anda tunggu-tunggu? Mengapa anda terlihat…”
Lucas tidak menjawab. Matanya sayu, seperti menatap sesuatu yang hanya bisa dilihatnya sendiri. Tanpa sepatah kata, ia berbalik dan melangkah menuju kamarnya. Sesampainya di sana, ia berdiri di dekat mercusuar yang menjulang dari bangunan megah itu__sebuah menara batu yang memberi pemandangan seluruh area bangunan bangunan megahnya.
Angin malam menyapu rambut, namun pandangannya terpaku pada satu titik, jendela kamar Rose. Lampu kamar itu memancar lembut, seolah menjadi satu-satunya cahaya yang ia lihat malam ini.
“Kita tidak akan bertemu lagi, Rose,” bisiknya dalam hati.
“Selamat jalan!” Suara itu nyaris tak terdengar, bahkan untuk dirinya sendiri. Ada sesuatu yang berat di dadanya, seperti luka yang tak bisa dilihat.
Bayangan Rose yang menangis di hutan sore tadi kembali memenuhi isi pikirannya__mata yang basah, bahu yang bergetar, dan tatapan yang seolah memohon. Lucas memejamkan mata sejenak. Rasa bersalah itu menekan napasnya, membuat hatinya seolah disayat perlahan.
Ia tetap berdiri di sana, membiarkan malam menghapus semua isi hati dan pikirannya, yang tak bisa ia ucapkan.
*
Bersambung
Terima kasih sudah baca sampai sini. Jangan lupa kasih like, komentar, atau bagikan ya. Dukungan dari kamu itu artinya gede banget lhoo buat aku :)
Cinta yang banyak untuk kalian...