Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Berdarah
Hujan semalam telah reda. Namun jejak luka yang ditinggalkannya masih melekat kuat dalam hati Irene, dengan pakaian yang masih lembap, wajah pucat, dan langkah yang berat. Ia berjalan menyusuri trotoar kota, tanpa tujuan pasti. Tak sepeser uang pun berada di kantongnya yang ia genggam erat hanyalah sebuah liontin giok warisan terakhir dari mendiang ibunya. Liontin itu tergantung lemah di dadanya, seolah menjadi satu-satunya pengingat bahwa ia masih hidup.
Langkahnya membawanya menuju sebuah tempat yang ia kunjungi untuk berkeluh kesah. Makam sang ibu di Pemakaman keluarga.
Matahari baru saja naik ketika Irene berdiri di depan nisan marmer putih itu. Di sana tertulis nama wanita yang dulu menjadi pelindung hatinya, satu-satunya sosok yang tak pernah memandangnya sebagai pewaris, tapi sebagai anak yang dicintai. Memberinya banyak limpahan kasih sayang, wanita yang tak hanya cantik namun memiliki kelembutan dan luar biasa.
Ia menjatuhkan lututnya di depan nisan itu. Tangannya gemetar menyentuh permukaan batu yang kini dingin oleh embun pagi. Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan.
"Mama... kenapa... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apa aku sudah terlalu sombong? Apa aku terlalu percaya diri? Apa aku... terlalu mencintai yang seharusnya tidak kumiliki?"
Tangisnya pecah.
"Bukankah cukup Tuhan mengambilmu dariku? Bukankah satu kehilangan itu saja sudah menghancurkan separuh duniaku? Lalu kenapa... semuanya harus datang bertubi-tubi?"
Ia menangis keras. Hujan emosi yang tak bisa dibendung itu tumpah begitu rupa hingga tubuhnya sendiri menggigil, bukan karena cuaca, melainkan karena kehilangan. Kehilangan harga diri, kehilangan kasih sayang, kehilangan arah.
Lama ia menangis hingga tubuhnya lelah sendiri. Pelupuk matanya tertutup dan ia pun tertidur dalam pelukan tanah di pusara ibunya.
***
Pagi menjelang. Irene terbangun dalam kondisi mengenaskan. Rambutnya acak-acakan. Pakaian lusuh. Kepalanya berat, perutnya perih karena lapar yang tak tertahan. Ia terduduk dengan gemetar, berusaha memahami kembali kenyataan yang dihadapinya.
Tidak, ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang kejam. Perlahan, ia bangkit dan berjalan meninggalkan makam. Tak tahu ke mana. Hanya mengikuti kemana langkahnya membawanya.
Ketika melewati sebuah warung makan, aroma sup panas dan roti panggang menyeruak ke hidungnya. Perutnya berteriak minta diisi. Namun ia hanya mampu berdiri menatap dari kejauhan. Ia teringat saat masih menjadi Irene Brilian Ornadi, wanita muda dengan ponsel mahal, sepatu desainer, dan akses tak terbatas ke dunia mewah.
Kini, bahkan sepotong roti pun tak mampu ia beli.
Beberapa saat kemudian, ia duduk di sebuah bangku taman. Di sana, sisa makanan bekas seseorang masih tertinggal di atas meja kecil dengan rasa malu yang menampar martabatnya, Irene meraih sisa roti yang sudah dingin itu dan memakannya perlahan. Tangisnya kembali pecah.
Di depannya, layar besar menayangkan berita terkini. Logo Ornadi Corp terpampang di sudut layar, dan suara penyiar berita menyampaikan kabar dengan penuh antusias,
"... secara resmi, Dewan Direksi Ornadi Corp mengumumkan pemberhentian Irene Brilian Ornadi dari segala jabatan, serta mencabut hak warisnya sebagai bagian dari keluarga pendiri perusahaan. Skandal moral dan etika yang mencuat beberapa hari terakhir dinilai tidak sesuai dengan citra perusahaan..."
"... sebagai gantinya, Cassandra Ornadi ditunjuk sebagai calon penerus baru, dan dinilai layak menduduki posisi CEO menggantikan Reza Ornadi di masa mendatang. Cassandra telah menunjukkan kapabilitas dan integritas dalam presentasi terakhir yang menarik banyak investor besar..."
Irene menggenggam liontin giok di dadanya. Matanya berkaca-kaca, namun kali ini bukan hanya karena duka. Ada bara yang menyala. Dendam yang tumbuh. Namun di sela kobaran itu, ada pula rasa putus asa yang menusuk. Ia tak punya siapa-siapa. Tak tahu harus kemana. Bahkan sepatunya kini tinggal sebelah. Kakinya berdarah karena berjalan terlalu jauh.
Ia terus melangkah, hingga akhirnya tubuhnya menggigil hebat dan pandangannya mulai buram. Di kejauhan, ia melihat sebuah gedung tua yang tak terpakai. Dari celah pintu yang setengah terbuka, terdengar suara benturan, teriakan, dan derak kayu patah dengan sisa tenaga, Irene melangkah masuk.
Di dalam gedung kosong itu, suasana mencekam. Debu tebal menutupi lantai, namun di tengah ruangan yang luas, puluhan pria bertubuh besar mengerumuni satu sosok.
Seorang pria. Tinggi. Tegap. Mengenakan jas merah maron, dasi dijepit rapi. Ia berdiri sendiri di tengah mereka.
Namun ia tidak mundur dengan ketangkasan dan kekuatan yang mengejutkan, ia memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan ke arah dada lawan. Dua pria terpental bersamaan yang lain menyerang dari belakang, namun pria itu menunduk, menarik satu lawan ke depannya dan menjadikannya tameng hidup.
Tinju-tinju berdatangan. Pria itu menangkis, membalas, bahkan sesekali melempar tubuh lawan hingga menghantam dinding.
Namun jumlah mereka terlalu banyak.
Sebuah pukulan dengan balok kayu menghantam punggungnya. Ia terhuyung. Lututnya hampir menyentuh lantai. Darah menetes dari pelipisnya.
Lalu seseorang dari arah belakang mengayunkan pisau.
Irene yang menyaksikan semua itu terpaku. Namun dalam pandangan kaburnya, ia melihat wajah pria itu dan—dalam delusi yang samar—ia mengira itu Reno. Reno yang pernah ia cintai. Reno yang dulu menjadi tempatnya pulang.
"Reno..."
Tubuhnya bergerak sebelum pikirannya sempat mencegah.
Langkah kakinya cepat. Nafasnya berat. Tapi ia terus berlari dan saat pisau itu hampir menembus punggung pria itu—
Irene memeluknya dari belakang.
Pisau itu tertanam di perutnya.
Waktu seakan berhenti. Tubuh Irene terhuyung, lalu jatuh dalam pelukan pria itu. Matanya setengah terbuka. Napasnya pendek.
"Re... no..."
Pria itu menatap Irene yang terkulai lemah di lengannya. Mata lelaki itu melebar, bukan karena luka yang baru saja ditimbulkan, tapi karena sosok yang kini memeluknya tanpa alasan.
"Kau... siapa?"
Tapi Irene tak menjawab. Kesadarannya perlahan surut. Namun sebelum segalanya gelap, ia sempat melihat siluet wajah pria itu sekali lagi—dan tahu, bukan, itu bukan Reno.
Namun sudah terlambat.
Darah mengalir deras dari luka di perutnya.
Dan pria asing itu, untuk pertama kalinya, menunjukkan ekspresi terguncang.