NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:669
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertanyaan

Pagi berikutnya, udara Gainesville terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut menggantung rendah di antara pepohonan live oak yang renta, daunnya berkilau tipis oleh sisa embun. Dari balik jendela kamar asrama, aku menatap trotoar basah yang berkilau samar, seolah ada cahaya yang merayap dari balik awan. Wangi kopi dari cangkir di tanganku bercampur dengan aroma tanah lembap—wangi yang biasanya memberi rasa tenang, tapi hari ini malah menekan dadaku seperti selimut berat.

Sekitar satu jam yang lalu, aku menerima pesan singkat dari Nick—mengabarkan bahwa ia sudah dalam perjalanan menuju Gainesville. Pagi ini Nick tidak akan menjemputku, karena aku akan sudah memulai kelas pertamaku, saat ia baru tiba di kota ini. Jadi, mungkin kami baru akan bertemu saat jam istirahat nanti.

Namun, bukan itu yang paling menggangguku pagi ini. Sejak semalam, bayangan seseorang terus menghantui pikiranku. Tatapan dingin yang begitu asing namun pernah terasa begitu dekat. Pertemuan singkat di bar itu seperti membuka pintu yang selama ini sengaja kukunci rapat-rapat.

Sementara itu, sejak semalam Jenny belum membalas pesanku. Mungkin ia masih sibuk dengan perkuliahannya, atau mungkin sibuk dengan pestanya. Aku hanya berharap ia segera membalas pesanku dan kami bisa mengobrol tentang hal kemarin.

Nina masih tertidur ketika aku meninggalkan kamar. Aku memutuskan untuk berjalan sendirian ke kampus, berharap udara dingin bisa menjernihkan pikiranku. Namun, setiap langkah justru terasa seperti membawaku mendekat ke sesuatu yang tidak kuinginkan—masa lalu.

Bahkan, di persimpangan dekat gedung administrasi, aku merasakan sesuatu. Tatapan. Itu bukan perasaan yang datang dari paranoia biasa— ini tajam, seperti cahaya yang menyusup dari celah tirai. Aku menoleh.

Dan...kosong.

Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan terburu-buru, dan seorang pria tua yang sedang menyapu trotoar penuh daun. Tapi jantungku sudah terlanjur berdegup terlalu kencang.

Aku memaksa langkahku lebih cepat.

Sepanjang kelas pagi ini, pikiranku terus melayang. Kata-kata dosen terdengar seperti dengung jauh di telinga. Di sela catatan yang kugores di buku, jemariku beberapa kali terhenti. Bahkan, suara Nina yang duduk di sampingku terdengar seperti bisikan samar yang tak kumengerti.

"Nora!", seru Nina, membuyarkan lamunanku, saat kulihat ruang kelas ternyata sudah mulai sepi. Entah sejak kapan kelas berakhir, aku tak menyadarinya.

Aku tersentak, lalu mencoba fokus pada Nina sambil mengatur nafasku perlahan.

"Nora, kamu baik-baik saja? Kamu melamun sepanjang kelas.", kata Nina.

"Ya, aku baik-baik saja, Nina. Aku hanya...", ujung kalimatku menggantung, mencoba mencari alasan yang sekiranya masuk akal untuk Nina. "... merindukan Nick.", bohongku.

Nina mendengus pelan, lalu tersenyum. "Sepertinya kamu harus segera menemuinya, Nora. Karena kita masih ada dua kelas lagi. Aku tidak ingin melihatmu melamun sepanjang kelas seperti tadi.", kata Nina, berusaha menggodaku. Mau tidak mau aku pun mencoba tersenyum padanya—meski hanya sebuah senyuman palsu.

"Baiklah, aku harus pergi ke pertemuan klub fotografi sekarang, Nora. Sampai jumpa di kelas siang nanti!", pamit Nina, lalu beranjak pergi setelah aku menganggukan kepala sebagai tanda mengerti.

Kini aku sendiri, mengemasi buku-buku milikku yang masih ada di atas meja. Hingga akhirnya ponselku tiba-tiba berbunyi. Sebuah panggilan masuk, yang ternyata dari Jenny.

"Hai Nora!", sapa Jenny, dengan nada cemas yang kudengar dari suaranya yang biasa selalu ceria.

"Hai, Jenn!", sapaku, gagal menyembunyikan perasaanku yang sedang kacau.

"Nora, kamu baik-baik saja?", tanyanya.

"Entahlah, Jenn. Aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian kemarin. Bayangan Christian memenuhi pikiranku sejak semalam.", jujurku.

"Aku tahu ini pasti sangat berat untukmu, Nora. Kamu sudah berusaha melupakannya selama bertahun-tahun. Dan, sekarang dia tiba-tiba muncul di hadapanmu."

"Ya. Dan, mirisnya dinding yang selama ini kubangun hancur seketika, begitu aku menatap matanya."

"Karena dulu kamu sangat mencintainya, Nora. Dan hubungan kalian bisa dikatakan belum sepenuhnya selesai. Kamu masih mencintainya, saat Chris tiba-tiba menghilang dari kehidupanmu. Aku tahu kamu pasti merindukannya, dan di saat yang bersamaan, kamu juga kesal, marah atau bahkan membencinya.", kata Jenny—tepat seperti apa yang kurasakan saat ini.

"Ya. Begitulah yang kurasakan, Jenn."

"Hmm, maaf, Nora. Andai aku ada disana, setidaknya untuk memberimu sebuah pelukan hangat."

"Jujur, sepertinya aku memang membutuhkannya saat ini, Jenn. Tapi, panggilan telepon darimu...seperti ini...sudah cukup membuatku merasa tenang. Trims, Jenn."

"Kapapun, Nora. Aku akan selalu ada, meskipun tidak bersamamu di sana.", kata Jenny, membuatku tersenyum. "Nora, lalu bagaimana dengan Nick? Apa kamu sudah memberitahunya tentang ini?", tanyanya.

Aku terdiam sejenak. Tiba-tiba aku teringat Nick. Pertanyaan Jenny mengingatkanku—seharusnya aku segera menemui Nick dan memberitahunya tentang kejadian kemarin. "Setelah ini, Jenn. Kemarin Nick sibuk dengan peringatan kematian kedua orang tuanya. Jadi, hari ini aku sudah berencana untuk menemuinya dan memberitahu semuanya."

"Benar, Nora. Kamu harus segera memberitahunya dan menjelaskan semuanya. Semakin sedikit rahasia yang kalian simpan, semakin baik. Jangan sampai kesalahpahaman merusak hubungan kalian pada akhirnya."

"Ya, Jenn. Kamu benar. Aku tidak bisa menyembunyikan apapun dari Nick. Dia berhak tahu."

Setelah percakapan kami berakhir, aku langsung bergegas menuju gedung fakultas hukum untuk menemui Nick. Aku menghubunginya saat sedang dalam perjalanan menuju kesana.

Cukup lama—Nick tidak menerima panggilan telepon dariku. Hingga akhirnya, setelah panggilan yang kesekian kali, ia menjawabnya juga.

"Halo, Nora!", sapanya, seperti sedang tergesa-gesa. "Ada apa?", tanyanya.

"Ehm, kamu sedang sibuk?", tanyaku, sedikit ragu.

"Eh, siang ini Student Government mengadakan rapat mendadak, Nora. Ada sesuatu yang mendesak sekali dan penting. Jadi, sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju ruang rapat. Ada apa, Nora?"

Aku menghentikan langkahku. Sepertinya siang ini kami masih belum bisa bertemu. Sepertinya aku harus menunda niatanku. "Ehm, tidak apa-apa, Nick. Hanya saja ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi, kurasa urusanmu saat ini jauh lebih penting dari ini. Jadi, aku bisa menundanya.", kataku, merasa sedikit kecewa.

"Maaf, Nora. Eh, bagaimana kalau setelah kelas berakhir, aku menjemputmu? Kita bisa pergi ke suatu tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol berdua.", tawarnya.

"Baiklah, Nick. Aku akan mengirimimu pesan, begitu kelas terakhir selesai."

"Baik, Nora. Sampai jumpa nanti!", balas Nick, mengakhiri percakapan kami lewat panggilan telepon singkat ini.

Senja mulai merayap ketika mobil Nick tampak dari kejauhan–terparkir di parkiran fakultas bisnis yang tidak terlalu ramai. Sesuai janjinya, ia menjemputku setelah kelas terakhir hari ini selesai.

"Sudah siap?", tanyanya, saat aku menghampirinya. Ia membukakan pintu mobil untukku, agar aku bisa langsung masuk ke dalam mobilnya.

Nick melajukan mobilnya pelan meninggalkan kampus, membawa kami menuju sebuah taman kecil di tapi danau yang selalu sepi menjelang senja. Selama perjalanan, kami hanya bertukar kalimat pendek—tentang cuaca yang akhir-akhir ini tak menentu, tentang tugas kuliah yang semakin menumpuk. Tapi aku tahu, kami berdua sedang menyimpan hal-hal yang lebih berat di kepala masing-masing.

Tidak lama kemudian kami sudah tiba di taman kecil tepi danau yang sepi, seperti biasa. Sebuah bangki kayu tua menunggu di bawah pohon besar yang rantingnya merunduk. Air berwarna tembaga memantulkan cahaya matahari yang mulai turun.

"Jadi, bagaimana hari peringatan kematian orang tuamu kemarin, Nick? Apa semua berjalan dengan baik?", tanyaku pada Nick yang duduk di sebelahku–mencoba mengawali percakapan tentang apa yang mungkin sudah dilalui Nick kemarin. Sebab, kemarin adalah hari yang berat untuk Nick. Dan, aku tidak mau menjadi egois, dengan mengabaikan hal tersebut dan meminta Nick untuk hanya fokus pada apa yang sudah kualami kemarin. Kami di sini, setidaknya untuk saling mendengarkan.

Nick tampak menarik nafas panjang, sebelum menjawab pertanyaanku. "Ya. Aku pergi ke makam orang tuaku di Westchase, lalu ke rumah paman dan bibi di Riverview untuk jamuan kecil peringatan kematian orang tuaku. Kemarin, kupikir akan lebih mudah dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi, ternyata rasanya tetap, sama saja. Seperti sebuah lubang yang tidak akan pernah tertutup.", jelas Nick, tampak murung.

Aku menatapnya, mencoba membaca setiap garis di wajahnya. "Aku tahu, Nick. Hari peringatan kematian orang tuamu pasti akan selalu jadi hari yang berat untukmu.", kataku, membelai lengan Nick, untuk menenangkannya.

"Kemarin, aku sempat bertemu kakakku, Nora.", kata Nick, tiba-tiba. Wajahnya semakin menyiratkan kesedihan.

"Benarkah? Apa kalian sempat mengobrol?"

"Ya, tapi tidak banyak.", jawabnya, sambil tersenyum tipis. Tapi aku bisa melihat ada yang bergetar di balik matanya. "Dia hanya bertanya tentang kabarku, lalu tentang kuliahku. Setelah itu, dia langsung pergi, karena urusan penting katanya. Sepertinya kakakku hanya mencoba untuk menghindariku saja."

"Nick, kurasa kakakmu juga punya lukanya sendiri. Dan, mungkin hanya waktu yang bisa mengembalikan hubungan kalian seperti dulu lagi."

"Ya, sepertinya begitu, Nora. Aku tidak bisa memaksa kakakku untuk memaafkanku dan meninggalkan pekerjaannya di sana, lalu tinggal bersamaku di sini. Kamu benar, mungkin hanya waktu yang bisa melakukannya."

"Aku yakin, suatu saat nanti kalian pasti akan bersama-sama lagi dan hubungan kalian akan kembali seperti dulu lagi."

Nick menghela nafas panjang. "Aku juga berharap begitu, Nora.", katanya, lalu mengalihkan topik pembicaraan kami. "Tadi siang kamu bilang ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan. Ada apa, Nora?", tanyanya.

Hening sejenak. Aku menyibakkan rambutku, membawa aroma air dan dedaunan kering. Aku tahu, mungkin inilah saatnya.

"Nick...", suaraku keluar, nyaris seperti bisikan. "Kemarin... saat aku, Nina dan yang lainnya mengerjakan tugas kelompok di bar dekat kampus... aku bertemu seseorang, tanpa sengaja."

Nick menoleh. "Seseorang?"

Aku mengangguk. "Seseorang dari masa laluku, yang pernah kuceritakan padamu saat itu.", aku menatap wajah Nick yang kini berubah menegang. "Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Rasanya... seperti ditarik kembali ke masa yang sudah lama kutinggalkan."

"Apa yang kamu rasakan saat bertemu dengannya?"

"Perasaanku bercampur, berantakan, kacau. Jelas aku kesal, marah dan bahkan membencinya. Tapi, mungkin juga ada perasaan lain yang...aku benci untuk mengakuinya."

"Kamu merindukannya?", tebak Nick, tepat sekali.

"Entahlah Nick. Apakah itu bisa disebut rindu atau hanya perasaan yang kudapat karena bertemu seseorang yang sudah lama menghilang."

Nick mengalihkan pandangannya ke danau, matanya memantulkan cahaya senja. "Jadi...", ia berhenti sejenak, suaranya nyaris tak terdengar. "...apakah kamu masih memiliki perasaan padanya, Nora?"

Air danau bergelombang kecil diterpa angin. Pertanyaannya menggantung di udara seperti awan hitam yang siap menurunkan hujan. Dan di dalam dadaku, ada badai yang tak tahu ke mana akan berlabuh.

Aku menatapnya, dan untuk pertama kali, aku tidak tahu jawaban yang sebenarnya. Jelas aku mencintai Nick sekarang, bahkan sangat mencintainya. Tapi, apakah benar perasaanku pada Christian sudah benar-benar habis tak bersisa?

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!