NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9. Oma Surya VS Nenek Dini

Karin dan Dimas berjalan beriringan menyusuri lorong putih sebuah gedung yang memiliki aroma khas yang menusuk hidung. Aroma yang sangat tidak bersahabat namun harus mereka terima demi mengungkap sebuah kebenaran. Mereka membaca satu demi satu plang nama-nama ruangan yang tertera pada papan kayu diatas pintu masuknya. Langkah mereka terhenti di depan sebuah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka, seolah sudah menunggu kehadiran Karin dan Dimas yang saat ini sedang saling tatap. Tatapan antusias yang juga dirasuki sedikit keraguan dan ketakutan, membuat kakak beradik ini tak segera memutuskan siapa yang terlebih dulu masuk kedalamnya.

Karina menghembuskan nafasnya menguatkan diri, bagaimanapun, ini harus diselesaikan.

Tok…tok…tok…

Diketuknya perlahan pintu bercat putih bertuliskan Ruang Camar sambil melongokan kepalanya sedikit pada celah pintu yang sedikit terbuka.

“Permisi…”

“Masuk lah.”

Suara penuh getar menyahut dari dalam, membuat keberanian Karin datang untuk memegang handle pintu dan mendorongnya lebih kedalam. Tampak berbaring dalan ruangan itu, seorang wanita dalam balutan baju berwarna putih bergaris biru muda, tersenyum memperlihatkan giginya yang masih rapi tersusun, walaupun kerutan diwajahnya cukup menjelaskan usianya yang sudah separuh abad lebih.

Karin dan Dimas berjalan ragu mendekati wanita dengan rambut pendek tersisir rapi, yang warnanya hampir rata berwarna putih keabu-abuan. Mere tertegun, yang memiliki nama bu Surya ternyata memang seorang wanita yang jauh lebih tua dari bayangan mereka.

“Maaf oma, kami mengganggu sebentar.”

“Duduklah.”

Senyumnya ramah, mempersilahkan mereka duduk dikursi disamping ranjang crank elektrik tempat bu Surya duduk menyender pada satu sisi crank. Kakinya terbungkus selimut khas biru bergaris putih, senada dengan bajunya, berselonjor dengan kedua tangan yang ia letakan diatas pangkuannya.

Dua buah kursi lipat sudah terjejer disana, sangat kentara bahwa bu Surya telah menunggu kehadiran mereka dan sengaja mempersiapkan kursi itu untuk mereka, sementara mang Dudung memilih menunggu di parkiran sambil menikmati bekal dan kopi yang sudah disiapkan tante Rus dari rumah.

“Maaf, apakah betul oma adalah Oma Surya?”

Wanita dengan selang di tangan sebelah kiri yang terhubung pada cairan infus itu mengangguk pelan. Berjajar pula di seblah kiri ranjang beberapa alat yang entah apa namanya, Karin dan Dimas belum pernah melihat dan tak tau untuk apa. Yang pasti, sakitnya bu Surya tentu bukan sakit ringan dan terlihat sangat menakutkan, setidaknya bagi dua orang pelajar itu.

“Nama kalian siapa?”

“Saya Karina Oma.”

“Saya Dimas.”

Hening sejenak. Mereka bertiga hanya mengamati dalam diam meskipun hati mereka bergejolak penuh tanya, seperti sebuah balon udara yang siap meledak kapan saja karena terus dipompa rasa ingin tahu yang semakin ditekan semakin membesar.

Sekilas, Karin melihat bibir kering keriput wanita yang tak henti menatapnya itu menyimpulkan sebuah senyum kecil namun jelas tergambar.

“Kalian datang dari mana?”

“Kami dari Jakarta, Oma.”

“Ah, ya… ya… Betul kalian mencari saya?”

“Iya oma. Maaf kami tidak tahu kalau oma sedang dirawat disini.”

Ibu Surya tertawa kecil, mengamati tiap garis wajah anak-anak di hadapannya satu persatu dengan mata yang makin lama makin terlihat akrab dimata Karin Dimas.

“Apa yang kalian cari, nak?”

“Maaf oma, kami ingin tau, sejak kapan oma memiliki tempat yang sekarang menjadi bakery milik oma itu? Bagaimana oma bisa memiliki tempat itu? Apa oma membeli tempat itu dari sesorang?”

Bu Surya kembali tertawa, kali ini suaranya terdengar dengan sangat jelas.

“Sabar nak, satu persatu dulu.”

Karina tersadar, balon udara yang ia tahan akhirnya meledak juga. Ia menutup mulut kecilnya sambil tersenyum malu.

“Maaf oma.”

“Sebelum oma menjawab, bolehkah oma mengenal kalian lebih dulu? Ceritakanlah, siapa kalian, dan bagaimana hidup kalian di Jakarta. Boleh?”

Karin dan Dimas mengangguk bersamaan. Lalu mereka mulai membuka diri, menceritakan selapis demi selapis kisah kehidupan mereka. Bagaimana sulitnya hidup mereka tanpa sosok laki-laki yang saat ini menjadi alasan utama kedatangan mereka ke kota itu. Menceritakan bagaimana hebatnya bidadari mereka dalam berjuang bertarung dengan kerasnya ibu kota demi menghidupi mereka berdua. Kisah yang akhirnya membuat bu Surya tak lagi mampu membendung air mata. Entah air mata apa yang sedang ia seka dengan sebuah sapu tangan kecil di tangan kanannya. Namun air mata ini menyita perhatian Dimas yang sejak kedatangannya di ruangan itu tak berpaling menatap wajah lelah bu Surya.

“Kenapa oma menangis?”

“Tidak, oma hanya merasa terenyuh mendengar cerita kalian. Ibu kalian pasti perempuan hebat yang kuat.”

“Mama orang yang sangat istimewa buat kami. Dia melakukan segalanya agar kami bisa hidup dengan layak.”

“Apa tadi, nama toko bunga ibumu?”

“Paradise, oma."

“Ya ya, paradise ya. Biar oma catat ya, oma sudah mulai pikun.”

Karin dan Dimas saling pandang, ada pertanyaan yang mereka sama sama lemparkan lewat tatapan mata, pertanyaan yang mereka sama-sama tau tanpa diucapkan. Sementara bu Surya mengambil sebuah buku catatan kecil dan sebuah pena dari dalam sakunya. Menuliskan sesuatu yang sepertinya cukup panjang untuk sekedar menulis nama florist milik bu Nurma. Membuat Dimas gusar menunggu bu Surya selesai menulis dan akhirnya menyela.

“Maaf oma belum menjawab pertanyaan kami, oma membeli toko roti itu dari siapa?”

Bu Surya menoleh, tersadar bahwa mereka sudah tak sabar mendapat penjelasan tentang siapa dirinya. Disobeknya selembar kertas dari buku catatan itu, lalu memberikannya kepada Dimas.

“Ini apa oma?”

“Itu adalah alamat lama rumah oma, sebelum oma membeli rumah yang sekarang jadi toko roti. Kapan-kapan kalau kalian ada waktu, silahkan datang kerumah itu.”

“Untuk apa oma?”

“Barang-barang yang ada di rumah itu, sebelum oma jadikan toko roti, oma taruh dirumah lama oma? Barangkali ada yang mau kalian cari, ambillah.”

“Siapa yang menempati rumah itu oma?”

“Ada orang yang jagain rumah. Gak apa-apa, nanti oma sampaikan ke orangnya.”

Mereka mengangguk, walaupun dalam hati mereka masih mengawang, belum tau apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Mereka yang hanya ingin mengetahui keberadaan ayahnya, justru harus bisa menerima bahwa ada banyak lapisan yang mereka buka terlebih dulu satu persatu.

“Trus oma ini sebetulnya siapa? Apa oma mengenal ayah kami?”

Ibu Surya tertawa, ia sudah menduga bahwa anak-anak ini akan tetap mengejarnya dengan pertanyaan itu. Walaupun ia sudah menyiapkan jawaban-jawaban diplomatis namun ia masih tetap merasa tak yakin bahwa anak-anak ini akan terpuaskan dengan jawaban itu. Karena bagi mereka, jawaban yang mereka cari tetaplah dimana keberadaan pak Budiman, ayah mereka.

“Oma adalah orang yang tau persis siapa Budiman dan Nurma. Mereka adalah korban keegoisan seorang yang harusnya menjaga mengayomi mereka.”

“Maksut oma siapa?”

Tambah lagi ketidak pahaman mereka tentang cerita masa lalu orang tua mereka yang terbuka satu persatu. Sungguh ternyata ada banyak irisan yang mereka temukan di kota ini.

“Nenek kalian, Dini. Satu-satunya orang yang berdosa dalam hubungan orang tua kalian.”

“Nenek?”

Karin mengernyitkan dahinya, sudah sangat lama ia tidak mengucapkan kata-kata ‘nenek’ apalagi ‘nenekku’. Mungkin, sudah lupa bahkan. Bu Surya mengangguk, sambil tersenyum. Ia tak yakin bahwa cucu-cucu bu Dini ini mengenal atau sekedar mengingat neneknya, neneknya yang bahkan tak merestui pernikahan ibu dan ayahnya. Neneknya yang memisahkan orang tua mereka.

“Oma kenal sama nenek Dini?”

“Sangat mengenal.”

“Bagaimana kabar nenek sekarang, apa nenek masih hidup?”

Bu Surya terdiam, menghela nafas panjang lalu mengambil segelas air putih dimeja samping ranjang, meminumnya beberapa teguk lalu meletakan kembali gelas itu. Ada sedikit kegugupan yang berusaha ia telan bersama dengan air putih yang meluncur melewati tenggorokannya.

“Nenekmu, mungkin masih hidup, mungkin juga sudah mati. Yang pasti, dia memang sudah lama hidup dalam penyesalan yang membuatnya terasa sudah mati.”

Bu Surya kembali menatap kakak beradik yang menyimaknya dengan sangat hikmat. Mencoba mencerna apa makna yang tersirat dibalik jawaban jawaban bu Surya yang tidak pernah terus terang.

“Nenekmu, yang memisahkan mama dan papamu. Menyebarkan fitnah agar keduanya saling memusuhi. Nenekmu juga yang membuat menantunya meninggalkan rumah itu, lalu pergi entah kemana dengan kedua anaknya” lanjut bu Surya.

“Jahat sekali ya nenekmu?”

Bu Surya, dengan amarah tertahan yang terlihat jelas dimatanya, mencoba mencari semburat amarah juga dalam mata Karina dan Dimas. Sementara mereka berdua masih meraba-raba perasaan aneh apa yang muncul dalam benak mereka. Lalu, dan amarah untuk siapa yang mereka lihat dari wajah bu Surya?

“Keberadaan nenekmu saat ini tidaklah penting anak-anak.”

Bu Surya menekan tombol pada sisi ranjang rumah sakitnya dan crank disisi kepala turun, membawa tubuhnya merebah sejajar dengan badannya.

“Yang perlu kalian tau, nenekmu saat ini sedang menikmati kesengsaraan karena rasa bersalahnya. Tidak berharap bahwa kalian memaafkannya karena dia tau, itu tidak lagi berguna. Sangat terlambat.”

Mata bu Surya terpejam, ada bulir air mata yang meleleh dari sana, namun air mata itu tak tertangkap oleh Karin dan Dimas. Baik wujudnya, maupun artinya.

“Pulanglah kalian, oma lelah.”

Bu Surya meminta dengan suara lirih.

“Tapi oma, kita-“

“Datangi saja alamat yang oma tulis tadi. Mungkin disana kalian bisa mendapatkan lebih dari yang kalian cari.”

Karina berdiri dari duduknya, memastikan bahwa bu Surya memang sudah tak mau diganggu. Ia tak dapat memaksakan situasi ini, meskipun ia sendiri masih ingin mengulik banyak hal yang ia yakini betul bahwa bu Surya mengetahui lebih banyak dari yang mereka dengar saat ini. Ditariknya lengan baju Dimas dan mengajaknya untuk meninggalkan ruangan itu. Sementara bu Surya dengan dada yang bergemuruh menguatkan hati saat mendengar suara langkah kaki Karin dan Dimas meninggalkan ruangan tanpa menutup pintu.

“Kak, menurut lu apa hubungan oma ini dengan nenek Dini?”

Dalam perjalanan meninggalkan ruangan itu Dimas mencoba mengurai benang kusut dalam pikirannya, mencocokan pemahamannya dengan pemahaman Karin yang masih tetap terdiam sejak setelah ia mengucapkan salam sebelum meninggalkan ruang kamar rawat bu Surya. Namun pertanyaan Dimas tak mampu mengalihkan pikiran Karin yang sedang mencerna semua hal yang ia dengar disana.

Jadi, mama dan papa berpisah, karena campur tangan nenek Dini? Jadi, nenek Dini mengadu domba mereka? Lalu fitnah apa itu? Dimana nenek Dini sekarang? Dimana papa berada? Apa mereka berdua masih hidup? Apakah mereka berdua masih ada di kota ini?

Ah, penat sekali kepala Karin. Terlalu banyak teka-teki yang ia dapatkan hari ini. Teka-teki yang sementara harus ia bawa pulang kembali ke Jakarta karena waktu mereka hari itu sangat terbatas.

“Kita mau lanjut mencari alamat itu apa mau balik ke tante Rus ini kak?”

Tiba diluar gedung rumah sakit mereka berjalan menuju parkiran dimana pak Dudung sudah menunggu. Karin sendiri masih ragu, langkah apa selanjutnya yang harus ia lakukan.

“Mang Dudung, mamang tau alamat ini?”

Karin menyerahkan kertas yang ia dapatkan dari bu Surya kepada sopir tante Rus, memastikan jarak alamat itu dari tempat mereka berdiri saat ini. Mang Dudung menerimanya dan mengamati.

“Oh ini gak terlalu jauh neng sebenarnya, tapi kalau jam jam segini mah macet banget arah kesana. Bisa sejam lebih buat sampai sana. Gimana, mau mamang anter kesana?”

Karin terdiam. Sementara mang Dudung mulai menyalakan mobilnya, masih menunggu keputusan Karin mau kemana selanjutnya.

“Erm, gak usah mang. Kita balik ke rumah tante Rus aja.”

“Lu yakin kak? Gak mau lanjutin ini?”

“Gak sekarang. Nanti kita cari waktu lagi.”

“Nanggung kak udah ampe sini kita.”

“Udah mau malem Dim, kasian mang Dudung udah nganterin kita dari pagi.”

Jawab Karin setengah berbisik.

“Kita balik aja mang.”

“Siap atuh neng. Mamang juga udah pengen mandi.”

Karin melirik Dimas, seakan berkata ‘tuh kan…’

***

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!