Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Membalas Yang Menyakiti Nona-Nya
...•••...
Di tengah riuhnya musik yang menghentak, lampu-lampu neon berkedip menerangi sudut gelap diskotik yang dipenuhi aroma alkohol dan asap rokok.
Adipta duduk santai di sofa VIP, dikelilingi wanita-wanita yang tertawa genit di sisinya. Gelas berisi cairan amber dalam genggamannya bergoyang perlahan, mengikuti gerakan tangannya yang malas mengguncang isi minuman. Sesekali, ia meneguknya dengan puas.
"Hari ini malam yang menyenangkan, bukan?" gumamnya, tatapannya malas menyapu kerumunan di lantai dansa.
Namun, dari sudut ruangan yang remang, sepasang mata mengawasi dengan tajam. Sosok pria tegap dalam balutan jaket kulit berdiri di antara keramaian. Wajahnya tertutup topeng tengkorak, hanya menyisakan tatapan dingin yang terkunci pada Adipta.
Saat kesadaran Adipta mulai mengabur akibat minuman yang terus ia tenggak, pria bertopeng itu melangkah maju. Dengan sigap, ia menyelinap di antara kerumunan, mendekati targetnya tanpa menarik perhatian.
Dalam sekejap, ia meraih kerah kemeja Adipta dan menyeretnya menjauh dari sofa VIP.
Wanita-wanita di sekitarnya tersentak dan berteriak, membuat orang-orang Adipta langsung bereaksi.
Adipta meronta, tapi kesadarannya yang menurun membuat tubuhnya lemah. "Hei... Siapa lo? Lepasin gue, sialan!" geramnya, tapi genggaman pria itu terlalu kuat.
Tanpa menjawab, pria bertopeng itu terus menyeretnya keluar menuju lorong belakang diskotik—tempat yang jauh dari keramaian. Begitu sampai di sana, ia menghantamkan tubuh Adipta ke dinding dengan kasar.
Adipta meringis kesakitan. "Mau apa lo, ha?!" suaranya bergetar, napasnya tersengal.
Pria itu mendekatkan wajahnya, suara napasnya terdengar berat di balik topengnya. "Bajingan," ucapnya pelan, namun cukup untuk menusuk ke telinga Adipta.
Sebelum pria itu sempat membalas, sebuah pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya terbungkuk. Napasnya terputus sejenak, sementara wajahnya kini berlumuran luka.
Langkah-langkah kaki bergema dari arah pintu koridor. Dengan cekatan, pria bertopeng itu segera menghilang dalam bayangan, meninggalkan Adipta yang tergeletak tak berdaya di lantai.
Saat anak buahnya tiba, mereka hanya mendapati bos mereka dalam keadaan babak belur.
•••
Ben kembali ke kediaman Adhijokso dengan santai, menunggangi motor gedenya yang menderu membelah sunyi nya malam. Di balik helmnya, bibirnya terangkat membentuk seringai tipis.
Malam itu ia merasa amat puas, sebab sudah membalas rasa sakit Nona-nya, lihat saja jika pria itu berani macam-macam lagi pada Hayaning, maka Ben tak segan untuk membalasnya lebih dari ini.
Begitu tiba di paviliun, ia masuk tanpa banyak suara, melepas jaket kulitnya yang berat dan melemparkannya ke kursi terdekat. Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya, meredakan panas tubuh yang masih tersisa.
Dengan langkah santai, ia meraih botol air di meja dan meneguknya dalam beberapa kali tegukan. Sisa air yang mengalir di dagunya dibiarkan begitu saja, sementara ia bersandar di kursi rotan, menikmati ketenangan malam.
TING!
Ben menoleh kearah ponselnya diatas nakas, ia segera memeriksa dan mendapati satu pesan text dari nomor tak dikenal. Tetapi dari cara bahasa dan ketikannya, Ben tahu siapa itu.
Tidak dikenal
Sudah lama semenjak pernikahan kita batal, kita tak lagi bertemu, Ben.
Ben berdecak jengkel, urat-urat lehernya kentara menonjol sebab ia sedang menahan emosi ketika ingatan itu kembali menghardik kelakuan bodohnya dimasa lalu.
Benjamin
Lalu apa masalahnya Louisa? F*ck! Urusan kita telah selesai.
Ben menonaktifkan ponselnya. Ia berjalan menuju kamar mandi, lalu mulai membersihkan diri disana.
Tetapi di bawah rintik deras air shower, bayangan tentang Louisa kembali hadir. Perempuan manipulasi itu sudah membuat nya jatuh kepada ambang kebodohan, dan Ben tak akan lagi ingin menjadi pria bodoh karena cinta.
Cukup sekali dan ia tak mau lagi mengarungi rasa picisan seperti itu. Tidak lagi, dan ia sudah bersumpah akan hal itu.
"Sialan!"
•••
Seharusnya hari itu menjadi momen bagi kedua keluarga untuk membicarakan kelanjutan perjodohan antara Hayaning dan Adipta. Namun, rencana itu terpaksa ditunda setelah keluarga Adhijokso menerima kabar bahwa calon menantu mereka tengah dirawat di rumah sakit. Adipta dikabarkan mengalami kekerasan dari seseorang tak dikenal di dekat rumah dinasnya.
Huh, pria keparat itu—berani sekali berbohong kepada calon mertuanya dan publik dengan mengaku hampir dib*nuh di rumah dinasnya. Padahal kenyataannya, malam sebelumnya ia menghabiskan waktu di tempat hiburan malam, dan pemukulan itu terjadi di sana. Namun, ia membalikkan fakta dengan liciknya, tak mau nama dan reputasinya hancur didepan publik, sebab ia adalah Ketua umum dari partai elite yang amat disegani.
"Aku lega mendengar, bahwa pembahasan mengenai perjodohan kami harus ditunda, tapi aku tidak bermaksud menertawakan kondisi pria itu."
Ben mendengarnya dengan seksama. "Nona, kamu sangat murah hati, seharusnya kamu bisa menertawakan nya."
Haya menggeleng pelan, "aku tidak suka menertawakan seseorang yang sedang menderita."
Ben diam, ia tak lagi bersuara. Hayaning memang terlalu baik dan murah hati. Pikir Ben.
Haya menghela nafas panjang sembari menatap kebun bunga mawar. "Persetan dengan semua itu. Kini, aku memiliki waktu untuk menatap keindahan ini."
Ben memperhatikan bagaimana Haya tersenyum kecil saat jemarinya menyentuh kelopak mawar yang basah oleh embun. Mata perempuan itu tampak lebih tenang, seolah kebun ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberinya kedamaian.
"Ini tempat favoritku sejak kecil," gumam Haya, matanya masih terpaku pada bunga-bunga yang bermekaran indah. "Setiap kali aku merasa dunia terlalu berat, aku datang ke sini... hanya untuk mengingat bahwa ada hal-hal indah yang tetap tumbuh, meskipun dunia di luar sana kacau."
Ben tidak langsung menanggapi, hanya menatapnya dalam diam. Ia memahami maksud ucapan Haya, tetapi memilih untuk mendengarkan lebih lama.
"Tapi kadang," lanjut Haya, suaranya melemah, "aku bertanya-tanya... apa aku juga bisa bertahan dan tumbuh seperti bunga mawar?"
Ben menoleh ke arah kebun yang terhampar luas, sorot matanya mengeras seiring dengan pemikirannya. "Nona sudah tumbuh seperti bunga mawar, Nona hanya belum menyadarinya."
"Maksudmu?" tanya Haya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Ben mengambil setangkai mawar yang sudah dipetik, memperlihatkannya kepada Haya. Dengan sengaja, ia menekan duri tajam di batangnya hingga jari telunjuknya mengeluarkan d*rah segar.
"Astaga, Ben! Apa yang kamu lakukan?" Haya buru-buru meraih sapu tangannya, dengan cemas mengusap luka dijari pria itu.
Ben tetap menatapnya dengan intens. "Seperti ini, Nona," ujarnya pelan. "Bunga mawar terlihat cantik dan rapuh, tetapi ia punya duri untuk bertahan. Sama seperti Nona Hayaning."
Haya terdiam, matanya menatap dalam ke arah Ben. "Jadi itu... sebuah pujian untukku?" tanyanya dengan rona wajah yang bisa ia rasakan sendiri sedang tersipu.
Ben hanya tersenyum tipis, membiarkan keheningan menjawab pertanyaan Haya.
"Oh, ayolah Ben, jawab aku!"
Ben menatap Haya sebentar, lalu mengangkat bahu dengan ekspresi datarnya yang khas. "Nona sendiri yang harus menilai," ucapnya tenang.
Haya mengerucutkan bibir, merasa sedikit kesal dengan jawaban yang menggantung itu. "Kamu selalu saja seperti ini, suka membuatku penasaran!" keluhnya.
Ben terkekeh pelan. "Lebih baik penasaran, Nona, karena itu membuat Nona lebih bersemangat untuk mencari tahu."
Haya mendengus pelan, namun senyum kecil terukir di wajahnya. Ia kembali menatap bunga-bunga mawarnya. "Huh...menyebalkan!" gumamnya.
Ben menatapnya dengan sorot yang lebih lembut. "Ya, Nona. Itu adalah bentuk pujian dari saya." Akhirnya ia memberitahu.
Haya tersenyum tipis, namun ia tak mampu menoleh dan menatap lagi wajah Benjamin, karena pipinya yang terasa memerah dan sedang tersipu ini, tak ingin Ben melihatnya.
Ben tidak boleh tahu kalau Haya sedang salah tingkah.
"Well," Ben bangkit dari kursi, "ini sudah sore dan Nona harus kembali kerumah utama."
Haya mengangguk perlahan, meski masih terasa canggung sendirian dengan percakapan yang baru saja terjadi. Ia tetap menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan pipinya yang memerah. "Iya, Ben. Terima kasih sudah menemaniku disini," ujarnya dengan suara pelan, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan salah tingkah.
Ben mengangguk lalu meny*ntuh b*hunya, memberi isyarat agar Haya ikut berdiri. "Ayo, Nona." Ia membantu Haya berdiri dari kursinya, lalu ia meraih beberapa bunga mawar yang telah dipetik, bunga-bunga yang tadi disiapkan Haya sebagai hadiah untuknya.
"Aku harap kamu suka bunga-bunganya," ujar Hayaning dengan pelan.
Ben menatap bunga-bunga itu sebentar, lalu mengangguk. "Tentu, Nona. Terima kasih."
Mereka berjalan berdampingan keluar dari kebun mawar, meninggalkan jejak kebersamaan di tempat yang menjadi bagian favorit Hayaning.
Angin sore yang berhembus lembut membawa keduanya ke dalam keheningan. Haya yang merasakan getar-getar di dada, sementara Ben hanyalah pria berhati dingin yang tidak peka dan tidak merasakan perasaan seperti itu.
Perlu digaris bawahi, bahwa Ben tidak pernah membiarkan perasaan picisan kembali menguasai dirinya, atau setidaknya itu yang selalu ia yakini.