Yue menerima perjodohan itu dengan satu kata singkat. "Ya."
Bukan karena cinta, jauh dari itu. Dia hanya berpikir hidupnya akan seperti kisah di film atau novel yang sering dia tonton, klasik, klise, dan penuh drama. Seorang pria kaya raya yang dingin dan tak acuh, yang diam-diam mencintai wanita lain, dan hanya menikah karena tekanan keluarga. Lalu Yue akan menjalani hidup sebagai istri formal, tidak dicintai, tapi tetap hidup mewah. Simple.
Satu-satunya alasan Yue setuju hanyalah karena satu kata sakral, UANG. Dia realistis, bukan romantis. Tapi yang terjadi, sungguh berbeda.
Pria itu, Raymon Sanchez tidak sesuai skrip. Sejak hari pertama mereka bertemu, bukan tatapan datar yang dia terima, melainkan pandangan tajam seolah dia adalah teka-teki yang ingin dia pecahkan. Bukan sikap acuh, tapi perhatian yang menusuk hingga ke tulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Bebas itu sekarang Mahal
Raymon tak langsung menjawab.
Sunyi menggantung di antara mereka, hanya diselingi sayup suara musik klasik dari dalam restoran dan gemerisik angin malam yang mengelus rambut panjang Yue.
Kadang dia bertanya, andai saja Raymon benar memiliki wanita lain, setidaknya akan ada jarak kan. Akan ada celah untuk bernapas, tapi pria ini tidak membagi miliknya.
Pria ini tidak pernah benar-benar melepaskan. Dan dia, entah bagaimana, menjadi milik itu sejak malam pertama kemarin.
Dan, kenapa juga dia mau aish!
Yue menatap lampu-lampu kota yang tampak begitu jauh, seperti kehidupan yang dulu dia kenal riuh, dan bebas. Sekarang semuanya sunyi, mewah, dan sempit.
"Aku menyesal." katanya pelan, tak menoleh.
Raymon tidak bertanya, ‘atas apa?’ tak ada kebutuhan untuk itu. Sebaliknya, dia hanya menunduk, melayangkan kecupan-kecupan ringan di lekuk leher istrinya.
Gerakannya lembut, nyaris penuh kasih, tapi bibirnya menyeringai tipis, kejam, seperti seseorang yang sedang mencicipi miliknya sendiri, bukan mencintai.
Dia tak peduli. Penyesalan Yue adalah nada sumbang yang tak bisa menodai simfoni obsesinya.
Wanita ini, satu-satunya yang telah membangunkan sisi tergelap dalam dirinya, bukan sekadar keinginan untuk memiliki, tapi untuk mengikat, mencengkram, dan menanamkan namanya dalam setiap napas dan luka.
Raymon tak pernah mencintai dengan cara dunia biasa.Dia tidak datang membawa bunga dan janji. Dia datang seperti badai, mengambil alih, dan menolak pergi.
"Jangan buat aku marah sayang, dan kau akan aman." bisiknya, suaranya berat dan dekat.
Yue masih tak menoleh, tapi tubuhnya menegang.
"Kalau kau ingin bebas." lanjut Raymon, satu tangannya naik, membelai sisi wajah Yue.
"Kau harus tahu satu hal…"
Dia menghentikan kata-katanya sesaat, memberi jeda, membiarkan ketegangan menggantung seperti benang halus di antara mereka.
"Sekarang untukmu, bebas itu mahal. Terlalu mahal."
Tubuh Yue masih diam, tapi dalam kepalanya, jeruji-jeruji tak terlihat mulai terasa semakin nyata.
Pernikahan ini bukan pertemuan dua keluarga. Ini perang yang tak pernah dia siapkan, dan Raymon dia bukan suami. Dia adalah penjara yang tampak seperti istana.
Dan Yue mulai sadar, jika ingin keluar dia harus menemukan cara, sebelum Raymon menutup semua pintu.
Selamanya.
Esok paginya, cahaya matahari mengintip malu-malu lewat celah tirai jendela, menyapu wajah Yue yang sudah duduk di depan meja rias.
Rambutnya dikuncir rendah, riasan tipis menutupi bekas lelah di bawah matanya.
Dia mengenakan kemeja putih dan rok pensil hitam, seragam formalnya sebagai asisten pribadi CEO.
Dia sedang merapikan tas kerjanya ketika terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.
Raymon keluar dengan rambut basah, hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya.
Dia melangkah santai, seolah dunia belum benar-benar dimulai sampai dia memutuskan demikian. Matanya langsung menangkap istrinya yang hendak berdiri.
Dengan cepat, dia duduk di sisi ranjang dan sebelum Yue sempat menjauh, tangan kekarnya sudah menariknya ke pangkuan tanpa usaha keras, seperti menarik buku dari rak favoritnya.
"Mau ke mana, hm?" tanyanya, suaranya rendah dan malas, penuh nada manja yang tak benar-benar manis.
Yue menyipitkan matanya, sinis.
"Sudah tahu aku mau kerja malah bertanya, tcih!" gumamnya ketus.
Raymon terkekeh kecil, tangannya melingkar di pinggangnya, menahan agar istrinya tak segera kabur.
"Kerja? Rasanya kau lebih butuh sarapan atau mungkin, sesuatu yang lain dulu?"
"Jangan mulai ya!" teriak Yue dengan wajah memerah.
"Aku bukan mainan yang bisa kau tekan tombol on-off nya sesuka hati." lanjutnya.
Raymon hanya tersenyum, tapi senyum itu mengandung dua hal. Kekaguman dan kepemilikan.
"Justru karena kau bukan mainan, aku jadi suka menyalakanmu terus."
Yue mendengus, berusaha berdiri, tapi Raymon menahan.
"Kenapa harus bekerja hm? Semua juga bisa kulakukan tanpamu. Aku cuma ingin kau di dekatku gampang, kan?" katanya, mencium bahu Yue dengan seenaknya.
"Ck, menyingkir sana. Kau basah." Yue mendesis, mendorong wajah Raymon dengan telapak tangannya, jijik setengah kesal.
Air dari rambutnya masih menetes, membuat kemeja bersih Yue ikut basah di bagian bahu.
Pagi-pagi, belum juga ngopi, pria ini sudah mulai dengan drama posesifnya.
Tapi yang lebih menyebalkan lagi, jantung Yue justru berdebar.
Sial! Bukannya menurut, Raymon justru menyeringai.
Tangannya mencengkeram pinggang Yue lebih erat, dan sebelum Yue bisa sempat kabur, bibir pria itu sudah menempel di bibirnya, mencium, mendesak, mencuri napas.
Lembut, tapi tidak memberi pilihan.
Yue terkesiap. Sekejap tubuhnya menegang, lalu dia menampar pelan dada Raymon.
"Raymon!" serunya terputus karena ciuman itu belum dilepas.
Ciuman yang seharusnya bisa dia tolak. Yang seharusnya mudah dia tolak.
Tapi pria itu selalu tahu bagaimana membuat tubuhnya bingung, bahkan ketika pikirannya berteriak ‘tidak’.
Saat Raymon akhirnya melepaskan ciumannya, matanya masih menatap Yue dengan tatapan yang begitu yakin. Penuh kepemilikan.
"Satu-satunya menu sarapan yang lebih enak." gumamnya dengan napas yang masih dekat di bibir Yue.
Yue menatapnya tajam, tapi dia tahu tatapannya sudah kalah dalam satu detik pertama.
"Berhenti mengalihkan fokusku, bukankah kita ada meeting jam sembilan." kata Yue
"Meeting bisa diundur." Raymon menyentuh dagunya, mengangkatnya sedikit. "Tapi aku?"
Senyumnya berubah tipis dan berbahaya.
"Kalau aku sedang ingin kau, itu tidak bisa diundur, sayang." dan sialnya, meski otaknya menolak, tubuhnya tidak pernah benar-benar bisa melawan pria ini.
Lalu pagi itu pun kehangatan kembali hadir di dalam kamar itu, bagaimana Raymon menyentuh istrinya dan bagaimana Yue hanya bisa pasrah di bawah kendalinya.
Tbc