Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Itu Tak Lagi Sama
Lestari berdiri di depan gerbang rumah yang dulu pernah menjadi saksi tawa dan harapan. Rumah besar dua lantai itu kini tampak asing, dingin, bahkan menyeramkan. Dindingnya yang dulu putih bersih, kini tampak kekuningan seperti bernoda. Cat mengelupas di beberapa sisi, dan jendela-jendela besar tertutup rapat seperti mata yang enggan melihat dunia.
Jam di ponselnya menunjukkan pukul 00.07.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati. Setiap langkahnya terasa berat. Di dalam tas kecil yang diselempangkan ke bahu, ia membawa mushaf, garam laut yang ditaburi doa, minyak zaitun, dan kain sajadah yang selalu ia gunakan setiap malam.
Pagar tiba-tiba terbuka, padahal dia tidak menyentuh tombol apapun. Hawa dingin menyambutnya begitu melangkah masuk. Hidungnya langsung menangkap aroma melati bercampur anyir, aroma kematian yang pernah ia cium ketika ibunya wafat bertahun-tahun lalu.
Pintu depan rumah perlahan terbuka sendiri. Lestari berdiri tegak. Langkahnya mantap, tapi lututnya bergetar.
"Bismillah…" bisiknya pelan, sebelum masuk.
Ruang tamu tampak berbeda dari yang ia ingat. Lampu gantung besar padam, diganti cahaya temaram dari lilin-lilin di sudut ruangan. Karpet Persia digulung, digantikan oleh kain hitam polos yang terbentang dari ujung ke ujung ruangan. Di tengahnya, berdiri sebuah meja kayu tua dengan mangkuk besar berisi air merah.
Melati duduk di belakang meja itu, mengenakan kebaya berwarna merah darah. Wajahnya putih pucat, matanya tajam menyorot Lestari seolah ingin mencabik habis. Sedangkan Arman, dia berdiri di samping Melati dengan tatapan kosong. Seperti seonggok jasad tak bernyawa.
"Ah, ternyata kamu datang juga," ucapnya dengan suara yang terlalu manis untuk situasi itu. "Berani juga, mbak Lestari datang kemari. Atau mungkin terlalu nekat karena sudah tidak memiliki pilihan lain?"
Lestari tidak menjawab. Ia berdiri tegak, menatap langsung ke mata Melati. Ada sorot kebencian dan juga dendam kepada Melati.
"Aku datang bukan untuk bertarung denganmu," katanya tenang. "Tapi untuk meminta sesuatu. Hentikan ini semua! Aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu membenciku. Tapi anak-anakku, mereka tak bersalah sama sekali dalam hal ini. Maka lepaskanlah mereka."
Melati tertawa kecil. Tawa perempuan muda yang terlalu puas melihat penderitaan orang lain yang tidak memiliki belas kasih sama sekali.
"Tidak bersalah? Mereka memang tidak bersalah, tapi mereka adalah sisa dari kehidupan lamanya. Sisa dari cintanya padamu. Aku ingin segalanya bersih. Aku ingin Arman seutuhnya. Tak ada bayang-bayang kalian lagi di hidupnya. "
Lestari menahan napas, seolah tak habis pikir dengan apa yang yang ada di benak Melati. "Cinta yang lahir dari guna-guna, Melati, itu bukan cinta tapi obsesi. Itu adalah belenggu. Dan kau memperbudaknya dengan menganggap itu adalah cinta."
"Tapi dia bahagia," jawab Melati cepat. " Lihatlah Dia lebih bahagia sekarang." tunjuk Melati pada Arman yang hanya diam.
"Apa? Seperti itu kau anggap dia bahagia? Ingat ini Melati, kamu hanya memiliki jasadnya, tapi kamu tidak memiliki hatinya. Hatinya tetap milik kami, kamu hanya pelampiasan nya saat dia kesepian dan kamu hanyalah seorang pencuri." ucap Lestari dengan penuh keberanian dan tidak takut.
"DIAM!!! Arman hanya akan menjadi milikku, milikku!" Melati terlihat marah mendengar ucapan Lestari.
Lestari geleng-geleng kepala melihat keputus asaan dalam diri Melati, dia lalu menarik nafas dalam-dalam. Ia membuka tasnya dan meletakkan mushaf di atas meja di depannya. Melati mendelik melihat itu.
"Aku tidak datang dengan ilmu hitam. Aku datang dengan doa kekuatan Allah. Kau bisa mengusirku dari rumah ini. Tapi kau tidak akan pernah bisa menghapus keberadaan kami dalam hidup Arman. Kau tidak akan pernah benar-benar menjadi satu-satunya, karena kau tidak pernah jadi pilihan, kau adalah paksaan. " Lestari sungguh mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Dia mau menikahi dirimu hanya karena guna-guna yang kamu kirimkan pada nya. Tanpa guna-guna dan ilmu hitam yang kamu kirimkan, kau bukan siapa-siapa. " imbuhnya.
Wajah Melati berubah dingin. Senyumannya lenyap, digantikan kemarahan yang perlahan naik ke permukaan. Ia berdiri, melangkah perlahan, gaunnya menggesek lantai, menciptakan suara seret yang membuat bulu kuduk meremang.
"Kalau kau ingin mempertahankan mereka," bisiknya, "maka bersiaplah kehilangan dirimu sendiri."
Seketika, lampu lilin padam satu per satu. Ruangan menjadi gelap. Tapi Lestari tetap berdiri, merapal ayat Kursi dalam hati, lalu dengan lantang mengucap:
"Hasbiyallahu laa ilaaha illa huwa…"
Tiba-tiba, angin kencang menerpa ruangan. Tirai beterbangan, mangkuk di dalam air merah diatas lantai bergejolak hingga tumpah ke lantai. Dari dinding muncul bayangan hitam menjulang tinggi, dengan mata merah membara. Sosok tinggi besar, seperti jelmaan iblis itu menatapnya dengan tajam.
Melati memekik, tapi bukan ketakutan. Ia merentangkan tangan, seperti sedang menyambut roh itu. "Kau lihat, Lestari? Aku tak sendiri. Aku punya kekuatan. Kau… hanya perempuan lemah berselimut doa, tidak akan bisa mengalahkan ku. hahahaha, " tawa Melati begitu nyaring hingga membuat bulu kuduk merinding.
Tapi Lestari tidak mundur. Ia meraih garam dari tasnya, lalu menaburkannya membentuk lingkaran dengan dia berada di dalamnya dan lalu menaburkannya ke lantai sambil membaca ayat suci. Ketika butiran garam menyentuh lantai, suara raungan terdengar dari bawah tanah, seperti jeritan puluhan jiwa yang terpenjara.
"Pergilah!Pergilah dari sini, kalian hanya makhluk tak diundang," teriak Lestari. "Rumah ini dulu dipenuhi zikir. Kau tidak berhak mencemarinya dengan perbuatan kotormu itu. "
Melati menjerit. Tubuhnya bergetar, tapi sosok bayangan itu malah membungkus dirinya dan menjadi satu dengan tubuhnya. Matanya kini lebih merah dari sebelumnya, dan kulitnya tampak menghitam perlahan.
"Apa Kamu mau perang, Lestari? Maka mari kita mulai sekarang."
Seketika, cermin besar di dinding meledak, pecah berkeping-keping. Salah satu pecahan menancap di lengan Lestari. Ia jatuh terduduk, darah mengalir, tapi matanya tetap tajam, menatap Melati yang kini sudah sepenuhnya dirasuki.
Melati tertawa seperti orang kerasukan. Tangan kanannya membentuk mudra aneh, dan langit-langit rumah mulai bergetar. Lantai terasa seolah hendak retak, dan suara anak-anak… suara Dimas… terdengar memanggil dari kejauhan.
"Bunda… Bunda tolong… Bunda di mana…?"
Lestari mencoba bangkit, tapi kakinya lunglai. Ia menatap mushaf yang tergeletak di lantai, dan hanya mampu menjangkau dengan ujung jarinya yang berlumur darah.
Melati menyeringai puas melihat Lestari yang tidak berdaya.
"Mas, Mas Arman, sadar mas, bantu aku, tolong aku." Lestari mencoba menyadarkan Arman yang hanya diam menatapnya dengan tatapan kosong.
"Hahaha, kamu mencoba membangunkannya, dia tidak akan pernah sadar. Dia sudah menjadi milikku." ucap Melati meremehkan Lestari sekaligus marah, karena Lestari meminta tolong kepada Arman.