Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 Remake: Sertifikat
Cahaya matahari menyelinap masuk lewat sela-sela tirai jendela, menyapu lembut kamar kecil itu dengan hangat pagi yang tak terlalu cerah. Mendung tipis menggantung di langit desa Zeen, namun suara kehidupan mulai menggema dari jalanan luar—langkah kaki, roda pedati, dan teriakan para pedagang yang membuka lapak mereka.
Aria mengerjap perlahan. Matanya masih berat, tubuhnya terasa sangat ringan dan hangat. Ia melirik ke sisi tempat tidur. Kosong. Tidak ada Sho.
“...Sho?” gumamnya pelan, mengangkat tubuh dengan malas dan mengucek matanya. Ia baru sadar betapa nyenyaknya ia tidur semalam. Bahkan, terlalu nyenyak hingga tak merasakan apapun.
Setelah mengenakan jubahnya dan mengikat rambut pendeknya yang agak berantakan, Aria keluar kamar. Di ujung lorong penginapan, di dekat kursi tunggu dari kayu ek, ia menemukan sosok yang ia cari.
Sho sedang duduk diam. Di tangannya ada dua roti sederhana yang dibungkus kertas minyak.
Aria mendekat pelan.
Tanpa sepatah kata, Sho menoleh dan langsung menyodorkan roti ke arah Aria, masih dengan ekspresi datarnya.
“...Terima kasih.” Aria menerimanya, sedikit terkejut.
Mereka berdua duduk dalam hening. Tak ada yang berbicara. Tak ada yang menyinggung tentang kejadian semalam. Tapi entah mengapa, suasana canggung itu... Tidak terlalu buruk. Hanya sedikit membingungkan.
Setelah beberapa gigitan dan menghabiskan hampir separuh roti, Sho akhirnya angkat bicara.
“Kita harus ke Guild. Sandels sudah menunggu.”
“Sekarang?” Aria mengerutkan alisnya. “Beri aku waktu sebentar, aku bahkan belum sempat cuci muka.”
Sho berdiri, menepuk celananya. “Cepatlah. Dia bilang ini penting.”
“Kau bisa mencuci wajahmu nanti.”
---
Beberapa waktu kemudian, mereka berdua tiba di Guild cabang Zeen. Bangunan itu tidak terlalu besar, tetapi memiliki dua lantai dan papan nama besar tergantung di atas pintu. Saat mereka masuk, suasana Guild sedikit lebih tenang dibanding kemarin. Aroma alkohol masih tercium, namun lebih terkendali.
Sandels sudah berdiri di dekat meja resepsionis, menyandarkan tangan ke pinggangnya yang lebar.
“Kalian terlambat.” katanya sambil menatap Sho dan Aria seperti seorang guru yang menunggu muridnya yang telat.
“Maaf, ini gara-gara Aria bangun kesiangan,” jawab Sho singkat.
“Hah!? Mengapa kau menyalahkan ku!”
Sandels menunjuk ke meja resepsionis. “Diam. Langsung saja. Sertifikat kalian sudah selesai.”
Resepsionis wanita dengan rambut keriting merah muda memberikan dua gulungan kecil yang diikat dengan pita biru. Sho dan Aria menerimanya dengan hati-hati.
Saat mereka membuka gulungan itu, sebuah lembaran logam tipis tampak tersemat di dalamnya—terukir simbol dewa di bagian atas, nama lengkap mereka, dan stempel resmi dari asosiasi High Human.
“Ini...” Aria memandang sertifikat itu dengan tak percaya.
Sandels menyilangkan tangan. “Itu adalah bukti bahwa kalian secara resmi diakui sebagai High Human. Hati-hati dengan dokumen itu. Sertifikat itu bisa membuka fasilitas medis, pelatihan, hingga transportasi militer tertentu. Tapi jangan berani-berani menyalahgunakannya.”
Sho menatap Sandels. “Kenapa kau begitu mudah percaya?”
“Aku tidak percaya begitu saja.” gumam Sandels. “Tapi Kean mengakuimu. Dan itu sudah cukup.”
Sho dan Aria saling berpandangan singkat. Nama Kean muncul lagi. Sosok yang sama yang muncul saat bencana di Rivera.
Setelah sejenak hening, Sandels menunjuk ke arah pintu. “Kau bilang tujuan kalian ke Vixen, bukan?”
Sho mengangguk. “Benar.”
Sandels menyeringai tipis. “Kalau begitu, anggap pertemuan kita cukup sampai di sini. Kalian bebas menggunakan sertifikat itu untuk perjalanan ke ibukota. Tapi kuperingatkan... Vixen bukan tempat yang ramah untuk pemula.”
“Terima kasih untuk bantuannya,” ucap Aria.
Sho menambahkan, “Kami akan kembali, suatu saat nanti.”
Sandels hanya mengangguk. “Sampai jumpa kembali.”
---
Sho dan Aria melangkah keluar dari Guild dengan langkah ringan. Matahari telah naik tinggi, dan angin musim semi menyentuh wajah mereka dengan kelembutan yang khas dari desa Zeen. Jalanan mulai ramai, para petani membawa hasil panen, para penjual membuka tenda-tenda mereka, dan anak-anak berlarian sambil tertawa.
Aria menarik napas dalam-dalam dan menatap ke arah Sho. “Sebelum kita berangkat ke Vixen... Bagaimana kalau kita berkeliling sebentar?”
Sho menoleh. “Kita bisa menyewa kereta kuda sebelum siang.”
“Masih ada waktu. Lagipula, kita tidak tahu kapan bisa kembali ke sini.” Aria tersenyum kecil. “Ayolah, sebentar saja.”
Sho terdiam sejenak... lalu mengangguk. “Baik.”
Mereka mulai berjalan menyusuri jalan utama desa Zeen. Aria berjalan di depan, sesekali menoleh, sesekali menunjuk bangunan atau gerobak yang menarik perhatiannya. Ia tampak... Berbeda. Lebih ceria. Senyumnya lebih sering muncul, dan matanya bersinar penuh antusiasme seperti gadis desa yang tak terbebani status sebagai High Human.
Bahkan, sisi tomboy-nya yang biasa terasa... Memudar.
Ia berjalan sambil memainkan ujung rambutnya, sesekali tertawa kecil saat melihat penjual menjajakan boneka wol berbentuk domba. Sho hanya mengamati dari samping, mencoba menyamakan langkah.
Namun dalam batinnya...
“Dia manis sekali, bukan?”
Suara itu muncul dalam kepalanya. Persephone.
“Kalau aku jadi kau, mungkin sudah kucium pipi dia dari tadi.”
Sho langsung menoleh ke arah Aria dengan kaget, wajahnya memanas seketika. Napasnya tertahan.
Aria menoleh tanpa menyadari apa-apa. “Hmm? Kenapa wajahmu merah?”
Sho cepat-cepat menunduk. “Tidak, hanya... Panas.”
Persephone tertawa kecil di dalam kesadarannya.
“Kau terlalu polos, Sho. Tapi justru itu yang membuatmu menarik.”
Aria kembali melangkah, kali ini lebih pelan.
Namun giliran suara lain yang masuk ke dalam kesadaran Aria.
“Hoo... jadi ini yang namanya kencan, ya?“
Apollo bersuara santai, disertai nada menggoda.
“Pemandangan indah, cuaca cerah, dan pria pendiam yang berjalan di sampingmu. Kalian bahkan tidak sadar sedang berkencan.”
Langkah Aria terhenti. Matanya melebar sedikit. Wajahnya... langsung memerah.
“Eh?!” Aria spontan menatap ke arah Sho. “K-kita ini bukan...”
Sho memalingkan wajah, tampak sama gugupnya. “Aku tidak bilang apa-apa.”
Beberapa detik suasana menjadi beku, seperti bumi berhenti berputar hanya untuk menyaksikan dua remaja canggung menelan ucapan dewa-dewi mereka.
Lalu... Aria pura-pura batuk dan melanjutkan jalan.
“Lupakan saja,” gumamnya cepat.
Sho mengikuti di belakang, sambil mencuri pandang ke arah Aria yang pipinya masih merah samar.
Namun kecanggungan itu tidak berlangsung lama. Sho tiba-tiba menghentikan langkahnya dan matanya berbinar.
Di seberang jalan kecil, berdiri sebuah toko kecil yang sederhana. Plakat kayunya tertulis “Bunga Musim Abadi”. Di balik kaca etalasenya, tampak berbagai jenis bunga berwarna-warni menghiasi rak.
Sho melangkah lebih cepat, seperti anak kecil yang baru melihat mainan kesukaannya.
“Sho?” Aria menyusulnya.
Sho berdiri di depan kaca toko, matanya memandangi buket-buket bunga yang tertata rapi. Ada anyelir, bunga matahari, mawar merah muda, hingga rangkaian bunga liar khas pedesaan.
“Aku ingin masuk,” ucapnya pelan.
Aria menatap wajah Sho dari samping. Itu pertama kalinya sejak pagi Aria melihat mata Sho bersinar seperti itu. Ada ketenangan. Ada kenangan. Dan mungkin... kerinduan.
“Kalau begitu... ayo.”
Mereka membuka pintu toko bunga itu bersama-sama, dan suara lonceng kecil di atas pintu pun berdenting lembut.
Dengan lembut, pintu toko bunga itu tertutup di belakang mereka, menyisakan denting lonceng kecil yang perlahan menghilang ditelan kesunyian.
Aroma wangi bunga langsung menyambut keduanya. Sho berdiri terpaku sejenak, membiarkan dirinya menyerap setiap warna dan bentuk kelopak yang tertata rapi di rak-rak kayu tua. Mata rubi miliknya memantulkan cahaya matahari yang menembus jendela kaca, sementara Aria berdiri di sisinya, diam tanpa berkata apa-apa, hanya mengamati ekspresi tenang dari teman seperjalanannya itu.
Tak ada percakapan, tak ada godaan dari dewa-dewi dalam kepala mereka untuk sesaat. Hanya suara angin dari sela jendela dan detak pelan jantung yang tak dapat mereka sembunyikan.
Momen itu begitu sederhana… namun bermakna.
Aria melirik ke arah Sho, lalu ikut tersenyum kecil, seolah turut merasakan apa yang Sho rasakan—kedamaian, meski hanya sebentar.
Dan dari balik kesadaran mereka, Persephone tersenyum kecil.
“Nikmati kedamaian kecil ini, Sho... Karena dunia tak akan selalu memberi waktu untuk berhenti dan bernapas.”
Apollo pun ikut bersuara.
“Sungguh kencan yang hangat. Aku bahkan bisa tertidur kapan saja, Aria.”
Aria langsung mengerutkan alisnya, Sho terkekeh pelan.
Namun mereka tidak menanggapi. Tidak kali ini.
Karena hari ini bukan tentang dewa-dewi.
Bukan tentang pertarungan.
Bukan tentang takdir.
Hari ini... Hanya tentang dua manusia.
Dua hati yang mulai mengenal satu sama lain.
Di tengah hamparan bunga.
Dan tanpa mereka sadari, matahari terus naik perlahan di atas desa Zeen, menandai akhir dari satu babak, dan dimulainya langkah menuju yang berikutnya.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/