Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
Dewi mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena kemarahan dan ketakutan yang saling berebut ruang di dalam dada. Tapi ia tahu, setiap kata yang keluar dari mulutnya bisa berarti nyawa. Maka ia hanya mengangguk pelan. sebuah tanda tunduk, sebuah simbol kepasrahan.
Sejak malam itu, Dewi mulai mengikuti semua kemauan Rafael. Ia tak lagi menolak ketika Rafael memintanya duduk di samping saat rapat penting bersama para anak buahnya. Ia mengenakan pakaian yang Rafael pilihkan, berbicara hanya saat diminta, dan tersenyum meski hatinya remuk.
Hari-harinya berubah. Ia kini selalu berada dalam jarak pandang Rafael. seperti bayangan, seperti milik pribadi yang tidak boleh jauh. Ke mana Rafael pergi, Dewi akan dibawa serta. Ke ruang bawah tanah tempat ia mengatur pengiriman ilegal, ke dermaga rahasia saat pertemuan malam berlangsung, bahkan ke ruangan kaca di atap gedung tempat Rafael biasa menyendiri menatap kota yang ia kuasai.
“Kenapa kau membawaku ke semua tempat ini?” tanya Dewi pelan suatu malam, saat mereka duduk di dalam mobil hitam panjang yang melaju senyap di jalan tol.
Rafael menatap lurus ke depan.
“Karena kau milikku. Dan semua yang kumiliki, kau harus tahu.”
“Tapi kenapa sekarang? Setelah kau memaksaku menikah, menyakitiku, mengancam orang yang dekat dengan ku...”
Rafael menghela napas.
“Karena ini caraku memastikan kau tidak bisa lari. Semakin kau melihat, semakin dalam kau terikat. Dan saat waktunya tiba, kau tidak akan punya tempat untuk kembali.”
Dewi memalingkan wajah ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang redup. Ia merasa seperti burung yang sayapnya telah dipotong, dan Rafael adalah sangkar berlapis emas yang menahannya tetap diam dan hidup.
Namun, di balik sikap patuh itu, ada sesuatu yang lain tumbuh dalam diam. Bukan cinta, bukan juga penerimaan. Tapi strategi. Dewi menyadari satu hal: ia bisa memanfaatkan situasi ini, untuk membebaskan Matteo dan Clara.
...
Malam merambat pelan, menelusup ke celah jendela kamar luas yang redup oleh cahaya temaram lampu tidur. Dengkur halus Rafael terdengar teratur di sampingnya. sebuah bukti bahwa ia benar-benar terlelap. Dewi memandangi wajah lelaki itu beberapa saat. Wajah yang tampan, dingin, dan kejam. Wajah yang telah menghancurkan hidupnya dan menodai hatinya dengan rasa takut dan dendam.
Dengan perlahan, ia menarik selimut yang menutupi tubuhnya, berusaha sehalus mungkin agar tak mengusik ketenangan tidur Rafael. Jantungnya berdegup kencang, nyaris terdengar di telinganya sendiri. Ia bangkit dengan hati-hati, kaki telanjangnya menyentuh lantai marmer yang dingin. Tubuhnya menegang, menunggu reaksi. Tapi tak ada. Rafael tetap diam, tak bergerak.
Dewi berjalan dengan berjinjit menuju sofa di sudut ruangan. Di sanalah jas Rafael tergeletak. seperti biasa. Tangannya yang dingin dan sedikit gemetar meraih kain hitam itu, menyusuri saku-sakunya dengan perlahan, seolah sedang menyentuh ular berbisa.
Tangannya berhenti. Ia menemukan yang dicarinya.
Sebuah pistol kecil, dingin, berat. Nafasnya tercekat, tapi ia menarik benda itu keluar perlahan, lalu menyelipkannya ke dalam kantong baju tidurnya. Ini bukan untuk menyerang. Ini hanya untuk berjaga-jaga. jika rencana pelariannya nanti gagal. Jika Rafael tahu. Jika ada yang menghadang.
Dewi menatap ke arah ranjang. Rafael masih tidur.
Ia kembali mendekat ke meja kerja kecil di sudut kamar, membuka laci paling bawah, dan menarik keluar sebuah peta pelabuhan yang sempat dilihatnya saat Rafael sibuk dengan urusan pengiriman. Di sana, ia menandai satu titik: jalur air belakang yang nyaris tak terjaga, hanya dipakai sesekali oleh perahu kecil. Ia sudah menghafal waktu pergantian jaga. jam tiga dini hari, hanya satu orang yang patroli.
Dengan suara berbisik nyaris tak terdengar, ia menggumam pada dirinya sendiri,
“Matteo… Clara… bersabarlah sedikit lagi. Aku akan membawa kalian keluar dari neraka ini.”
Tiba-tiba, suara berat terdengar dari balik ranjang.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rencanakan?”
Tubuh Dewi menegang. Ia menoleh pelan. Tapi Rafael masih dalam posisi yang sama. Tidur.
Mimpi. Ia hanya sedang mengigau.
Dewi menelan ludah, lalu bergerak cepat. Ia memasukkan peta ke balik bantal kursi, lalu kembali ke ranjang dengan gerakan senyap. Ia menyelipkan tubuhnya di bawah selimut, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Pistol masih tersimpan di balik bajunya.
Rafael mendesah pelan dan bergumam dalam tidur, “Kau milikku, Dewi. Tak bisa lari... tak akan pernah bisa.”
Dewi menatap langit-langit kamar.
“Bukan kau yang akan menentukan akhir cerita ini,” bisiknya dalam hati.
“Aku akan merebut hidupku kembali, meski harus melalui darah dan peluru.”
...
Malam itu lebih gelap dari biasanya. Langit mendung menggantung rendah, seolah ikut menahan napas. Di lorong bawah tanah yang pengap dan lembap, langkah Dewi terdengar pelan tapi pasti. Ia menyelinap di antara bayangan, hanya berbekal lampu kecil dan ingatan tajam tentang setiap tikungan yang harus diambil.
Akhirnya ia tiba di ruangan kecil, sempit, dengan terali besi. Matteo dan Clara, duduk bersandar di dinding yang dingin, mengangkat kepala mereka dengan terkejut saat pintu terbuka.
“Dewi?” bisik Clara nyaris tak percaya.
“Cepat, kita harus pergi sekarang,” ujar Dewi sambil membuka kunci borgol mereka satu per satu dengan kunci yang ia curi dari Rafael beberapa malam sebelumnya.
Matteo berdiri, masih bingung.
“Tapi bagaimana? Ini jebakan?”
“Tidak. Aku sudah siapkan jalurnya. Jalur belakang, dekat pelabuhan. Tak ada penjaga di jam segini. Kalian harus ikut aku sekarang!”
Tanpa banyak tanya, mereka bertiga bergerak cepat menuruni lorong sempit. Nafas mereka memburu, napas ketakutan bercampur harapan. Ketika akhirnya mereka mencapai pintu besi terakhir dan berhasil mendorongnya terbuka, angin malam menyambut mereka. bebas.
Namun langkah mereka terhenti ketika suara berat terdengar dari arah belakang, suara yang menusuk seperti es ke dalam tulang.
“Apa yang kau lakukan?”
Suara itu dingin. Tegas. Tanpa emosi. Rafael.
Dewi membeku. Begitu juga Matteo dan Clara. Di bawah cahaya redup lampu jalan, bayangan Rafael muncul dari balik kegelapan, diikuti oleh dua anak buahnya yang bersenjata lengkap.
Clara memegang lengan Dewi, gemetar. Matteo menatap sekeliling, mencoba mencari celah untuk kabur, tapi tak ada. Semua jalan sudah tertutup.
Dewi menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menarik pistol dari balik baju tidurnya. Ia mengarahkannya bukan ke Rafael, tapi ke dirinya sendiri. tepat ke pelipis.
“Lari sekarang!” katanya lantang pada Matteo dan Clara. “Lari!”
“Kau gila?” bisik Matteo.
“Kami tidak akan meninggalkanmu...”
“LARI!” bentak Dewi dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya.
“Kalau kalian tidak lari sekarang, semuanya sia-sia. Aku akan baik-baik saja.”
Clara menangis. “Dewi, tolong ikut...”
“PERGI!” teriaknya lagi, tangan tetap mantap memegang pistol di kepala, meski tubuhnya gemetar hebat.
Rafael melangkah pelan ke depan, sorot matanya tajam seperti silet. Ia menatap Dewi, lalu beralih menatap Matteo dan Clara yang mulai berlari dengan tergopoh keluar dari gang.
“Kalian tidak akan jauh,” ucap Rafael, pelan tapi penuh ancaman.
Anak buahnya mengangkat senjata, bersiap mengejar.
“JANGAN!” pekik Dewi.
“Satu peluru ini cukup untuk menghentikan semua permainanmu.”
Ia menarik pelatuk sedikit, hanya satu tekanan lagi.
Rafael mendengus, lalu menatap anak buahnya dengan dingin.
“Biarkan mereka pergi. Untuk sementara waktu,” katanya akhirnya.
“Aku ingin melihat seberapa jauh mereka bisa lari sebelum dunia ini menelan mereka kembali.”
Anak buahnya menurunkan senjata.
Dewi tetap berdiri dengan pistol di kepala, menatap Rafael tanpa berkedip meski jiwanya gemetar.
“Kau akan menyesal telah bermain-main dengan hidupku,” bisik Dewi.
Rafael menatap Dewi tanpa ekspresi. Pistol masih tergenggam erat di tangan Dewi, ujungnya masih menempel pada pelipisnya. Napas Dewi berat, matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya tak gentar.
Tiba-tiba, tangan besar Rafael menyambar pistol itu dengan cepat dan kuat, membuat Dewi nyaris kehilangan keseimbangan.
“Kau tidak bisa sembarangan bermain-main dengan benda seperti ini,” ucap Rafael dengan suara datar namun dingin.
Sebelum Dewi sempat bereaksi, Rafael mengarahkan pistol itu ke arah kaki salah satu anak buahnya. lelaki tinggi berbadan kekar yang tadi bersiap mengejar Matteo dan Clara.
Tanpa peringatan,
DOR!
peluru melesat.
Lelaki itu menjerit dan ambruk, tangannya mencengkeram betisnya yang kini berlumuran darah. Darah menggenang cepat di bawah kakinya.
Dewi menjerit kecil dan terlonjak ke belakang. Matanya melebar tak percaya, tubuhnya gemetar hebat. Ia tahu Rafael kejam. tapi tidak menyangka ia akan menembak anak buahnya sendiri.
“Apa yang kau... Kenapa kau...?” Dewi tergagap, tubuhnya masih berguncang karena syok.
Rafael menoleh perlahan ke arahnya, lalu menghampiri dengan langkah tenang seperti biasa. Ia mencengkeram dagu Dewi dengan satu tangan kuat dan menarik wajahnya agar menatap lurus ke arahnya.
“Lihat baik-baik, Dewi,” desisnya lirih namun penuh tekanan.
“Setiap perbuatanmu akan selalu berimbas pada orang lain.”
“Jadi... jadi kau menembaknya karena aku?” suara Dewi gemetar, hampir tak terdengar.
“Bukan hanya dia,” Rafael melanjutkan sambil mempererat cengkeramannya di dagu Dewi. “Kalau aku mau, aku bisa habisi semua orang yang pernah bersentuhan denganmu. Satu per satu. Tapi aku tidak melakukan itu. Belum saatnya.”
“Rafael...” bisik Dewi, nyaris menangis. “Lepaskan aku... cukup...”
Rafael tersenyum tipis, dingin.
“Kau tidak mengerti. Aku tidak ingin kau lepas. Aku hanya ingin kau sadar… bahwa kau tidak punya kuasa. Bahkan dengan pistol sekalipun.”