Karena cinta kah seseorang akan memasuki gerbang pernikahan? Ah, itu hanya sebuah dongeng yang indah untuk diriku yang telah memendam rasa cinta padamu. Ketulusan ku untuk menikahi mu telah engkau balas dengan sebuah pengkhianatan.
Aku yang telah lama mengenalmu, melindungi mu, menjagamu dengan ketulusanku harus menerima kenyataan pahit ini.
Kamu yang lama aku sayangi telah menjadikan ketulusanku untuk menutupi sebuah aib yang tak mampu aku terima. Dan mengapa aku baru tahu setelah kata SAH di hadapan penghulu.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dada ini terasa dihantam beban yang sangat berat. Mengapa engkau begitu tega.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
"Terima kasih, Kak."
Namun mengapa dirimu harus pergi di saat aku telah memaafkan mu. Dan engkau meninggalkanku dengan seorang bayi mungil nan cantik, Ayudia Wardhana.
Apa yang mesti ku perbuat, aku bukan manusia sempurna....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Amarah Intan
“Bukankah itu seleramu…” goda Mbok Sari.
“Maunya gitu. Tapi justru aku tersingkirkan, kalah dengan tuan Dika.”
Tawa Mbok Sari seketika meledak. Bagaimana mungkin Ali berfikir untuk bersaing dengan Dika. Jelas-jelas tak selevel lah, meski dia perjaka dan Dika duda beranak satu, tapi kan tajir melintir.
Tawa Mbok Sari terhenti seketika, manakala dia mendengar Dika berbicara. Kapan munculnya, ia kok tak mendengar langkahnya. Dan mana Intan? Mengapa tak bersama Dika. Jangan-jangan Intan tak jadi bertemu… jika itu yang terjadi, beruntung sekali Intan, tak jadi dipecat sekarang.
“Mbok, ayo ikut aku. Aku mau ajak Ayu jalan-jalan,”
“Baik, Den,” jawab Mbok Dika. Dia langsung mengambil Ayundia dari strollernya dan menggendongnya.
Mbok Sari jelas tak akan membuang kesempatan untuk memeluknya jika bertemu baby Ayundia. Ia teramat sayang pada Lea, apalagi putrinya yang sudah ditinggalkan pergi sejak pertama menatap dunia.
“Mba… ,“ ucap Ayundia berulang-ulang, membuat Mbok Sari tertawa senang.
Dia pun mengiringi langkah Dika yang pergi dengan membawa stroller yang sudah dilipat. Meninggalkan Ali yang kini masih pusing tujuh keliling dengan tingkah Intan yang sampai kini masih coba-coba menarik perhatian Tuannya.
“Kemana anak ini?” bisiknya lirih.
Ia lega saat tahu orang yang dicarinya keluar dari pintu belakang. Dia belum bertemu dengan tuan Dika. Dia pun menghampirinya dengan wajah yang ditekuk.
“Ah, Aku ketinggalan. Tuan sudah pergi dengan Mbok Sari.”
“Syukurlah kalau begitu. Jangan kamu temui tuan Dika dengan baju seperti itu. Kalau kamu memang sayang sama Ayu, bolehlah kamu berusaha. Tapi lakukan dengan elegan, jangan merendahkan harga dirimu seperti itu. Kamu jangan sekali-kali kamu menggoda Tuan dengan cara ini, kalau tak ingin berakhir seperti pendahulu-pendahulumu. Pergi tanpa pesangon.”
“Kamu ngancam?”
“Hanya saran. Kamu pakai boleh, tidak juga tak apa-apa. Toh, aku nggak rugi apa-apa.”
“Baiklah,”
Ali pun meninggalkan Intan yang masih sibuk dengan rencana-rencana. Sudah saatnya untuk membersihkan kamar Dika dan mengambil baju kotornya. Hanya dirinya dan mbok Sari.yang diberi kesempatan untuk memasuki kamar tuan Dika. Sekarang Mbok Sari sedang pergi, berarti dirinya lah yang menggantikannya.
Rencana Intan untuk menaklukan hati Dika tak cukup di situ saja. Saat malam telah larut, ia menemui Dika di ruang kerjanya. Dia membawa minuman yang biasa disiapkan Mbok Sari untuk Dika.
“Kebetulan Mbok, aku haus,” kata Dika tanpa melihat siapa yang datang.
Ia baru sadar ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Ia pun menolah. Ia sangat terkejut saat tahu siapa yang telah lancang menyentuh dirinya.
“Intan, aku selama ini masih tegang rasa dengan kamu mengingat pertemanan kita di masa lalu. Tapi tolong, jangan bersikap seperti ini terhadapku. Aku takut tak bisa menghormatimu lagi. Pergilah!” usir Dika.
“Dika, tak bisakah aku menggantikan Lea di hatimu? Aku bisa menjadi ibu untuk Ayundia.”
“Aku belum berfikir ke arah sana.”
“Atau kamu memang tak mau berfikir untuk mencintai wanita selain Lea.”
“Mungkin. Tapi itu semua bukan urusanmu. Kalau yang kau inginkan adalah sebagai pengganti Lea, tempat ini tak cocok untukmu. Sekarang pergilah!” ucap Dika dengan dingin.
Seketika Intan bungkam, tak tahu harus berkata apa. Dika sudah memupuskan semua usahanya, dan membuangnya sebagai sesuatu yang sia-sia. Ia merasa terhina dan putus asa. Membuatnya kecewa dan marah.
“Lea lagi, Lea lagi,” gumamnya dengan penuh amarah. Ia pun menuju ke kamar Ayundia. Ingin meluapkan kekesalannya pada bayi mungil yang kini tertidur pulas tak berdaya, sebagai wakil Lea yang selalu membuatnya merana.
Dia pun mendaratkan cubitan kecil yang menyakitkan pada baby Ayundia. Seketika membuat baby mungil itu menangis, menjerit kesakitan. Karena panik ia pun ingin membekap mulutnya. Namun niat itu tak kesampaian, keburu Dika datang.
“Apa yang kamu lakukan?” teriak Dika.
Dika tak menyangka Intan akan berbuat senekat ini mendengar penolakan darinya. Untung dia segera berlari menuju kamar putri, begitu dia mendengar jeritan tangis putrinya. Andai dia terlambat datang ia tak tahu apa yang terjadi.
Dika segera mendorong tubuh Intan hingga terjerembab, jatuh ke lantai. Lalu ia pun segera meraih tubuh putrinya ke dalam dekapannya dan menghiburnya, agar bisa segera tenang.
Kesempatan ini dipergunakan Intan untuk melarikan diri. Ia segera bangkit, dan berlari. Namun Dika segera mencegat dengan kedua kakinya. Sekali lagi tubuh Intan terjerembab.
“Jangan pergi, Kau!” teriak Dika.
Amarahnya bertambah, saat melihat tanda merah di lengan putrinya.
“Kamu ini wanita macam apa. Tak punya belas kasihan sama sekali. Bahkan pada bayi yang lemah ini kamu begitu tega. Beruntung aku tak pernah memilihmu untuk menjadi pengganti Lea.”
Kegaduhan yang terjadi di lantai atas membangunkan semua penghuni rumah. Mereka pun menuju arah yang sama. Mbok Sari segera berlari ke atas, diikuti pula oleh Ali.
Mbok Sari segera meraih Ayundia ke dalam pelukannnya. Ia mencoba menenangkannya.
“Bawa dia ke kantor polisi!” perintah Dika pada Ali.
Ali bergerak cepat. Ia segera menarik tubuh Intan dari lantai. Dan membawa Intan keluar.
“Tak ku sangka kamu begitu kejam dan nekat. Sekarang silahkan nikmati hotel prodeo sampai tuan Dika memaafkan mu,” kata Ali.
Sementara Dika bersama Ali membawa Intan ke kantor polisi. Mbok Sari sibuk menenangkan Ayundia. Tangisnya tak juga berhenti, meski sudah dibujuk dengan dotnya. Bahkan beberapa kali dot itu pun mencoba ditepisnya.
Sampai Dika kembali, keadaannya tetap sama. Ayundia masih menangis dengan suara yang menyayat. Ia sedikit tenang manakala Dika menghampirinya.
“Mana Ayu, Mbok,” kata Dika.
“Kalian semua boleh kembali,” kata Dika kemudian.
Satu per satu, mereka membubarkan diri. Meninggalkan Mbok Sari dan dirinya.
“Ayu sakit ya… maafkan papa. Papa tak tahu kalau tante Intan telah menyakitimu. Selama masih ada, Papa berjanji tak akan lagi yang bisa menyakitimu,” hiburnya.
Berlahan-lahan suara tangisnya yang menghilang. Kini suara sesenggukan yang tersisa.
“Ambilkan es batu!” suruh Dika kepada salah satu asistennya yang masih tersisa.
“Biar aku saja. Kamu istirahat saja,” kata Mbok Sari. Mbok Sari merasa telah lalai menjaga Ayundia, maka dia tak mau membebankan kesalahan ini kepada orang lain.
Hatinya sangat terenyuh dengan keadaan lengan Ayundia yang tampak lembam, bekas cubitan Intan yang sangat keras. Ia benar-benar tak rela, anak yang sudah dia anggap sebagai cucunya sendiri tersakiti.
Dengan membungkusnya dengan washlap ia memberikan es batu yang diminta kepada Dika.
“Ssssttt…” Sambil menerima bongkahan es, Dika memberi isyarat agar tenang. Dia tak mau Ayundia terganggu. Dia sedang menikmati susu formula dari dotnya dengan lahap, meski sesekali terdengar masih terdengar sesenggukan.
“Maaf, Den.”
Dika segera mengompres bekas cubitan Intan yang masih lembam.
mampir juga di karya aku ya🤭
cuman akan aku persingkat.
sayang kalau tak ku teruskan tulisan ini.
biar deh, walaupun tak lulus review.
yang penting selesai dulu.