“Dulu masalah terbesarku cuma jadi pengangguran. Sekarang? Jalanan Jakarta dipenuhi zombi haus darah… dan aku harus bertahan hidup, atau ikut jadi santapan mereka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Awanbulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Eksplorasi di Toko Peralatan Rumah
Aku tiba di toko peralatan rumah yang terkenal di Banyuwangi dengan logo burung garudanya. Aku berdiri di pintu masuk, menatap sekeliling. Saat ini, tak ada seorang pun yang masih hidup di sekitar sini selain aku.
Sepertinya listrik juga padam di seluruh wilayah utara Banyuwangi. Dari luar, hanya kegelapan yang terlihat. Aku menyalakan lampu kecil yang sudah kutempelkan di helm dengan lakban. Cahaya itu memang membantu, tapi tetap sulit untuk benar-benar melihat keadaan di dalam. Jika bisa, aku ingin mendapatkan cahaya yang lebih terang.
Aku mengambil sebuah batu dari dekat rumahku, lalu melemparkannya sekuat tenaga ke arah dalam toko. Batu itu melayang masuk dan menimbulkan suara yang nyaring saat menghantam sesuatu.
Aku menahan napas, memasang telinga baik-baik. Dari balik kegelapan, terdengar suara teriakan serak jeritan khas zombi.
Dua... mungkin tiga.
Aku mencoba melempar batu ke arah lain, berulang kali, dan setiap kali itu pula terdengar erangan yang berbeda. Dari suara yang terkumpul, sepertinya ada tujuh atau delapan zombi yang bersembunyi di dalam toko.
Cukup banyak... meski, mungkin tak seberapa jika melihat ukuran bangunan sebesar ini.
Aku berusaha bergerak sepelan mungkin.
Aku sudah mengingat betul arah lemparan batu tadi, lalu melangkah masuk ke dalam toko tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Aku memeriksa keadaan sekitar dengan hati-hati. Tepat di dekat pintu masuk ada sudut pengisi daya. Aku menunggu, memperhatikan, tapi tak ada reaksi apa pun terhadap suara langkahku.
“Oh, benar!” bisikku pelan. “Baterai ponsel berkapasitas besar… dan pengisi daya tenaga surya!”
Barang-barang itu langsung kusimpan ke dalam saku rompi. Dari rak sebelah, aku juga menemukan beberapa baterai kering. Semua perlengkapan yang bisa diisi ulang harus diamankan lebih dulu syukurlah, aku masih punya pengisi daya di rumah.
Mataku kemudian tertuju pada lorong di seberang. Sebuah poster besar menempel di dinding, menampilkan karakter burung garuda yang sedang berpose gagah.
“Pameran Perlengkapan Bencana!” begitu tulisannya.
Tepat sekali!
Di sana tersusun biskuit keras, beras instan yang cukup ditambahkan air, makanan kaleng, batang kalori, hingga roti tahan lama. Tanpa ragu aku mulai mengemas semuanya sebanyak mungkin ke dalam ransel.
Aku mendekati rak itu dengan gembira, tetapi tiba-tiba kakiku terhenti. Sesuatu menahanku.
Dari bawah cahaya lampu helm, terlihat sosok menyeret tubuhnya ke arahku seorang zombi yang tampak seperti pegawai toko muda. Bagian bawah tubuhnya hilang, terseret, hanya menyisakan setengah badan.
“Ooooooooooooooooooooooooooooooo!”
“Wah?!” Aku menjerit kaget.
Suara itu membuat bulu kudukku berdiri. Teriakanku justru memantul ke seluruh ruangan, menggema ke dalam kegelapan toko. Dan dari dalam sana… terdengar balasan: raungan zombi lain.
“Sialan…! Jadi inilah yang kulihat di pintu masuk tadi!!”
“Aduh!”
Tanpa berpikir panjang, aku mencabut tongkat bambu dari pinggangku, lalu menghantam kepala zombi setengah badan itu dengan pukulan keras. Kepalanya terguncang hebat. Tanganku refleks melemas, hampir saja ransel terlepas.
“Sekali lagi! Kalau tidak, dia bisa meraih ranselku dan menyeretku ke bawah!!”
Tapi sebelum sempat, dari belakang terdengar derap langkah berat cepat dan kacau.
Aku menoleh. Tiga zombi muncul dari lorong gelap, berjalan pincang tapi pasti mengarah padaku.
“Brengsek!”
Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju pintu masuk, menembus jalan keluar menuju area parkir. Sesampainya di sana, aku melempar ransel ke tanah, berdiri tegap, lalu menunggu. Nafasku kuatur, bersiap menghadapi zombi pertama yang akan menerjang.
Tongkat bambu itu kini bertengger di bahu kananku.
“Rahhh!!”
Aku melangkah maju, lalu mengayunkan senjata itu ke bawah, tepat saat zombi pertama hendak melompat masuk.
Bugh! Pukulan itu menghantam keras, meninggalkan cekungan besar di dahinya. Zombi itu langsung ambruk, tubuhnya tak lagi bergerak.
Satu jatuh.
Zombi kedua sudah menerobos maju. Aku tak menunggu. Kaki berbalik, tubuh melesat lagi sejauh sepuluh meter sebelum berhenti mendadak. Napas tercekat, aku menyiapkan posisi sekali lagi.
“Ohhh!!”
Dia datang cepat. Aku membalik tongkat bambu, lalu menghantam wajahnya dengan kuat. Hidungnya hancur berantakan. Sebelum tubuhnya jatuh, kakiku terangkat, menghantam rahangnya dari bawah. Zombi itu terpental ke belakang.
Dua tumbang.
Tapi yang ketiga sudah ada di sana lebih dekat dari yang kuduga.
“…TIDAK!!”
Tendanganku menghantam zombi kedua yang masih terhuyung. Tubuh busuknya terpental, jatuh, dan menyeret zombi ketiga bersamanya.
Kesempatan itu tak kusia-siakan. Aku segera menutup jarak, mengayunkan tongkat bambu ke arah kepala mereka berdua. Suara keras terdengar, disertai cipratan menjijikkan yang tak ingin kulihat lebih lama. Setelah itu, keduanya terdiam, tak lagi bergerak.
Aku menghembuskan napas panjang napas yang sejak tadi kutahan. Mataku menyapu sekeliling, mencoba memastikan keadaan benar-benar aman. Sunyi. Tidak ada lagi yang bergerak.
Sesaat rasa khawatir muncul, tapi akhirnya aku bisa sedikit lega. Ternyata cara ini berhasil.
Metode sederhana yang aku kenal sebagai “taktik para pejuang zaman dulu”: berlari sejauh mungkin, lalu singkirkan musuh yang masih mengejar, satu per satu.
Aku bahkan mengingat jelas, aku pertama kali belajar cara ini dari sebuah buku yang sangat kusukai di masa kuliah.
“Terima kasih, pejuang…” gumamku lirih, setengah bercanda pada diriku sendiri.
Tapi meskipun berhasil, tubuhku gemetar karena lelah. Taktik ini menguras tenaga lebih dari yang kubayangkan.
Aku kembali ke pintu masuk toko, lalu menggunakan cara yang sama untuk memancing keluar sisa zombi. Satu per satu mereka keluar, dan satu per satu pula kuhabisi.
Begitu rasa lelah makin menjadi, aku melompat ke atas sebuah mobil di area parkir untuk beristirahat. Mobil itu cukup tinggi dan kokoh, karena para zombi tak mampu memanjat ke atasnya.
Untuk sementara, aku aman.
Beruntungnya, semua zombi itu memang hanya zombi biasa. Tidak ada kejutan lain… setidaknya sampai ke kepala.
Padahal tubuhku sudah terasa remuk. Lelah yang menumpuk membuat kakiku hampir goyah. Aku duduk sebentar, membuka botol air sumur dalam kemasan yang kubawa dari rumah, lalu meneguknya perlahan. Segarnya air itu sedikit mengembalikan kesadaranku. Setelahnya, aku menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam.
Di depanku, sembilan zombi tergeletak tak bernyawa di tempat parkir. Pemandangan yang menjijikkan sekaligus melegakan.
“…Totalnya sembilan,” gumamku.
Meski begitu, aku tidak bisa benar-benar tenang. Ada kemungkinan masih ada makhluk aneh seperti “setengah manusia” yang kulihat sebelumnya. Itu artinya, aku harus tetap waspada.
Untungnya, sebagian besar zombi punya mobilitas rendah. Jadi, selama aku fokus menghancurkan kepala mereka, tak ada yang perlu dipanikan.
Beberapa hari terakhir sudah mengubahku. Pikiranku terasa lebih dingin, lebih terlatih. Aku mulai berpikir seperti seorang pemburu, bukan lagi korban.
Pertama-tama, lampu.
Aku meraih helm, lalu mengganti lampu kecil dengan lampu helm berperforma tinggi dari bagian senter. Begitu kuhidupkan, cahaya putih langsung memancar, menerangi gelap gulita yang menelanku.
“Oh… terang sekali,” gumamku pelan.
Cahaya itu bukan sekadar lampu itu adalah kilau peradaban, sesuatu yang selama ini kurindukan di tengah dunia yang runtuh.
Kini, untuk pertama kalinya setelah berjam-jam, aku bisa melihat sekeliling dengan jelas.
Wow… lantainya. Penuh bercak darah dan potongan tubuh manusia. Pemandangan yang terlalu jelas kini terpampang berkat cahaya lampu.
Ada hal-hal di dunia ini yang sebaiknya tidak pernah kulihat. Tapi tetap saja, aku harus menatapnya.
Aku menelan ludah, lalu mulai bergerak cepat. Beberapa barang kecil seperti makanan tahan lama dan tabung gas untuk kompor portabel kumasukkan ke dalam ransel. Begitu penuh, aku bergegas kembali ke truk, mengosongkan isi ransel ke area kargo, lalu kembali lagi ke dalam toko peralatan rumah.
Perjalanan itu kulakukan berulang kali, bolak-balik, sampai akhirnya aku berhasil mengumpulkan cukup banyak bahan makanan.
Terakhir, aku mendorong kereta dorong yang ada di pintu masuk. Tujuan utamaku: generator.
Anehnya, benda sebesar itu masih tersisa di tempatnya. Seolah-olah tak ada yang menyadari keberadaannya, mungkin karena perhatian orang-orang terdistraksi oleh kerumunan zombi.
“Untunglah…” gumamku, meski rasa waspada masih menusuk dada.
Karena justru sekarang, setelah semua zombi ini lenyap, bahayanya berbeda. Kalau ada orang lain yang melihat toko ini sudah ‘dibersihkan’, bisa saja mereka datang dan merampas semua hasil kerjaku.
Aku tidak bisa mengambil risiko itu.
Hari ini, aku harus memuat sebanyak mungkin persediaan ke dalam truk ringan. Siapa tahu besok stok ini sudah lenyap direbut orang lain.
Lebih baik habis-habisan sekarang, sebelum terlambat.
Generator yang kupilih akhirnya adalah tipe berbahan bakar diesel. Faktor penentunya sederhana: label harga yang menyebutkan dua hal penting ringan dan senyap. Tepat seperti yang kubutuhkan.
Yang bertenaga listrik jelas tidak mungkin dipakai dalam situasi sekarang.
Setelah berhasil mengamankannya, aku mulai menyisir rak lain, mencari benda apa pun yang masih bisa berguna. Kaleng plastik untuk menyimpan solar, beberapa gulungan kabel listrik, hingga pipa besi berukuran sedang berhasil kukumpulkan.
Aku sempat berpikir untuk mengambil papan kayu untuk dipaku di dalam rumah. Tapi persediaan papan tidak akan habis dalam waktu dekat, jadi pekerjaan itu bisa kutunda.
Di bagian berkebun, mataku menangkap sesuatu yang tak kalah penting: benih sayuran. Aku segera mengambil beberapa bungkus. Sayur akan sangat dibutuhkan untuk menjaga pola makan tetap seimbang. Tanpa listrik, pasar tak lagi bisa menyimpan sayuran segar. Pilihan terbaik adalah menanam sendiri.
Aku bisa memanfaatkan kebun kecil milik ibu di halaman belakang. Kalau gagal… yah, aku tinggal mencabut langsung dari ladang di pinggiran Banyuwangi. Cara itu memang terdengar barbar, tapi bukankah dunia sekarang sudah mendorong manusia kembali ke cara berpikir yang sama liarnya dengan hewan?
Di bagian aksesori mobil, aku menemukan kaca spion yang cocok untuk truk ringanku. Lumayan. Lalu mataku terhenti pada sebuah sistem navigasi mobil kecil. Trukku tak punya fitur semewah itu tapi kalau benda ini bisa kugunakan, kenapa tidak?
“Pinjam saja dulu,” gumamku, menyelipkan perangkat itu ke dalam keranjang.
Oh… ternyata mereka juga menjual senjata paku.
Sayangnya, versi yang beredar di sini dilengkapi dengan banyak sistem pengaman agar tidak bisa digunakan seperti pistol. Dengan begitu, senjata itu nyaris tak ada gunanya dalam pertarungan jarak dekat.
“Tidak untuk hari ini,” gumamku, menyingkirkannya dari daftar kebutuhan.
Itu saja untuk eksplorasi kali ini.
Setidaknya aku sudah mendapatkan hal-hal penting: sebuah generator, persediaan makanan tahan lama, dan berbagai perlengkapan lain yang bisa menunjang hidup untuk beberapa waktu. Sisanya bisa kuambil lain kali.
Lagipula, pada akhirnya situasi di luar sana yang akan menentukan apakah zombi-zombi itu akan tetap berkeliaran jauh, atau mulai menumpuk kembali di sekitar tempat ini.
Dengan pikiran itu, aku kembali ke area parkir. Tanganku mendorong kereta dorong yang kini berat penuh muatan. Roda berdecit di atas aspal, suaranya seperti mengiringi langkahku yang mantap.
Hari ini, aku selamat. Tapi besok? Siapa yang tahu.