Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24
“Mas Dokter…” suara Miranda pelan, tapi cukup untuk memecah hening yang tadi sempat menggantung di antara mereka. Ia menatap Jodi dengan sorot mata yang dalam, penuh ragu namun juga harap. “Boleh Mira minta satu hal?”
Jodi menoleh, sedikit heran. “Permintaan?”
Miranda mengangguk pelan, bibirnya menampilkan senyum tipis yang samar. “Iya… cuma satu saja. Boleh,?”
Jodi menatap wajah Miranda yang tampak begitu tenang malam itu, cahaya redup dari lampu dinding memantul lembut di matanya. Ada sesuatu di sana, ketulusan, tapi juga misteri yang menekan dada Jodi.
“Tentu,” jawab Jodi pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. Ada keraguan yang ia sembunyikan di balik nada tenangnya.
Senyum perlahan terbit di wajah Miranda, senyum yang entah kenapa terasa begitu indah sekaligus mengancam. “Mira minta satu hal saja, Mas Dokter,” ujarnya lembut, jemarinya menyentuh ujung meja di antara mereka. “Temani Mira malam ini…”
Ia berhenti sejenak, menunduk sedikit, lalu menatap lagi dengan tatapan yang seolah menelanjangi isi hati Jodi. “Bukan untuk apa-apa… Mira hanya takut sendirian. Kalau Mas Dokter ada di sini, mungkin Mira bisa tidur tanpa mimpi buruk.”
Sekilas, Jodi ingin menjawab. Tapi lidahnya kelu. Entah kenapa, di balik permintaan sederhana itu, ia merasa seperti sedang ditarik masuk ke dunia yang bukan miliknya, dunia di mana logika mulai kehilangan arah.
Malam itu, akhirnya Jodi mengiyakan permintaan Miranda. Ia duduk di kursi di samping ranjang Miranda, sementara perempuan itu sudah terlelap, wajahnya tampak damai di bawah cahaya lampu redup.
Suara detak jam di dinding terdengar begitu jelas di antara keheningan malam. Jodi menatap langit-langit, menarik napas panjang.
“Hah… apa-apaan ini kamu, Jodi…” gumamnya pelan, senyum getir menyelinap di bibirnya. “Sekarang kamu bahkan rela menemani pasienmu sendiri.”
Namun matanya kembali menoleh ke arah Miranda, ke wajah tenang yang selama ini justru membuat pikirannya kacau. Ada sesuatu pada perempuan itu yang tidak bisa ia pahami, sesuatu yang menenangkan, sekaligus menakutkan.
Untuk sesaat, Jodi merasa dirinya bukan lagi seorang dokter yang sedang mengawasi pasien… tapi seorang pria yang kehilangan batas antara empati dan perasaan.
Sementara itu, di balik pintu ruang rawat Miranda yang sedikit terbuka, berdirilah Suster Risa. Wajahnya datar, seolah pemandangan di depannya sudah tak lagi mengejutkan, sang dokter duduk tenang di sisi ranjang pasiennya, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Risa menghela napas pelan, bergumam nyaris tanpa suara,
“Sudah kuduga… dokter Jodi memang punya perasaan lain pada Miranda. Lihat saja, malam begini pun dia masih di sini.”
Ia lalu menutup perlahan pintu itu, takut menimbulkan suara. Di balik senyumnya yang samar, terselip rasa khawatir, bukan karena cemburu, tapi karena ia tahu betul apa yang bisa terjadi jika orang lain melihat pemandangan itu.
“Kalau suster lain yang jaga malam ini, wah… bisa geger satu rumah sakit,” desisnya pelan sambil berbalik. “Untung saja aku yang bertugas. Memang benar, Miranda itu bukan sekadar pasien bagi dokter Jodi… dia semacam..” Risa berhenti sejenak, tersenyum miring, “. ….kesayangan yang terlalu berbahaya.”
Langkah Suster Risa terhenti di tengah koridor yang temaram ketika melihat sosok lain datang dari arah berlawanan. Dari cahaya redup lampu dinding, tampak wajah Suster Sinta yang sama-sama bertugas jaga malam itu.
“Sinta, kamu mau ke mana malam-malam begini?” tanya Risa, mencoba terdengar tenang meski nadanya sedikit terburu.
“Oh, saya mau mengecek keadaan para pasien, Sus. Takut ada yang gelisah,” jawab Sinta sambil tersenyum kecil.
Risa menelan ludah. “Ah… tidak usah. Aku baru saja keliling. Semua pasien dalam keadaan tenang, sudah tertidur,” ucapnya cepat, hampir seperti menutup pembicaraan.
“Begitu?” Sinta mengerutkan kening, menatap Risa dengan sedikit curiga.
“Iya,” Risa mengangguk, senyum dipaksakan. “Kamu sebaiknya kembali saja ke ruang jaga. Aku lanjutkan saja yang di sini.”
Sinta menghela napas lega. “Wah, syukurlah. Soalnya aku lagi kurang enak badan, Sus. Hari pertama datang bulan, rasanya pinggang mau patah.”
“Oh… begitu.” Risa tersenyum tipis, menepuk bahunya pelan. “Ya sudah, istirahat saja di ruang jaga. Biar aku yang berkeliling malam ini.”
Sinta mengangguk, lalu berbalik perlahan. Tapi sesaat sebelum melangkah pergi, ia sempat menatap punggung Risa dengan raut heran.
“Tumben banget dia baik malam ini,” gumamnya pelan, tak menyadari bahwa Risa menatap punggungnya pergi, dengan napas yang sedikit berat, seolah baru saja lolos dari sesuatu yang tak boleh diketahui siapa pun.
“Fyuh…” Suster Risa menghembuskan napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih berpacu cepat. Tangannya refleks menempel di dada, merasakan denyut yang tak kunjung reda.
“Dokter Jodi benar-benar harus berterima kasih padaku untuk ini,” gumamnya lirih, senyum kecil terselip di bibirnya. “Bisa gawat kalau ada yang lihat tadi. Lagipula…” ia menoleh ke arah pintu kamar Miranda yang kini tertutup rapat, “…malam ini bukan jadwalnya dokter Jodi untuk jaga malam.”
Risa terkekeh pelan, menatap lantai seolah menyimpan rahasia besar..
......................
Malam itu begitu hening.
Lampu kamar pasien hanya menyala redup, meninggalkan bayangan lembut di dinding. Jodi masih duduk di kursi di samping ranjang Miranda, menatap langit-langit dengan napas panjang yang tak pernah terasa cukup.
Matanya melirik ke arah Miranda, yang berbaring tenang dengan wajah setenang permukaan air tanpa riak. Ujung bibir perempuan itu terangkat sedikit, entah karena mimpi atau karena merasa ada seseorang di dekatnya.
“Mira…” panggil Jodi lirih, hampir tanpa suara.
Tak ada jawaban, hanya hembusan napas lembut yang teratur.
Namun anehnya, ketenangan itu membuat Jodi justru semakin gelisah. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, perasaan hangat yang perlahan merayap ke dadanya, rasa damai yang tak pernah ia rasakan bahkan saat bersama istrinya sendiri.
Ia menunduk, memperhatikan jari-jari Miranda yang diam di atas selimut putih.
Ingin rasanya ia menyentuh, memastikan perempuan itu nyata… bukan sekadar ilusi dari perasaannya yang mulai gila.
“Kenapa kamu bisa membuat aku merasa begini, Mira…” bisiknya. “Padahal aku tahu, kamu masih melihatku sebagai… Gala.”
Miranda menggeliat kecil. Mata itu perlahan terbuka, menatapnya. Dalam tatapan setengah sadar itu, ada sesuatu yang membuat dunia di sekeliling Jodi seolah berhenti berputar.
“Mas Dokter…”
Suara Miranda terdengar lembut dan serak, seperti bisikan yang baru terlahir dari mimpi.
Jodi menoleh pelan. Di bawah cahaya lampu redup, mata Miranda yang setengah terbuka menatapnya, teduh, tapi ada semburat lembayung rindu yang sulit diartikan.
“Mas Dokter nggak tidur?” tanyanya, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya.
Jodi menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba merayap di dadanya. “Be-belum.”
Miranda menatapnya lama, seolah ingin membaca sesuatu di balik sorot mata Jodi.
Kemudian bibirnya bergerak, suaranya nyaris berbisik, namun cukup untuk membuat jantung Jodi berdetak tak karuan.
“Kalau Mas Dokter ngantuk…” ujarnya pelan, “boleh kok… tiduran di samping Mira.”
Ia menepuk pelan sisi ranjangnya yang kosong. “Ranjang ini masih muat, kan?”
Deg.
Jodi membeku. Dunia seakan kembali berhenti berputar sesaat.
Kata-kata itu sederhana, tapi caranya mengucap, lembut, jujur, dan tanpa maksud menggoda, justru membuat udara di ruangan itu menegang.
Mata Jodi menatap Miranda lama, dan untuk sesaat ia lupa siapa dirinya… lupa bahwa di hadapannya bukan sekadar pasien, tapi seseorang yang tanpa sadar sudah mengguncang batas profesionalismenya..
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...