 
                            Aprilia, gadis desa yang dijodohkan dengan Vernando, pria tampan dan kaya raya, harus menelan pil pahit kehidupan. 
Alih-alih kebahagiaan, ia justru menerima hinaan dan cacian. Vernando, yang merasa memiliki istri "jelek" dan "culun", tak segan merendahkan Aprilia di depan teman-temannya. 
Kesabaran Aprilia pun mencapai batasnya, dan kata "cerai" terlontar dari bibirnya. 
Mampukah Aprilia memulai hidup baru setelah terbebas dari neraka pernikahannya? Atau justru terjerat dalam masalah yang lebih pelik?
Dan Apakah Vernando akan menceraikan Aprilia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Surga Dunia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 7
Kenikmatan Zio menikmati es krim tiba-tiba terhenti.
"Ahh... gatal," rengek Zio, tangan mungilnya mulai menggaruk-garuk wajahnya dengan brutal.
Es krim yang tadinya digenggam erat kini tergeletak begitu saja di bangku taman.
"Kamu kenapa, Zio?" tanya Aprilia, nadanya langsung berubah khawatir.
"Gatal," ulang Zio, masih fokus menggaruk, mata sipitnya mulai berair.
Aprilia mendekat. Seketika, ia melihat serangkaian ruam merah tipis mulai bermunculan di sekitar mulut dan dagu Zio.
Jantungnya mencelos. Pandangannya segera beralih ke es krim yang dimakan anak itu. Di antara lelehan vanila, terlihat jelas potongan-potongan buah berwarna merah cerah.
"Apa kamu alergi stroberi?" tanya Aprilia, suaranya tercekat.
Zio menghentikan garukannya sejenak. "Papa selalu melarangku makan stroberi," jawabnya polos.
Akhirnya Aprilia paham. Kekhawatiran itu berubah menjadi kecemasan yang menusuk.
Ruam itu, rasa gatal yang tiba-tiba, jelas Zio alergi parah terhadap stroberi. Ia tanpa sengaja menjadi penyebab penderitaan anak ini.
"Zio!"
Sebuah teriakan lantang memecah keheningan taman. Seorang pria yang tak asing berlari kencang ke arah mereka.
Itu adalah pria berjas biru tua yang tadi ia tabrak. Wajahnya kini bukan lagi datar, melainkan panik luar biasa.
"Zio, apa yang terjadi?!" Pria itu berlutut di depan anaknya, tangannya gemetar melihat Zio yang terus menggaruk wajah hingga memerah.
"Sepertinya dia alergi stroberi. Baru saja dia makan es krim dengan toping potongan stroberi," jelas Aprilia cepat, suaranya mengandung nada bersalah yang dalam.
Pria itu mendongak, tatapan tajamnya kini penuh amarah dan tuduhan. "Astaga! Kenapa kau memberikan ini pada anakku?!" bentaknya, suaranya meninggi, menusuk Aprilia tanpa ampun.
"Maaf, saya sungguh tidak tahu," ucap Aprilia, wajahnya memucat karena rasa bersalah yang membebani. Ia merasa begitu ceroboh dan bodoh.
Pria itu tidak membuang waktu untuk menjawab atau mendengarkan lebih lanjut. Tanpa kata, ia segera menggendong Zio, yang merengek kesakitan, lalu bergegas pergi menuju mobil yang sudah menunggunya.
Aprilia berdiri membeku sesaat, perasaan bersalah meremukkan hatinya. Ia tidak bisa hanya membiarkan ini.
Ia harus memastikan Zio baik-baik saja. Dengan cepat, ia menoleh ke jalan raya, mencari taksi kosong, bertekad untuk membuntuti mobil mewah yang membawa pria dan Zio itu. Ia harus bertanggung jawab atas kecerobohannya.
Rumah Sakit
Aprilia menciut, jantungnya berdebar kencang. Ia telah berhasil membuntuti mobil pria itu hingga ke sebuah rumah sakit swasta yang megah.
Sekarang, ia mencoba bersembunyi di balik pilar besar di koridor yang sepi, mengintip pria itu yang sedang mondar-mandir penuh kegelisahan di depan pintu ruang perawatan.
"Kenapa kau membuntutiku?!"
Suara berat itu tiba-tiba menginterupsi, terdengar tegas dan penuh kecurigaan.
Pria itu telah menyadari kehadirannya.
Aprilia, yang tertangkap basah, memberanikan diri untuk melangkah keluar dari persembunyiannya.
Ia berjalan mendekat, setiap langkah terasa berat, menghadapi tatapan mata pria itu yang kini menyala penuh pertanyaan.
"Saya... saya ingin minta maaf secara langsung pada Zio dan pada Anda," ucap Aprilia, suaranya sedikit bergetar namun ada ketulusan di sana.
"Maaf karena kecerobohan saya. Saya juga akan bertanggung jawab penuh."
Pria itu terdiam, berhenti dari langkah mondar-mandirnya. Ia menyipitkan mata, menimbang-nimbang sosok Aprilia.
Dalam hati, ia mengakui bahwa gadis ini memiliki keberanian yang tak terduga dan rasa tanggung jawab yang jarang ditemui.
Gadis lain mungkin akan melarikan diri, tetapi Aprilia malah gigih membuntutinya sampai ke rumah sakit.
"Saya akan membayar semua biaya perawatan Zio," lanjut Aprilia, menawarkan solusi konkret.
Ia merasa harus menebus kesalahannya, seberapa pun besarnya.
Tepat saat pria itu hendak merespons, pintu ruang perawatan terbuka. Seorang dokter keluar dengan senyum tipis.
"Zio sudah baik-baik saja," ujar sang dokter menenangkan. "Untungnya hanya gejala alergi ringan. Kita sudah berikan obat dan dia sudah tidur nyenyak. Sebaiknya dia beristirahat di rumah saja."
Napas Aprilia yang tadinya tertahan kini terembus lega. Kepanikan yang mencengkeramnya sedikit mereda.
Pria itu juga tampak menghela napas panjang, ketegangan di wajahnya melunak seketika.
"Terima kasih, Dok," ucap pria itu, lalu pandangannya kembali beralih pada Aprilia, kali ini dengan ekspresi yang jauh lebih rumit.
Amarahnya perlahan digantikan oleh pemikiran yang lebih tenang, sorot matanya yang tajam kini agak melembut setelah mendengar kabar baik dari dokter.
"Sebaiknya, kamu pulang saja," ucap pria itu, nadanya kini lebih pelan, tidak lagi penuh tuduhan.
"Dengar 'kan apa yang dikatakan dokter, Zio sedang tertidur nyenyak. Dia sedang istirahat."
Aprilia merasa kecewa. Ia ingin sekali melihat Zio, memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa anak itu benar-benar baik-baik saja.
Namun, ia tak punya hak untuk memaksa. Ia hanyalah orang asing yang baru saja membuat Zio sakit.
"Dan untuk biaya Zio," lanjut pria itu, memutus lamunan Aprilia. "Tidak perlu dipikirkan. Urusan ini biar saya yang selesaikan." Ada nada final dalam ucapannya, menolak tawaran tanggung jawab finansial Aprilia.
Aprilia tahu ia harus mundur. Dengan terpaksa, ia menuruti permintaan pria itu.
"Baiklah," ucap Aprilia, menahan keinginannya untuk berlama-lama. Ia menundukkan kepala sedikit.
"Semoga Zio lekas sembuh. Sekali lagi, saya minta maaf atas kecerobohan saya."
Aprilia berbalik, langkahnya terasa berat saat ia berjalan menyusuri koridor rumah sakit yang sunyi.
Ia membawa serta beban rasa bersalah dan sedikit kekecewaan karena tidak bisa melihat senyum Zio terakhir kalinya.
Pria itu berdiri di sana, di depan pintu ruang perawatan. Ia menatap punggung Aprilia yang menjauh, memperhatikan siluetnya hingga sosok gadis itu menghilang di belokan koridor.
***
Lampu senja mulai merayap, tepat saat Aprilia sampai di rumah.Napas lega ia hembuskan, syukurlah, mobil Vernando suaminya itu belum terparkir di garasi.
Sosok Mbok Ratmi, segera menyambutnya dengan wajah cemas di ambang pintu.
"Ya ampun, Non! Ke mana saja seharian ini? Mbok sampai khawatir begini!" Tangan keriputnya spontan menggenggam tangan Aprilia, tatapan matanya menyiratkan kepanikan.
Aprilia membalas genggaman itu, senyumnya tipis dan agak lesu. "Maaf ya, Mbok. Tadi pagi, Aku ke rumah Ayah sebentar. Nah, siangnya... Aku jalan-jalan di taman, mencari udara segar. Tapi, Mbok.....," suaranya tercekat, nada penyesalan kentara,
"Aku malah tidak sengaja menyakiti seorang anak kecil."
Mbok Ratmi terperanjat. "Astaga! Menyakiti bagaimana, Non? Aduh, jangan-jangan Non berantem ? sama siapa?"
"Bukan, Mbok. Jauh dari berantem," Aprilia menggeleng pelan, rasa bersalah kembali menusuk.
"Anak itu alergi stroberi. Dan Aku.... Aku dengan bodohnya malah membelikan dia es krim dengan taburan potongan stroberi di atasnya. Aku nggak tahu kalau dia alergi, Mbok."
Mbok Ratmi menutup mulutnya dengan tangan, matanya membulat.
"Ya Ampun... Terus, sekarang anak itu bagaimana, Non?"
"Dia baik-baik saja, Mbok," jawab Aprilia cepat, seolah ingin meyakinkan Mbok Ratmi dan dirinya sendiri.
"Untungnya, Papanya langsung tanggap, membawanya ke rumah sakit. Mungkin hanya syok dan sedikit gatal-gatal."
"Tapi, Non nggak kenapa-kenapa, kan? Tidak ada yang marah-marah?" tanya Mbok Ratmi, kali ini kekhawatirannya beralih pada keselamatan majikannya.
Aprilia menggeleng, mendesah pelan. "Aku tidak apa-apa, Mbok. Pria itu... Papanya anak itu, sama sekali tidak menyalahkan Ku. Bahkan, Aku sudah menawarkan diri untuk menanggung semua biaya pengobatan, sebagai bentuk tanggung jawab. Tapi, dia menolak, Mbok. Sama sekali tidak mau."
"Syukurlah kalau begitu," Mbok Ratmi mengelus dada, benar-benar lega.
Aprilia menyandarkan punggung di sofa, pandangannya menerawang ke depan.
"Awalnya, Aku kira dia itu kakaknya. Wajahnya masih sangat muda,... Ternyata dia Papanya."
Mata Mbok Ratmi berbinar jahil. "Wah, masih muda sekali ya, Non? Berarti ganteng dong?"
Aprilia tersenyum kecil, kali ini senyumnya lebih tulus. Ia mengangguk pelan, seulas bayangan wajah asing yang menyiratkan ketenangan itu sekilas melintas di benaknya. "Iya, Mbok. Masih muda."
 
                     
                     
                    