NovelToon NovelToon
WOTU

WOTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Kutukan / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:623
Nilai: 5
Nama Author: GLADIOL MARIS

Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.

Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.

Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut

Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan

Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TANDA DI KULIT II

Ia berdiri sendirian di tengah hutan Eldridge. Kabut menutup segalanya, menelan batang pohon hingga hanya siluet tipis yang tersisa. Udara lembap menusuk paru-paru, setiap tarikan napas terasa berat seolah dipenuhi debu halus.

Tanah di bawah kakinya bergetar pelan. Dari celah dedaunan yang membusuk, cahaya hitam kehijauan merembes keluar, membentuk garis-garis melingkar.

Simbol-simbol itu melingkar sempurna, berlapis-lapis seperti jaring laba-laba. Bentuknya persis sama dengan tanda di telapak tangannya, hanya kali ini jauh lebih besar, cukup untuk menelan hutan di sekitarnya.

Lisa menatap lingkaran itu dengan ngeri. Setiap garis berdenyut, memancarkan cahaya yang berkilat pelan seperti napas makhluk hidup. Udara di sekitarnya berubah dingin, lalu panas, lalu dingin lagi, membuat tubuhnya gemetar tak terkendali.

Dari tengah lingkaran, sosok pria tua muncul. Tubuhnya bungkuk, jubah lusuh menggantung seperti kain basah. Wajahnya kabur, seolah kabut sengaja menyembunyikan identitasnya. Namun Lisa tidak ragu—ia tahu itu Cormac, nama yang terus disebut Ethan, nama yang seolah mengikuti mereka sejak buku itu muncul.

“Pintu sudah lama menunggu,” suaranya serak, tetapi bergema seakan keluar dari ribuan mulut sekaligus. Suara itu datang dari depan, belakang, atas, bahkan dari dalam kepalanya. “Bayangan bukan musuhmu.

Mereka adalah cerminanmu. Terimalah.”

Lisa mundur, kakinya tersandung akar. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar. “Aku tidak ingin ini! Aku hanya ingin hidup normal!”

Cormac menunduk, lalu tertawa rendah. Tawa itu parau, bercampur dengan suara angin yang berdesir di antara pepohonan. “Normal?” katanya pelan, hampir mengejek. “Tidak ada yang normal di Eldridge. Kota ini sudah dikutuk sejak kabut pertama turun. Semua orang di sini lupa… kecuali yang terpilih. Kau salah satunya. Kau bukan hanya saksi, Lisa—kau adalah ingatan itu sendiri.”

Lisa menggeleng keras, air mata panas turun di pipinya. “Berhenti! Aku tidak mau jadi bagian dari ini!”

Lingkaran simbol di tanah semakin terang, cahaya hitam kehijauan berdenyut cepat, seperti jantung raksasa yang baru bangun dari tidur panjang. Getarannya membuat dedaunan gugur, membuat udara berdengung.

Tanah retak di bawah kaki Lisa. Dari celahnya, tangan-tangan gelap meraih ke atas. Bukan sekadar bayangan, tapi tangan yang padat dan bertekstur—ujung jarinya panjang, lentur, tapi hangat ketika menyentuh kulit Lisa.

Ia menjerit, mencoba melepaskan diri. Tapi semakin ia meronta, semakin kuat tangan-tangan itu mencengkeram. Bukan dingin yang ia rasakan, melainkan hangat… sehangat tubuhnya sendiri. Seolah tangan itu bukan makhluk asing, melainkan kepanjangan dari dirinya.

Cormac mengangkat wajahnya yang masih kabur, dua lubang hitam seolah menjadi mata. “Lihatlah baik-baik. Mereka bukan musuhmu. Mereka adalah dirimu.”

Lisa terengah, matanya melebar.

Tangan-tangan itu tidak hanya menahan, tapi menyalurkan sesuatu—denyut, ritme, rasa yang asing namun akrab. Ia bisa mendengar suara-suara lebih jelas: bukan hanya bisikan, tapi nyanyian samar, sebuah bahasa yang tidak dimengertinya namun terasa benar di jantungnya.

Ia ingin menjerit “tidak”, tapi suaranya tercekat. Dunia di sekelilingnya berputar. Kabut menggulung, hutan lenyap, hanya lingkaran simbol dan tangan-tangan itu yang tersisa.

Dan sebelum ia sempat menjawab apa pun, pandangannya gelap, seperti ada kain tebal dilempar menutup matanya.

................

Lisa terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya tersentak dari ranjang tipis yang lembap oleh keringat. Rambutnya menempel di wajah, napasnya terengah, dadanya naik-turun seolah baru saja berlari jauh.

Tenggorokannya kering, sementara kulit di sekujur tubuhnya terasa panas sekaligus dingin.

“Lis!” Sara langsung menghampiri, duduk di samping ranjang, memeluknya erat. Wajahnya pucat, matanya basah. “Kau mimpi buruk lagi? Kau berteriak seolah—astaga, aku pikir kau nggak akan bangun!”

Lisa gemetar. Tangannya mencari-cari udara sebelum akhirnya ia menatap telapak tangan kanannya. Mata melebar, napasnya tertahan.

Simbol di sana telah berubah. Garis hitam yang semula sederhana kini bercabang, seperti akar yang merambat ke seluruh telapak. Garis itu menyala samar, bukan cahaya terang, melainkan kilau aneh seperti bara arang yang baru padam—merah hitam, hidup tapi tidak sepenuhnya. Saat Lisa menggerakkan jari-jarinya, garis itu ikut berdenyut, seolah memiliki detak jantung sendiri.

Ia tersentak kecil, menutup mulutnya. Rasa panas menjalar dari telapak ke lengan, lalu ke dada. “Aku… aku bisa merasakannya. Seperti ada sesuatu yang… mengalir di bawah kulitku.”

Ethan berdiri di dekat jendela, wajahnya pucat pasi. Kacamata tipisnya berkabut karena napas terburu-buru. “Aku lihat simbol di lantai barusan. Saat kau tidur, bayangan di kamarmu bergerak. Mereka… seperti bergetar mengikuti mimpimu.”

Sara menoleh cepat, suaranya meninggi. “Apa maksudmu ‘mengikuti mimpinya’? Jadi sekarang mimpinya bisa menggerakkan bayangan?!” Ia menatap Lisa dengan ngeri, lalu kembali pada Ethan. “Jangan bilang ini artinya dia… sudah jadi salah satu dari mereka.”

Lisa ingin membantah, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya masih bergetar, keringat dingin terus menetes dari pelipis.

Belum sempat Ethan menjawab, suara aneh terdengar. Seperti kain diseret di lantai, berat dan pelan.

Bayangan di dinding kamar mulai menebal. Awalnya hanya garis gelap, lalu semakin pekat, lapis demi lapis, hingga bentuknya tampak menonjol keluar. Bayangan lain dari sudut ruangan ikut merayap, bergabung dengannya.

Lisa membeku. Setiap kali bayangan itu bertambah pekat, simbol di tangannya ikut berdenyut makin cepat, makin sakit.

Perlahan-lahan, dari kegelapan itu terbentuk tubuh tinggi menjulang. Bahunya sempit, lengannya panjang, seperti ranting kering. Wajahnya kosong, hanya lekukan samar—kecuali dua mata hitam yang berkilat, seperti celah menuju kehampaan.

Sara berteriak, menjerit sambil mundur terburu-buru hingga menabrak meja kecil. “Astaga, itu nyata! Itu nyata!”

Ethan spontan meraih buku di meja. Tangannya gemetar tapi matanya fokus. “Jangan bergerak, Lis. Apa pun itu, ia menatapmu.”

“Lis…” suara itu bergema dari seluruh ruangan. Berat, dalam, seakan keluar dari dinding dan lantai sekaligus.

Lisa membeku. Suara itu bukan sekadar terdengar, tapi juga terasa—bergetar di tulangnya, menusuk kepalanya. Rasa takut menyalakan insting untuk kabur, tapi di baliknya ada dorongan lain, samar dan kuat: keinginan untuk menjawab.

Jantung Lisa berdegup liar. Tangannya bergetar hebat, tapi ia tak bisa memalingkan pandangan. Bayangan itu mencondongkan tubuh, makin dekat, sampai jarak di antara mereka hanya beberapa langkah. Udara di ruangan jadi dingin menusuk.

“Kau…” suaranya kembali, lebih keras. Dua mata hitam itu berkilat aneh, menyala redup seperti bara dalam kegelapan.

Lisa menelan ludah, tubuhnya terasa tak punya kendali.

“…pintu…”

Kata itu membuat simbol di tangannya meledak dalam cahaya. Sara menjerit, Ethan bersiap melempar buku.

Dan seketika—

Lampu kamar meledak. Bohlam pecah, kaca beterbangan, memantulkan kilatan cahaya singkat sebelum semuanya tenggelam dalam kegelapan total.

1
~abril(。・ω・。)ノ♡
Saya merasa seperti berada di dalam cerita itu sendiri. 🤯
GLADIOL MARIS: Semoga betah nemenin Lisa di Wotu dalam perjalannya 🤗
total 2 replies
Không có tên
Kocak abis
GLADIOL MARIS: Waduh, susah nih bikin kakak takut pas baca kayaknya⚠️
total 1 replies
GLADIOL MARIS
Halo teman-teman yang sudah menyempatkan mampir. Aku harap WOTU bisa nemenin kalian nantinya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!