Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ingin melarikan diri
Dengan suara bariton yang menusuk dan penuh otoritas, Duke Jasper Gideon berkata, "Jangan ada yang berani menyentuhnya. Dia milikku."
Kata-kata itu bagai perintah suci. Semua pelayan segera menundukkan kepala mereka dalam-dalam, tidak berani lagi menatap Emelia secara langsung. Emelia merasakan tubuhnya bergidik; kata-kata "milikku" itu membuatnya merasa tidak lebih dari sebuah benda yang baru saja diakuisisi, terasing dari kemanusiaannya sendiri.
Duke kemudian menginstruksikan kepala pelayan untuk menyiapkan kamar terbaik yang terletak persis di sebelah kamarnya, dan memastikan Emelia tidak bisa melarikan diri. Emelia diseret menaiki tangga marmer besar, menuju lantai atas, ke dalam sangkar emas yang menjadi rumah barunya. Di sana, ditinggalkan sendirian di kamar mewah namun dingin, Emelia menyadari dunianya yang sederhana telah sirna, digantikan oleh belenggu kekuasaan dan takdir yang tidak pernah ia pilih.
Pintu kamar mewah itu tertutup rapat dengan bunyi klik kunci yang memekakkan telinga. Emelia ditinggalkan sendirian dalam kemegahan yang terasa dingin dan asing. Kemewahan di sekelilingnya—tempat tidur kanopi besar dengan tirai beludru tebal, perabotan kayu mahoni yang dipoles, dan permadani Persia yang lembut—sama sekali tidak menenangkannya. Sebaliknya, semua itu menjadi pengingat nyata akan status barunya sebagai tawanan.
Emelia merosot ke lantai, punggungnya bersandar pada pintu yang terkunci. Tangisnya yang tertahan sejak di kereta kini pecah menjadi isakan tersedu-sedu. Ia memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata.
"Apakah hidupku akan berakhir di sini?" bisiknya di antara isak tangis, suaranya parau karena ketakutan dan keputusasaan. "Apakah aku akan mati di tangan Duke yang kejam itu?"
Bayangan ayahnya yang berdiri tak berdaya di ambang pintu rumah mereka terus menghantuinya. Dia telah mengorbankan dirinya demi ayahnya, tetapi ketakutan akan masa depan yang tidak pasti bersama pria sedingin es itu melumpuhkan akal sehatnya. Emelia tidak tahu apa yang diharapkan dari Duke Jasper Gideon, selain julukan "kejam" yang melekat pada pria itu.
Beberapa waktu berlalu, entah berapa lama. Tangisan Emelia mereda menjadi keheningan yang putus asa. Tepat pada saat itulah, terdengar ketukan lembut di pintu.
"Nona Emelia? Ini Gerya. Saya membawakan makan malam Anda," terdengar suara seorang gadis muda dari balik pintu.
Emelia tersentak, jantungnya berdebar kencang. Ia mengusap air matanya dengan cepat dan berdiri dengan kaki yang masih gemetar. Dia membuka pintu, dan di sana berdiri Gerya, seorang pelayan muda dengan seragam rapi dan nampan penuh makanan di tangannya. Mata cokelat Gerya memancarkan simpati yang tulus.
Gerya masuk dan meletakkan nampan di meja kecil dekat jendela. "Silakan makan, Nona. Anda pasti lapar," ujarnya lembut.
Emelia mendekati meja dan duduk. Aroma sup krim hangat dan roti segar mengingatkannya pada kedai rotinya di desa. Ia mencicipi sup itu, rasanya enak, tetapi perutnya seakan menolak.
Gerya menunggu dengan sabar. Ketika Emelia hanya makan sedikit, Gerya memberanikan diri untuk berbicara lagi, nadanya diturunkan menjadi bisikan.
"Maaf, Nona, saya tahu saya tidak seharusnya bertanya, tetapi ... apakah Nona baik-baik saja?"
Mendengar kepedulian yang tulus itu, pertahanan Emelia runtuh lagi. "Aku... aku takut," aku Emelia jujur.
Gerya melihat sekeliling ruangan untuk memastikan privasi mereka. "Semua orang terkejut saat Tuan Duke membawa Nona. Dia tidak pernah membawa siapa pun sebelumnya. Dia seperti... es. Beku."
"Dia bilang aku miliknya," kata Emelia dengan suara pahit, mengulangi kata-kata Duke yang menusuk.
Gerya mengangguk pelan, wajahnya serius. "Itu sebabnya kami semua terkejut. Tuan Duke memang bangsawan paling berkuasa, dan rumor di luar bilang dia kejam dan tidak kenal ampun. Dia sangat menuntut kesempurnaan, dan sangat tertutup."
"Apakah dia benar-benar seburuk itu?" tanya Emelia, mencari setitik harapan.
"Dia adil," kata Gerya hati-hati. "Dia tidak menghukum tanpa alasan yang jelas, dan dia melindungi bawahannya dengan baik. Tapi kehangatan? Tidak ada. Dia seperti patung marmer hidup." Gerya tersenyum tipis. "Tapi Nona, jangan khawatir. Saya di sini. Saya akan bantu Nona sebisa saya selama Nona di sini. Nona tidak sendirian."
Emelia menatap Gerya, merasakan sedikit kehangatan dari keramahan pelayan muda itu. Di tengah takdirnya yang kelam, Gerya menjadi satu-satunya secercah cahaya.
Gerya, melihat kesedihan yang mendalam di mata Emelia, memutuskan untuk mencoba mencairkan suasana. Ia tahu betul aturan ketat Duke, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan gadis malang itu terus terpuruk dalam ketakutan.
"Nona Emelia, tahukah Nona, dulu ada pelayan baru yang mencoba memoles sepatu bot Tuan Duke dengan minyak rambut?" Gerya terkikik geli membayangkan kejadian itu.
Emelia, yang masih tertegun oleh cerita tentang kekejaman sang Duke, menatap Gerya bingung. "Minyak rambut?"
"Ya! Dia pikir itu akan membuatnya lebih mengilap!" Gerya tertawa kecil. "Tuan Duke hanya menatapnya dengan pandangan paling dingin yang pernah saya lihat selama lima detik penuh, dan pelayan itu langsung pingsan di tempat!"
Emelia awalnya terkejut, tapi kemudian bayangan wajah serius Duke Gideon dan seorang pelayan pingsan karena ketakutan yang luar biasa melintas di benaknya, dan tanpa sadar, ia tersenyum kecil, lalu tertawa pelan. Itu adalah tawa pertamanya sejak dia diculik. Gerya ikut tersenyum lega, senang melihat secercah keceriaan di wajah Emelia. Mereka melanjutkan perbincangan ringan, yang sedikit mengalihkan pikiran Emelia dari nasib buruknya.
Malam semakin larut. Gerya pamit undur diri setelah memastikan Emelia memiliki semua yang dibutuhkan. Keheningan kembali menyelimuti kamar megah itu. Emelia berbaring di tempat tidur, tetapi matanya tidak bisa terpejam. Kegelisahan menggerogotinya.
Matanya tertuju pada jendela besar yang tertutup gorden tebal. Dari celah gorden, ia bisa melihat langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Pikirannya mulai liar. Melarikan diri? Bisakah dia?
Emelia bangkit dari tempat tidur, mendekati jendela, dan menyingkap gordennya. Jendela itu cukup tinggi, tetapi di bawah sana, ia bisa melihat halaman luas dan, yang lebih penting, beberapa penjaga berpatroli dengan obor menyala. Pintu terkunci, jendela dijaga. Harapan kecilnya langsung padam. Dia terjebak.
Tepat saat Emelia mematung di dekat jendela, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka tanpa ketukan.
Emelia tersentak kaget, menoleh dengan cepat. Duke Jasper Gideon berdiri di ambang pintu. Jantung Emelia serasa jatuh ke perutnya.
"M-mau lari?" tanya Duke Gideon, suaranya tenang namun ada nada dingin yang terselip.
Emelia panik, tubuhnya gemetar hebat. "Emm, tidak Tuan," ia tergagap, mencari alasan yang masuk akal. "Saya hanya ingin melihat bintang-bintang."
"Benarkah?" Duke Gideon melangkah masuk ke dalam kamar, menutup pintu di belakangnya.
"Benar, Tuan," jawab Emelia, mencoba terdengar meyakinkan, meskipun suaranya masih bergetar.
Saat Duke Gideon semakin mendekat, Emelia terpaku. Matanya membelalak kaget, dan pipinya merona merah padam. Duke itu... dia hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya, memperlihatkan dada bidangnya yang basah kuyup, seolah baru selesai mandi. Air menetes dari rambutnya yang gelap. Emelia segera membuang pandangannya ke lantai, jantungnya berdebar kencang bukan karena takut lagi, tetapi karena rasa malu dan gugup yang luar biasa.
Emelia tetap terpaku, matanya tertuju pada permadani mahal di kakinya, menghindari pemandangan Duke yang hanya berbalut handuk. Rasa gugupnya bercampur dengan keberanian yang muncul entah dari mana.
"Tuan," Emelia memberanikan diri berbicara, suaranya sedikit lebih mantap, "kenapa Anda hanya mengenakan handuk saja?"
Duke Jasper Gideon menghentikan langkahnya tepat di hadapan Emelia. Alih-alih marah karena pertanyaannya yang lancang, senyuman sinis terlukis di bibirnya—senyum pertamanya yang Emelia lihat, meskipun penuh makna tersembunyi.
"Ini untukmu, gadis," jawab Duke dengan suara rendah dan serak, nadanya menggoda.
Emelia mengangkat pandangannya sedikit, bingung dengan jawaban itu. Namun, Duke terus mendekat, langkahnya tenang dan disengaja. Emelia yang panik mulai melangkah mundur, sampai punggungnya menyentuh dinding kamar yang dingin. Duke Gideon terus maju, mengikis jarak di antara mereka, hingga tubuhnya yang tinggi dan bidang menempel di hadapan Emelia, memerangkap gadis itu di antara tubuhnya dan dinding.
Napas Emelia tersengal. Jantungnya berdebar kencang, ketakutan yang murni merayap kembali. Dalam keputusasaan, ia memejamkan mata dan berteriak, "Tuan, saya punya alergi kudis menular! Jangan menyentuh saya!"
Keheningan sesaat melanda ruangan itu. Emelia membuka matanya perlahan, takut akan reaksi Duke.
Duke Jasper Gideon tidak marah. Sebaliknya, tawa puas dan mengejek meledak dari bibirnya, tawa yang dalam dan menggetarkan. Tawa itu tulus, meskipun mengejek Emelia.
"Siapa yang mau menyentuhmu?" ejeknya, tawanya masih tersisa. Duke menjauhkan tubuhnya sedikit, membuat Emelia bisa bernapas lega. Ia mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuh Emelia, melainkan untuk meraih tali gorden di samping kepala Emelia. "Aku hanya ingin menyingkap gorden, gadis kecil. Kau bilang ingin melihat bintang, kan?"
Dengan gerakan cepat, Duke menyingkap gorden tebal itu sepenuhnya, memperlihatkan bulan purnama yang terang dan ribuan bintang di langit malam. Angin malam yang sejuk masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menerpa wajah Emelia yang masih memerah karena malu luar biasa. Duke Gideon melangkah mundur ke tengah ruangan, meninggalkan Emelia sendirian di dekat jendela, tertegun oleh rasa malunya sendiri.