Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.
Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.
Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.
Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tentang aku dan Anna
Aku meletakkan sendok, berdiri setelah merasa cukup kenyang.
“Oh iya, An,” ucapku santai sambil merenggangkan bahu,
“nanti biar gue aja yang jemput Bian. Sekalian mau mampir ke Alfamart—sabun mandi sama parfum gue habis.”
Aku melirik ke arahnya, senyum tengil sengaja kupasang.
“Oh iya… boleh pinjam mobil kesayanganmu nggak?”
Anna menghentikan gerakannya menyuapi Ayyan. Perlahan ia menoleh ke arahku. Tatapannya tajam—tajam sekali—seolah ingin menguliti aku hidup-hidup.
“Kamu itu ya…” desisnya pelan.
Aku terkekeh. “Apa? Gue kan minta baik-baik.”
“Mobil itu bukan mainan, Lif.”
“Justru karena kesayangan makanya gue pinjam. Biar makin berasa,” jawabku tanpa rasa bersalah.
Anna mendengus, lalu kembali fokus ke anak-anak.
“Ambil kuncinya di meja. Tapi satu syarat.”
Aku mendekat sedikit. “Apa?”
“Kalau ada lecet sekecil apa pun…” Anna menatapku datar.
“Gue suruh lo cuci mobil itu tiap hari selama sebulan.”
Rian yang sedari tadi diam ikut melirik kami, sedikit heran melihat dinamika aneh antara aku dan Anna—ribut tapi akrab, kasar tapi penuh kepercayaan.
Aku mengangkat tangan menyerah. “Deal.”
Dalam hati aku tersenyum.
Anna bisa baik sama semua orang.
Tapi denganku?
Kami memang musuh bebuyutan.
Dan justru karena itulah…
dia percaya padaku lebih dari siapa pun.
***
Aku terkekeh kecil, ingatanku melayang jauh ke masa lalu—masa ketika aku dan Anna belum dibebani apa pun selain PR dan hukuman orang tua.
Sekadar info—aku dan Anna tumbuh bersama sejak kecil. Rumah kami saling berhadapan. Sejak bisa jalan, kami sudah kejar-kejaran di halaman, jatuh bangun, ribut tiap hari. Ibarat anak kembar beda orang tua—selalu bersama, selalu berantem.
Tom and Jerry?
Kami versi hidupnya.
Anehnya, sejauh apa pun kami ribut, kami tidak pernah bisa benar-benar dipisahkan. Pernah suatu hari, waktu kami masih kelas satu SMP—kira-kira seusia Bian sekarang—kami nekat mencuri mangga di belakang rumah kakek.
Ya, mencuri.
Padahal kakek sudah jelas melarang. Bukan pelit, tapi takut kami jatuh karena pohonnya tinggi. Tapi namanya juga bocah bandel—makin dilarang, makin penasaran.
Dan sialnya… kami ketahuan.
Bukan sama kakek.
Tapi sama Om Rusli.
Wajah sangar itu masih jelas di kepalaku sampai sekarang.
Tanpa banyak ceramah, kami langsung dihukum. Seharian penuh disuruh ngasih makan ternak di kebun belakang. Aku masih bisa terima… sampai Anna—sepupu bego itu—asal ambil daun buat kambing.
Daun yang ada ulat bulunya.
Kambing paman langsung mati.
Aku dan Anna saling pandang.
Mati gaya.
Hukuman pun naik level.
Kami disuruh jalan kaki ke sekolah selama seminggu penuh. Jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah. Panas. Capek. Tapi anehnya… kami tetap ketawa di jalan, tetap ribut, tetap saling nyalahin.
“Ini gara-gara lo, An!”
“Lah, lo juga ikut manjat!”
“Gue nggak nyuruh lo ngasih daun beracun!”
“Mana gue tahu, Lif!”
Dan di situlah aku sadar sejak dulu—
Seberantem apa pun kami,
sejahat apa pun aku mengejeknya,
aku selalu ada di sampingnya.
Dan sekarang…
melihat Anna berdiri sendiri menghadapi badai ini—
Aku tidak akan pergi.
Tidak kali ini.
BEgitu dekatnya hubungan kami—sampai-sampai di rumah orang tuaku selalu tersedia satu kamar khusus untuk Anna. Kamar itu tidak pernah ditempati siapa pun selain dirinya. Dan itu bukan sekadar kebiasaan, tapi perintah mutlak dari kedua orang tuaku.
“Kalau Anna datang, itu kamarnya,” kata ibu.
Tak ada yang boleh mengganggu. Tak ada yang berani membantah.
Sejak aku dan kakak-kakakku beranjak dewasa, ayah sudah menanamkan satu prinsip yang tak pernah berubah.
“Kamu harus bisa berdiri di atas kakimu sendiri,” katanya tegas.
Artinya sederhana—kami harus bisa menentukan tujuan hidup kami sendiri. Tidak bergantung. Tidak manja pada keadaan.
Itu sebabnya, setelah lulus SMA, aku memilih pergi. Singapura.
Kuliah sambil kerja, mengambil jurusan desain dan arsitektur. Hidup keras, jadwal padat, tidur sering kurang—tapi aku menikmati prosesnya. Aku membangun diriku dari nol.
Sementara itu, Anna memilih jalan yang berbeda.
Ia menikah dengan Bang Rian.
Mengikuti suaminya pindah ke kota ini. Menjadi istri. Menjadi ibu. Menjadi pusat dari rumah tangga kecilnya.
Kami menempuh jalan masing-masing, tapi satu hal tak pernah berubah—
Tempat Anna di hidupku.
Dan sekarang, ketika aku melihatnya mencoba kuat sendirian, menyembunyikan luka di balik ketenangan, aku tahu satu hal pasti—
Apa pun yang terjadi nanti,
Anna tidak akan menghadapinya sendirian.
Tidak selama aku masih berdiri di sini.
semangat thor