NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.3k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jeritan di Balik Uap Hijau

Gerbang Hitam tertutup di belakang mereka dengan suara dentuman logam berat yang bergema seperti lonceng kematian.

Dunia di dalam Cincin Dalam berbeda sepenuhnya dengan kekacauan industri di Cincin Luar atau ketertiban semu di Cincin Tengah. Di sini, udaranya tidak berwarna abu-abu, melainkan hijau pudar. Kabut kimiawi tipis melayang setinggi lutut, berbau seperti tembaga yang dilarutkan dalam asam.

"Pakai maskermu, Kuli," perintah salah satu penjaga berjubah hitam, suaranya teredam di balik topeng gas berbentuk tengkorak besi. "Kecuali kau ingin paru-parumu mencair dalam sepuluh napas."

Liang Wu segera mengenakan masker kulit kasar yang diberikan padanya. Masker itu berbau keringat lama, tapi setidaknya filternya—yang terbuat dari arang aktif dan lumut penyerap racun—masih berfungsi. Dia menghirup napas dalam-dalam. Udara yang masuk terasa kering dan tajam, tapi tidak mematikan.

Mereka mendorong gerobak besi berisi Beruang Iblis yang sedang hamil itu menyusuri koridor batu obsidian yang lebar.

Tidak ada jendela di sini. Penerangan berasal dari bola-bola kristal yang tertanam di langit-langit, memancarkan cahaya putih steril yang dingin. Di sepanjang dinding koridor, terdapat rune-rune penekan berwarna merah yang berdenyut pelan, seirama dengan detak jantung gunung berapi di bawah kaki mereka.

"Hati-hati dengan guncangan," peringat penjaga kedua. "Beruang ini mulai sadar dari obat biusnya. Jika dia mengamuk di sini dan merusak rune dinding, sistem keamanan otomatis akan membakar kita semua menjadi abu."

Seolah menjawab, gerobak besi itu berguncang hebat.

DUG! DUG!

Geraman rendah yang penuh rasa sakit dan amarah terdengar dari dalam. Beruang itu tahu nasibnya.

Liang Wu mencengkeram pegangan gerobak lebih erat. Otot-otot tembaganya menegang, menahan beban tonase monster itu agar tetap stabil.

"Tenang," bisik Liang Wu, bukan pada penjaga, tapi pada beruang di dalam. "Kematianmu akan cepat."

Mereka berjalan selama lima belas menit, melewati berbagai pintu besi yang dijaga ketat oleh golem-golem batu setinggi tiga meter. Akhirnya, mereka tiba di sebuah aula raksasa yang berbentuk kubah.

Kandang Penempaan.

Liang Wu menahan napasnya.

Aula itu dipenuhi oleh ratusan tabung kaca silinder setinggi lima meter yang berjejer rapi seperti pilar-pilar kuil iblis. Di dalam setiap tabung, terendam dalam cairan hijau kental yang bergelembung, terdapat makhluk-makhluk yang menentang hukum alam.

"Indah, bukan?" suara seorang pria terdengar dari atas catwalk besi yang melintang di atas aula.

Liang Wu mendongak.

Seorang pria tua bungkuk dengan rambut putih acak-acakan dan jubah putih yang bernoda darah kering sedang menatap mereka. Dia memegang sebuah papan tulis dan pena bulu. Matanya gila, tapi cerdas.

Tetua Mo, Kepala Divisi Riset Senjata Hidup.

"Kalian terlambat tiga menit," kata Tetua Mo dingin. "Subjek 089 sudah lapar. Buka Pintu Pakan Nomor 4."

"Baik, Tetua!" seru para penjaga.

Mereka mendorong gerobak Liang Wu menuju sebuah lubang palka besar di lantai aula. Palka itu terbuka, memperlihatkan kegelapan lubang sedalam sepuluh meter. Di dasarnya, Liang Wu bisa melihat lantai pasir yang penuh noda darah kering.

"Dorong masuk!"

Liang Wu dan dua penjaga itu memposisikan gerobak di bibir lubang. Salah satu penjaga menarik tuas pembuka pintu gerobak.

KLANG!

Pintu gerobak terbuka.

Beruang Iblis itu, dengan mata merah menyala, melompat keluar. Dia tidak menyerang Liang Wu. Insting keibuannya menyuruhnya lari mencari tempat aman untuk bayinya. Dia melompat ke dalam lubang, berharap itu jalan keluar.

Dia mendarat di pasir dengan dentuman berat.

Beruang itu berdiri, mengaum menantang ke arah atas.

"Bagus," gumam Tetua Mo. Dia menekan sebuah tombol di panel kontrolnya. "Lepaskan Subjek 089."

Di dasar lubang, sebuah gerbang besi di sisi dinding terbuka perlahan.

Liang Wu mendekat ke pagar pembatas, melihat ke bawah.

Dari kegelapan gerbang itu, melangkah keluar sesosok makhluk humanoid.

Tingginya sekitar dua setengah meter. Kulitnya pucat mayat, dijahit dengan benang kawat kasar di berbagai tempat. Yang paling mengerikan adalah lengannya. Kedua lengannya telah diamputasi sebatas siku, dan digantikan dengan bola besi berduri raksasa yang ditanam langsung ke tulang.

Wajah makhluk itu tertutup helm besi yang dilas mati ke tengkoraknya, hanya menyisakan celah untuk mata dan mulut yang penuh gigi besi.

"Itu..." batin Liang Wu terguncang.

Dia bisa merasakan Qi dari makhluk itu. Qi-nya kacau, campuran antara Qi manusia dan Qi monster. Setara dengan Pembentukan Pondasi Awal.

"Makan," suara Tetua Mo menggema lewat pengeras suara sihir.

Subjek 089 tidak meraung. Dia tidak berlari. Dia hanya berjalan mendekati beruang itu dengan langkah mekanis yang berat.

Beruang Iblis itu, yang biasanya merupakan predator puncak hutan, mundur ketakutan. Dia bisa merasakan ketiadaan jiwa pada lawannya.

Beruang itu menyemburkan bola api dari mulutnya.

BUM!

Api menghantam dada Subjek 089. Kulit pucatnya hangus, tapi makhluk itu tidak berhenti. Dia tidak merasakan sakit.

Saat jarak mereka tinggal dua langkah, Subjek 089 mengayunkan tangan bola besinya.

SWUSH!

Gerakannya sangat cepat, kontras dengan tubuh besarnya.

CRAK!

Bola besi itu menghantam kepala beruang. Tengkorak beruang itu hancur seketika seperti semangka busuk. Darah dan otak muncrat ke dinding lubang.

Beruang itu mati tanpa sempat menjerit.

Subjek 089 berdiri di atas bangkai itu. Dia menunduk, lalu mulai memakan daging beruang itu dengan rakus menggunakan mulut besinya, merobek perut beruang untuk mencari janin di dalamnya—sumber Qi murni yang paling dia butuhkan.

Di atas, Tetua Mo mencatat dengan cepat.

"Respon motorik meningkat 15%. Agresi stabil. Nafsu makan normal. Bagus. Subjek ini siap untuk tahap penanaman Inti Iblis."

Liang Wu mencengkeram pagar pembatas hingga besinya penyok sedikit. Dia segera melepaskan cengkeramannya sebelum ketahuan.

Ini bukan sekadar kekejaman terhadap hewan.

Dia melihat kaki Subjek 089.

Di pergelangan kakinya, terdapat sisa kain celana yang sudah compang-camping. Kain biru dengan pola awan putih.

Seragam murid Sekte Awan Langit.

Makhluk di bawah sana... dulunya adalah manusia. Seorang kultivator dari sekte aliansi lain. Mungkin murid yang hilang, atau diculik.

"Hei, Kuli," panggil penjaga, menepuk bahu Liang Wu. "Jangan dilihat terus. Nanti kau mimpi buruk. Ayo, kita harus ambil gerobak lagi."

Liang Wu berbalik. Matanya di balik lubang masker menatap tajam ke arah Tetua Mo di atas sana.

"Tunggu," kata Tetua Mo tiba-tiba.

Langkah Liang Wu terhenti. Jantungnya berdegup kencang. Apakah dia ketahuan?

"Kau. Yang pakai topeng kulit," tunjuk Tetua Mo dengan pena bulunya.

Liang Wu membungkuk kaku. "S-saya, Tetua?"

"Kau punya struktur tulang yang menarik," kata Tetua Mo, matanya menyipit meneliti tubuh Liang Wu dari kejauhan. "Bahu lebar. Leher tebal. Dan caramu berdiri... kau menahan beban gerobak tadi sendirian saat temanmu terpeleset sedikit. Kekuatan fisikmu tidak wajar untuk kuli biasa."

"Saya... saya dulu kuli tambang di Kawah Besi, Tetua. Makan batu dan tidur di atas bara," jawab Liang Wu dengan suara parau yang dibuat bodoh.

"Hmm. Kuli tambang. Bahan dasar yang bagus," gumam Tetua Mo, seolah sedang menilai sepotong daging di pasar. "Siapa namamu?"

"Tie."

"Tie. Besi. Nama yang cocok. Diaken Wang yang mengirimmu?"

"Benar, Tetua."

"Katakan pada Wang Ba... aku butuh 'sukarelawan' untuk uji coba serum Darah Naga minggu depan. Jika dia mengirimmu, aku akan memberinya bonus dua kali lipat."

Darah Liang Wu menjadi dingin.

Sukarelawan. Itu kode halus untuk "bahan percobaan yang akan mati".

"S-saya akan sampaikan, Tetua," jawab Liang Wu, pura-pura ketakutan (yang sebagian nyata).

"Pergilah."

Liang Wu dan para penjaga bergegas keluar dari aula itu.

Begitu mereka berada di koridor lagi, penjaga itu tertawa pelan. "Wah, nasibmu buruk, Kawan. Kalau Tetua Mo sudah menandaimu... umurmu tidak akan panjang. Saranku? Nikmati gajimu minggu ini. Sewa pelacur, minum arak mahal. Karena minggu depan..."

Penjaga itu membuat gerakan memotong leher.

Liang Wu tidak menjawab. Pikirannya berputar cepat.

Dia punya waktu satu minggu.

Satu minggu sebelum Diaken Wang—yang pasti akan tergiur bonus dua kali lipat—menjualnya ke Tetua Mo untuk dijadikan monster seperti Subjek 089.

Tapi di balik ketakutan itu, ada peluang.

Serum Darah Naga.

Jika Liang Wu bisa mendapatkan serum itu tanpa menjadi subjek eksperimen... itu bisa menjadi kunci untuk menembus batas fisiknya. Darah Naga adalah salah satu bahan legendaris untuk Penempaan Tulang Iblis Tingkat 3.

Liang Wu tersenyum di balik maskernya. Senyum serigala yang melihat domba gemuk.

"Terima kasih atas sarannya," kata Liang Wu tenang. "Tapi aku tidak suka arak. Aku lebih suka... daging."

Malam itu, di kamar asramanya, Liang Wu tidak tidur. Dia mengeluarkan token keluarga Zhao.

Rencananya harus dipercepat. Dia tidak bisa menunggu dua minggu. Dia harus bergerak sekarang.

Dia mengambil kertas dan kuas. Dia mulai menulis surat palsu.

"Paman Wang yang terhormat. Saya, Zhao, telah tiba di penginapan 'Bulan Sabit' di Cincin Tengah. Saya membawa barang yang Paman minta. Tapi saya merasa diawasi. Tolong kirim orang kepercayaanku—si Tie itu—untuk menjemput barang ini secara rahasia malam ini. Jangan bawa pengawal lain."

Liang Wu melipat surat itu.

Dia akan memancing Wang Ba keluar dari sarangnya. Dan dia akan menggunakan keserakahan pria tua itu sebagai tali gantungannya.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!