NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:261
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KETEGANGAN

Arum menoleh ke arah jam dinding, jarum yang menunjuk pukul tiga sore seakan menegaskan bahwa hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, lega karena pekerjaan hari ini telah rampung. Sesuai jadwal hari Sabtu, ia bisa pulang tanpa terburu-buru, menyisakan waktu untuk dirinya sendiri.

Sebelum beranjak, Arum masuk ke kamar mandi. Ia merapikan seragamnya yang sedikit kusut dan mencuci muka untuk membuat wajahnya tampak lebih segar. Ia sengaja tidak menambahkan riasan, ingin tetap terlihat alami saat keluar dari kantor. Setelah memastikan semuanya rapi, ia melangkah keluar dengan langkah ringan.

"Pacar kamu tuh... udah jemput." Sahut Tari, membuat mata Arum mengikuti gerak mata wanita yang menggodanya tadi pagi memandang. "Aku jadi iri deh sama kamu."

Nampak Langit tengah berdiri di sisi mobilnya. Tubuhnya tegap bersandar santai di dekat pintu pengemudi, satu tangan dimasukkan ke saku celana, sementara tangan lainnya menggenggam ponsel. Ia mengenakan kemeja kasual berwarna gelap dengan lengan digulung hingga siku, dipadukan dengan celana panjang sederhana yang memberi kesan rapi namun tetap santai. Sementara, sepatu kasual yang dikenakannya semakin menegaskan gaya bersahaja itu.

Arum hanya tersenyum, "Aku pulang duluan, ya."

Tari mengangguk. "Take care!" Katanya sambil melambaikan tangan ke arah Arum yang mulai pergi meninggalkan isi toko dan semua beban kerjanya hari ini.

Langkah Arum sempat melambat begitu ia melangkah keluar. Udara sore menyambutnya, dan di saat yang sama, pandangannya langsung tertuju pada Langit. Pria itu pun kemudian menatapnya dengan senyum hangat, disertai lambaian tangan kecil yang seolah hanya ditujukan untuknya. Tanpa sadar, Arum mempercepat langkah, mendekat.

“Hai, sayang. Gimana kerjaan kamu hari ini? Lancar?” Sapa Langit lembut.

“Iya, Mas, lancar.” Jawab Arum ringan. “Kuliah kamu gimana?”

Langit mendesis pelan, wajahnya sedikit menyiratkan lelah. “Pusing,” Ujarnya jujur. Lalu sorot matanya berubah, menatap Arum lebih dalam. “Tapi semangat lagi kalau sekarang aku lihat kamu,” Celetuknya tanpa ragu.

“Gombal kamu, Mas,” Sahut Arum sambil menggeleng kecil, berusaha menyembunyikan senyum yang mulai merekah.

“Mas serius,” Kata Langit, nadanya kini lebih dalam dan sungguh-sungguh.

Ucapan itu membuat Arum terdiam sesaat. Hangat menjalar ke wajahnya, pipinya merona halus. Ia menunduk sedikit, jantungnya berdetak lebih cepat, sementara senyum kecil tak bisa ia sembunyikan. Tatapan Langit yang penuh ketulusan membuatnya merasa dihargai, diperhatikan—dan dicintai untuk pertama kali oleh seorang pria, tanpa perlu kata yang berlebihan.

"Oh ya, Mas..." Lanjut Arum. "Tadi pagi... aku sempat lihat kamu lagi telponan. Siapa Mas?"

"Cinta pertama aku."

Mata Arum membulat sempurna. Raut wajahnya mendadak cemas dan khawatir. "Ci-Cinta pertama?" Ulangnya, memastikan ia tak salah mendengar.

Langit mengangguk mantap.

"Kamu selingkuh, Mas?!"

Namun alih-alih terlihat bersalah, Langit justru tertawa. Tawa ringan itu pecah begitu saja, melihat reaksi Arum yang begitu polos dan jujur. Ia menggeleng kecil, jelas menikmati kecemburuan yang tanpa sengaja terbit di wajah Arum.

"Mas aku serius!" Lanjut Arum. "Jadi benar... wanita tadi pagi itu cinta kedua kamu, Mas?!" Desaknya. "Atau ada yang lain...?"

“Ada.” Langit mengangguk, sengaja memasang raut wajah seserius mungkin. Tatapannya lurus, nyaris tanpa celah untuk dibaca sebagai candaan. “Dan itu bukan Viona, wanita yang kamu temui tadi pagi,” Jelasnya perlahan.

Ucapan itu justru membuat Arum semakin tegang. Jantungnya berdegup lebih cepat, pikirannya dipenuhi kemungkinan yang tak ingin ia akui. Wajahnya pucat sesaat, bibirnya terkatup rapat, sementara matanya menatap Langit dengan campuran bingung, cemas, kecewa, dan takut kehilangan, semua campur aduk menjadi satu. Jelas-jelas, tadi pagi Langit mengucapkan cintanya dan sekarang...

“Jahat kamu, Mas!” Ucap Arum dengan suara bergetar. Bola matanya nanar, berkaca-kaca, seolah menahan perasaan yang mendadak menyesak di dadanya.

"Kamu kok gak nanya kelanjutannya, cinta pertama aku siapa." Goda Langit, namun wajahnya masih datar.

"Siapa, Mas?!"

"Namanya Laura."

Arum menelan saliva. Ia tertunduk lemah, bahkan nama itu mengalahkan kecantikan namanya. Tak bisa dibayangkan seperti apa wanita yang Langit miliki. Batinnya.

"Dia ibu aku." Tandas Langit. "Cinta pertama dan terakhir aku."

Arum seketika tersentak. Kalimat itu menghantam kesadarannya, membuat seluruh kekhawatiran yang sempat menghancurkan perasaannya runtuh begitu saja. Dadanya yang tadi terasa sesak mendadak lapang, napasnya kembali teratur. Namun sebelum ia sempat benar-benar lega, tawa Langit pecah—ringan, puas, seolah sengaja menikmati kepanikan yang barusan ia ciptakan.

Reaksi Arum sontak berubah. Perasaan yang semula hampir menangis kini beralih menjadi jengkel. Tanpa ragu, ia mencubit lengan Langit lalu memukul dadanya pelan dan penuh protes.

“Ngeselin banget kamu, Mas!” Serunya, suaranya masih bergetar, sisa emosi yang belum sepenuhnya reda.

Langit meringis, tertawa tertahan sambil berusaha menghindar. Tubuhnya sedikit mundur, kedua tangannya terangkat seolah menyerah, meski senyum di wajahnya tak juga pudar—senyum seseorang yang tahu, di balik cubitan dan pukulan kecil itu, ada rasa lega dan sayang yang tak terucap.

"Iya udah, ampun!" Gumam Langit mencoba meraih kedua lengan Arum yang liar. "Maafin aku ya, sayang..."

Arum berhenti. "Kamu tahu gak si, Mas... ucapan kamu baruan buat aku takut."

"Sssst.... sssst. Iya sayang, maafin aku ya." Lirih Langit sambil mengusap lembut wajahnya, padahal belum sempat air mata itu jatuh. "Ibu aku tadi telpon, dia mengundang kamu untuk makan malam bersamanya malam ini."

Arum tertelan, "Ma-makan malam?"

Langit mengangguk. "Dia ingin ketemu kamu."

"Mas..."

"Kenapa, sayang?"

"A-Aku..." Arum tertunduk. "Aku gak yakin kalau aku—"

"Sssst... sayang," Sela Langit mengusap lembut punggung jemari Arum, menenangkan. "Kamu berharga buat aku,"

"Iya, Mas." Balas Arum cepat. "Aku tahu itu. Tapi, belum tentu kata mereka, Ibu kamu."

"Kamu gak usah khawatir, ya. Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada bersama kamu."

"Mas, tapi..."

“Sekarang…” Sela Langit pelan, meraih jemari Arum yang masih sempat mencubit lengannya. Nada suaranya melunak, berbeda dari godaan Barusan. “Aku akan antar kamu ke salon dan butik. Supaya kamu semangat buat ketemu Mama aku nanti malam.”

Arum terdiam sesaat. Jantungnya kembali berdebar, kali ini bukan karena cemas, melainkan gugup. Ia menatap Langit, mencoba membaca kesungguhan di wajah pria itu. Bayangan pertemuan dengan ibunya Langit membuat perasaannya kembali campur aduk—antara takut, grogi, dan ingin terlihat sebaik mungkin.

“Kamu nggak perlu takut,” Lanjut Langit lembut, seolah memahami kegundahannya. “Buat aku, kamu sudah cukup. Dan, Mas mau kamu percaya diri.”

Ucapan itu membuat Arum mengangguk pelan. Senyum kecil terbit di wajahnya, disertai tarikan napas dalam. Dengan Langit di sisinya, ketegangan itu terasa sedikit lebih ringan, meski malam nanti tetap menjadi sesuatu yang mendebarkan.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!