Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 8
"Ja-ngan... ja-ngan..." pinta Alea lirih, suaranya begitu pelan hingga nyaris tak terdengar.
Alea meremas sprai di bawahnya sekuat tenaga, seolah ingin menyalurkan semua rasa sakit dan ketakutan akibat perlakuan kasar Faizan di atas ranjang.
---
“Setahuku, kalau seorang perempuan pertama kali disentuh hingga mengeluarkan darah, itu artinya dia belum pernah bersama siapa pun sebelumnya. Jadi, Faiz… kaulah orang pertama yang menyentuhnya,” ucap Fandi dengan nada berat pada Faizan
Faizan terdiam. Setelah melampiaskan amarah dan emosinya pada Alea, barulah ia menyadari ada sesuatu yang salah. Pandangannya jatuh pada wajah Alea yang memejam, terlihat pucat. Gadis itu bahkan tidak lagi bersuara, seolah seluruh tenaganya hilang begitu saja. Saat itu juga Faiz mulai merasakan beban besar dari tindakannya yang tanpa perasaan.
Faiz kebingungan. Akhirnya, ia tiba di apartemen Fandi, meninggalkan Alea yang dalam keadaan kacau dan bahkan sudah tidak sadarkan diri.
Tanpa ragu, Syakir menceritakan semuanya pada Fandi sahabat dekatnya. Saat ini, ia benar-benar butuh seseorang untuk mendengar kegelisahan di hatinya.
“Apa kamu melihat sendiri dia bersama laki-laki lain? Dari penampilannya, dia terlihat perempuan yang polos. Saat pertama kali aku melihatnya, aku bisa merasakan bahwa dia gadis lugu,” kata Fandi setelah mendengar semua cerita Faizan.
“Tidak mungkin… dia itu seorang pelacur. Aku yakin itu,” ujar Faizan tetap dengan keyakinan awalnya.
“Bagaimana kalau ternyata dia tidak seburuk yang kamu pikir?”balas Fandi, membuat Faizan merasa tidak nyaman karena Fandi memuji Alea di hadapannya.
“Di sini aku yang tidak paham denganmu, Faiz. Kamu datang ke sini untuk meminta pendapat, tapi ketika aku memberikannya, kamu malah marah,” lanjut Fandi dengan nada tenang.
“Sebenarnya, Faiz, kamu sendiri bisa melihat kebenarannya. Bukankah kamu sudah menyentuhnya? Sebagai laki-laki dewasa dan cerdas, seharusnya kamu bisa membedakan mana perawan dan yang tidak perawan. Tapi sepertinya, kebencian di kepalamu membuatmu menolak untuk percaya,” jelas Fandi panjang lebar.
Faizan terdiam. Dalam hati ia tahu ucapan Fandi ada benarnya. Setiap kali ia melihat Alea yang ketakutan, wajah tegang gadis itu selalu membuatnya bertanya-tanya.
“Waaah, sobat gue akhirnya sudah nggak perjaka lagi nih! By the way, sudah mandi besar belum, Bro?” celetuk Fandi dengan nada jahil, matanya menyipit penuh godaan.
Faizan langsung menyambar bantal di sampingnya dan melemparkannya ke arah Fandi.
“Dasar mulut nggak ada filter!” seru Faizan, sementara Fandi tertawa terbahak-bahak sampai hampir jatuh dari sofa.
“Heh, serius. Sudah mandi besar belum?” ulang Fandi, kali ini menahan senyum supaya tidak ketahuan terlalu menggoda.
“Sudah!” Faizan menjawab ketus, tapi justru membuat Fandi meledak tertawa lebih keras.
“Wih, mantap! Selamat datang di dunia orang dewasa!” goda Fandi sambil menepuk-nepuk pundaknya.
Belum sempat Faizan membalas, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Mama muncul di layar.
“Siapa tuh?” tanya Fandi, masih dengan wajah penuh kepo.
“Mama,” jawab Faizan singkat.
Mata Fandi langsung melotot.
“Cepat angkat! Jangan-jangan Mamamu sudah pulang dan siap interogasi!” serunya dramatis.
Faizan mendengus kesal tapi tetap menekan tombol hijau, bersiap menghadapi kemungkinan yang lebih menegangkan daripada godaan Fandi barusan.
“Assalamu'alaikum, Ma,” sapa Faizan sedikit ragu, matanya melirik Fandi yang sudah siap-siap pasang telinga.
“Wa'alaikumsalam,” suara sang Mama terdengar dari seberang, nadanya tenang tapi menyimpan sesuatu yang bikin bulu kuduk Faizan merinding. “Faizan, Mama sudah di rumah. Kamu di mana?”
Faizan refleks menegakkan badan. “Eee... Faizan lagi di apartemen Fandi, Ma. Kenapa, Ma?”
“Cepat pulang. Mama mau bicara. Penting.” Suara Mama kali ini terdengar seperti bel berbunyi di ruang sidang—pendek, jelas, dan bikin Faizan deg-degan.
Fandi langsung menutup mulutnya menahan tawa. Dia berbisik, “Waduh, Bro, kayaknya surat panggilan sudah turun dari pengadilan rumah tangga.”
Faizan melotot ke arah Fandi, tangannya menutupi ponsel supaya suara Fandi tidak terdengar Ibu Maisaroh. “Diam, lo! Ini serius!” desisnya.
“Faizan?” panggil sang Mama dari seberang, nadanya makin tegas.
“I-iya, Ma. Faiz pulang sekarang,” jawab Faizan cepat-cepat, lalu menutup panggilan.
Fandi langsung meledak tertawa. “Wahahaha! Selamat, Bro! Sidang pleno menantimu di rumah!”
Faizan hanya mendesah panjang, wajahnya sudah pasrah.
---
Faizan dan Fandi meluncur pulang dengan motor, angin malam menerpa wajah Faizan yang mulai pucat. Di sepanjang perjalanan, Fandi tidak berhenti menggoda.
“Eh Iz, serius nih... kalau Mama lo sudah pasang suara nada tinggi, biasanya sidangnya lama tuh,” godanya sambil tertawa.
“Fan, sumpah, kalau lo nggak bisa diem, gue turunin di pinggir jalan,” balas Faizan ketus, tapi jelas-jelas gugup.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah. Lampu ruang tamu menyala terang, tanda ada “persidangan” menunggu.
Faizan menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Di ruang tamu, Ibu Maisaroh duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya? Dingin.
“Assalamu'alaikum, Ma...” sapa Faizan pelan, mencoba tetap tenang.
“Wa'alaikumsalam,” jawab Ibu Maisaroh singkat, tanpa senyum sedikit pun. “Duduk.”
Faizan langsung duduk, sementara Fandi yang ikut masuk malah nyelonong ke dapur, pura-pura mencari minum padahal mau jadi penonton sidang gratis.
Ibu Maisaroh menatap Faizan lekat-lekat. “Faizan, Mama cuma mau satu hal: Mama harap kamu jujur.”
Faizan menelan ludah. “Maksud Mama...?”
Ibu Maisaroh memutar mata jengah. “Kamu kira Mama nggak tahu? Kamu apakan mantu Mama?”
Fandi di dapur hampir tersedak air minum karena menahan tawa. Faizan langsung panik. “M-ma! Faiz bisa jelasin—”
Mama mencondongkan tubuh, menatap tajam. “Mama tunggu penjelasanmu sekarang.”
Suasana berubah hening. Faizan tahu, malam ini bisa jadi malam terpanjang menanggung malu dalam hidupnya. Faizan merasakan jantungnya berdetak semakin kencang. Ruang tamu yang tadi terasa hangat kini seolah berubah menjadi ruang interogasi.
“Faizan,” suara Mama terdengar bergetar tapi tegas. “Jangan bikin Mama kecewa. Mama sudah anggap mantu Mama itu seperti anak sendiri. Kalau sampai dia terluka karena kamu...”
Kata-kata sang Mama terhenti, tapi sorot matanya bicara lebih banyak daripada ribuan kalimat.
Faizan meremas kedua tangannya sendiri. “Ma... ini nggak seperti yang Mama bayangkan,” ujarnya pelan, suaranya nyaris serak.
Tiba-tiba, dari arah tangga terdengar suara langkah kaki. Menantu Ibu Maisaroh itu wajahnya pucat, mata sembab—muncul dengan tangan bergetar.
“Ibu...” suaranya lirih namun jelas.
Fandi, yang tadinya hampir tertawa, kini terdiam total. Faizan memandang Alea dengan wajah serius dan penuh kecemasan.
“Faizan!” suara Mama meledak kali ini. “Lihat Alea! Dia sampai ketakutan seperti itu! Bahkan hampir tidak bisa berjalan! Kamu apakan dia!”
Faizan mengusap wajahnya dengan kasar. Wajah pria itu pucat pasi. Suasana di ruang tamu berubah mencekam, seolah udara mendadak menjadi dingin dan berat. Dia tidak ingin menanggung malu seumur hidup setelah jujur pada sang Mama bahwa dirinya sudah menyentuh Alea.
...----------------...
Bersambung...