Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pariyem
“Maaf mengganggu, Mas Adlan.”
“Tidak apa-apa Pak RT, ada apa?”
“Begini Mas Adlan, ini warga sedang rame gara-gara ada desas-desus kalau pernikahan Mas Adlan dan Dinda viral. Maaf lho, Mas!”
Mendengarnya. Adlan menjelaskan perihal pernikahan yang sempat membuat oorang-orang menghujat Dinda. Adlan juga menjelaskan jika semuanya sudah diurus sesuai dengan hukum berlaku dan sekarang sudah tidak ada masalah lagi.
Sayangnya, hanya menjelaskan kepada Pak RT tidak bisa meredakan warga yang sudah menambahi dan mengurangi apa yang mereka dengar. Akhirnya Adlan mengatakan akan kembali dan menjelaskannya secara langsung agar tidak ada lagi yang salah paham.
Pak RT setuju dan mengatakan jika beliau akan mengumpulkan warga saat Adlan dan Dinda sudah di rumah.
“Sayang, besok kita pulang!”
“Apa ada masalah?”
“Biasa. Warga sedang membicarakanmu.” Dinda hanya bisa menghembuskan nafas dalam.
Tanpa bertanya, ia sudah bisa menebak apa yang mereka bicarakan tentangnya. Meskipun desanya tidak terlalu pelosok sampai tidak ada sinyal, penerimaan berita dan hal-hal yang sedang tren, memerlukan waktu untuk mereka tahu karena tidak banyak yang bermain sosial media.
Mungkin sekarang mereka sedang bertanya-tanya karena tidak semua video yang ramai saat itu bisa dihapus. Masih ada beberapa oknum yang menyimpan konten tersebut.
Ditambah pemikiran mereka yang belum bias membedakan kabar hoax dan benar, membuat mereka hanya mendengar apa yang dikatakan dan tidak peduli bagaimana cerita aslinya.
“Maafkan aku, Oppa.”
“Kenapa minta maaf?”
“Gara-gara aku, Oppa selalu berurusan dengan mereka.”
“Kamu itu istriku. Tentu saja aku harus berurusan dengan orang-orang yang mengganggumu.”
Dinda memeluk tubuh suaminya, mencari kekuatan di sana. Sungguh ia merasa tidak percaya diri saat ini karena bagaimanapun benarnya mereka, orang akan tetap mengingat apa yang sudah mereka dengar.
Apalagi jejak digital yang susah dihilangkan. Jika bukan warga desa, akan ada orang yang mencemoohnya saat melihat video itu kelak.
Cup!
“Tenang saja! Aku akan selalu ada untukmu.” Kata Adlan yang kemudian melepaskan pelukan Dinda.
Dengan Gerakan cepat mereka telah menyatukan bibir. Sayangnya, mereka harus berhenti karena ada tamu datang.
Adlan membukakan pintu dengan wajah datar. Ia tidak bisa menebak siapa yang mendatangi rumahnya malam-malam karena sang mama sudah mengatakan tidak akan datang.
“Untuk apa Anda ke mari?” tanya Adlan saat melihat wajah sang papa.
“Kamu tidak mempersilahkanku masuk?”
“Tidak perlu masuk kalau ke mari hanya untuk mencela istriku!”
“Maaf. Papa yang salah. Papa hanya mendengarkan satu pihak, tanpa tahu kebenarannya.”
“Kenapa diam di situ, Kak?” tanya Dinda yang telah melapisi pakaiannya.
“Papa…” panggil Dinda saat tahu Papa Adlan yang ada di depan pintu.
Dinda menarik tangan Adlan dan mempersilahkan Papa Adlan duduk. Adlan menurut saja dan duduk di ruang tamu bersama sang papa, sementara Dinda ke dapur mengambilkan minuman untuk papa mertuanya.
Melihat Dinda yang tidak membencinya, bahkan menghormatinya, Pak Aldi kembali diserang rasa bersalah. Awal pertemuan mereka tidak bisa dihapus begitu saja, meski kini ia telah tahu kebenarannya.
“Maksud kedatangan Papa ke mari adalah untuk meminta maaf kepada Dinda. Papa sudah tahu kebenarannya. Maafkan Papa, Dinda.” Kata Pak Aldi setelah Dinda menyuguhkan minuman dan camilan.
“Aku sudah memaafkan, Papa. Lagi pula tidak ada yang perlu dimaafkan karena Papa melakukannya karena tidak tahu kebenarannya.” Jawab Dinda yang segera membuat Pak Aldi tersenyum lega.
Adlan hanya datar karena sudah tahu istrinya akan mengatakan apa.
“Apa kamu tidak marah dengan Meri?”
“Meri? Tidak, Pa. Dia melakukannya karena menyukai Kak Adlan. Aku bisa mengerti. Tapi aku juga kesal karena caranya. Tapi sekarang semuanya sudah jelas, jadi tidak masalah.”
“Kamu yakin?” Dinda menganggukkan kepalanya.
Meski tidak yakin, di dalam hati Dinda meyakinkan dirinya akan melawan Meri jika terjadi hal serupa di masa depan. sekalipun mengorbankan profesinya, ia akan melakukannya karena ia tidak bisa selamanya mengandalkan Adlan, suaminya.
“Kamu anak yang baik. Ayahmu tidak hanya berhasil membesarkanmu dengan baik, tetapi juga menjadi panutan. Aku merasa malu jika berhadapan dengan beliau.”
“Kalau sudah, pulang sana! Ini sudah malam.” Kata Adlan tanpa menutupi ketidaksukaannya.
“Baiklah! Aku akan berkunjung lain kali.” Pak Aldi pasrah.
Memaksakan hubungannya dengan Adlan tidak akan membuahkan hasil, tetapi ia masih punya harapan karena terlihat anaknya sangat menghargai istrinya. Mungkin dengan mendekati Dinda, ia bisa memperbaiki hubungan ayah dan anak sedikit demi sedikit.
“Oppa kenapa ketus begitu dengan Papa?”
“Bukankah Mama sudah cerita?”
“Setidaknya jangan ketus, Oppa. Bagaimanapun, Papa adalah orang tua. Tanpa Papa, tidak akan Oppa.”
“Salahnya sendiri.” Adlan masih tidak mau mengalah.
Ia sudah kehilangan figur seorang papa sejak kecil. Untuk mengakuinya, ia tidak akan berpikir karena selama ini Pak Lilik yang berjasa, bukan papanya yang hanya punya status.
Dinda tidak lagi membahas Pak Aldi karena tidak ingin membuat suaminya semakin kesal. Biarkan waktu yang memperbaiki hubungan keduanya. Ia akhirnya mengajak suaminya untuk beristirahat karena malam makin larut.
Tentu saja mereka berolahraga lebih dulu untuk menyalurkan api yang membara, sebelum akhirnya memejamkan mata menjemput mimpi.
Keesokan harinya, keduanya menitipkan rumah kepada Mak Tum. Sebelum kembali ke desa, mereka juga menyempatkan mampir rumah Mama Adlan untuk berpamitan.
“Pak tua itu ke rumah kalian semalam?” tanya Mama Adlan.
“Mama tahu dari mana?”
“Abaikan saja kalau dia datang!”
“Aku mengabaikannya, tetapi menantu Mama yang baik hati ini mempersilahkannya masuk dan menyuguhinya teh.”
“Maaf, Ma.” Dinda merasa bersalah.
“Mama tidak menyalahkanmu. Kamu sudah melakukan yang seharusnya. Mama hanya khawatir kalau Adlan berkelahi dengan Pak tua itu!”
“Tenang saja, Ma. Selama ada aku, Oppa tidak akan berkelahi dengan Papa.”
“Kamu sudah memaafkannya?” tanya Mama Adlan yang mendengar panggilan “Papa” dengan lancar diucapkan Dinda.
“Beliau sudah minta maaf, Ma.”
“Jangan terlalu dekat dengan Pak tua itu!”
“Iya, Ma.” Dinda memeluk lengan Mama Adlan menenangkan beliau.
Mama Adlan mengusap bahu Dinda dengan lembut. Hari yang semakin Terik, membuat keduanya berpamitan untuk segera kembali ke desa karena ada janji setelah dzuhur dengan Pak RT.
Tahu anak-anaknya masih menghadapi masalah semalam, Mama Adlan hanya bisa mendoakan keduanya bisa sama-sama menghadapinya karena beliau tidak bisa terus ikut campur urusan anak dan menantunya.
Masalah akan menempa keduanya menjalani kehidupan pernikahan.
“Doa terbaik untuk kalian berdua.” Batin Mama Adlan.
Dinda dan Adlan akhirnya sampai di rumah. Hal pertama yang mereka lakukan adalah membersihkan rumah yang berdebu setelah hampir 10 hari mereka tinggalkan.
Selesai membersihkan rumah, Dinda memasak makan siang dengan bahan yang sebelumnya ia bawa. Adlan ke halaman belakang untuk melihat ikan di kolam.
“Pakan masih aman, besok sepertinya pas buat panen.” Gumam Adlan melihat ikan nila di kolam sudah seukuran telapak tangannya.
Adlan segera menghubungi Lek Muklis untuk meminta bantuan panen.
Dinda yang sudah selesai membuat makan siang, membawa nasi dan lauk ke saung. Adlan menyambut istrinya setelah membersihkan meja yang ada di saung. Keduanya makan siang di saung, kemudian masuk ke dalam rumah untuk melaksanakan sholat dzuhur.
Tepat setelah keduanya selesai sholat, pintu rumah di ketuk dari luar. Tentu saja mereka tahu siapa yang datang. Mungkin warga sudah tidak sabar, makanya begitu bakda dzuhur mereka datang.
Begitu pintu dibuka, Pak RT dan beberapa warga masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Dinda menyuguhkan air mineral dan kue yang dibelinya di jalan tadi.
Adlan segera menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada semua warga yang hadir. Beberapa percaya dengan apa yang dikatakan Adlan, tetapi beberapa meragukannya.
“Memangnya kalau sudah klarifikasi seperti ini, bisa mengubah kenyataan kalau Dinda itu merebut pasangan orang?” tanya Pariyem dengan nada mengejek.
Adlan menghembuskan nafas dalam untuk meredakan emosinya. Menghadapi orang seperti membuatnya sangat malas.
“Kalau Anda tidak percaya, terserah. Yang pasti, jika masih terdengar gosip tentang Dinda, jangan salahkan saya melaporkannya ke pihak berwajib!”
“Kalian orang kota mainnya polisi! Apa kalian tidak tahu kalau menangkap sembarangan itu melanggar hukum?” Pariyem tidak terima.
“Selama kami benar, kami akan dilindungi hukum”
“Lek Pariyem, aku menghormatimu sebagai orang tua, tetapi jangan melebihi batas!” Dinda buka suara.
“Apa maksudmu?”
“Saya tidak merebut suami siapa pun dan saya menikah resmi secara agama dan negara. Apa perlu saya perjelas agar Lek Pariyem paham maksud perkataan saya? Tapi saya tidak tanggung kalau Lek Pariyem berakhir malu.” Kata Dinda dengan penuh penekanan.
Beberapa wargasegera paham apa yang Dinda maksud karena mereka tahu. Pak RT sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dinda pendiam dan tidak pernah ikut campur masalah yang ada di desa selama ini, karena tidak ada yang mengusiknya.
Bukan berarti Dinda tidak tahu apa-apa. Tentu dia tahu semua yang terjadi di desa mereka, termasuk skandal Pariyem dan keluarganya.
Sekarang ini justru Adlan yang bertanya-tanya. Kenapa perkataan Dinda bisa langsung membungkam Pariyem, dibandingkan dengan ancamannya?