NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:321
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 8

Zia duduk di samping Aksa dengan antusias. Tangannya menyentuh stik game milik Aksa dengan ragu.

“Gimana cara mainnya?” tanyanya dengan mata berbinar.

“Pencet yang ini buat nembak. Yang ini buat loncat. Jangan asal gerak, nanti mati terus,” jelas Aksa cepat.

Zia mengangguk paham. Tapi belum juga satu menit bermain, karakternya langsung jatuh ke jurang.

“Eh, kok mati?” seru Zia panik.

“Ya lo loncat ke jurang, gimana nggak mati,” kata Aksa sambil geleng-geleng kepala. Meski begitu, ekspresinya sedikit terhibur.

Zia cemberut. “Gamenya jahat.”

“Yang bego lo,” balas Aksa santai.

Zia langsung mendelik. “Dasar cowok galak!”

Aksa terkekeh pelan. “Lo yang ngajak deket, lo juga yang ngambek.”

Zia langsung diam, pipinya memerah. Ucapan Aksa barusan bikin jantungnya berdetak nggak karuan. Ia baru sadar—ucapan tadi soal ingin dekat memang meluncur begitu saja tanpa mikir.

“Umur kamu berapa sih?” tanya Zia tiba-tiba, berusaha mengalihkan suasana.

“Delapan belas,” jawab Aksa singkat.

“Wah, sama dong! Berarti kamu kelas dua belas?” tanya Zia sambil tersenyum lebar.

“Iya,” balas Aksa malas sambil fokus ke layar game.

“Kalo abang kamu?” Zia lanjut lagi dengan penuh rasa ingin tahu.

Aksa menoleh sekilas. “Kok lo kepo banget sih?”

“Zia kan mau deket sama kalian~” ucap Zia santai dengan nada manja.

“Umur abang gue dua puluh,” jawab Aksa akhirnya.

“Berarti udah kerja dong?” tanya Zia lagi, makin penasaran.

“Iya. Zia bawel,” ujar Aksa datar.

“Aku nggak bawel!” sanggah Zia cepat.

“Iya, lo gak bawel,” ucap Aksa santai, sambil merebahkan tubuh di sofa ruang tengah. Suaranya terdengar datar, seperti biasa—dingin tapi tetap bikin Zia kesal.

Aksa berbicara kembali. “Buatin gue jus mangga, dong.”

Zia mendengus, tapi tetap berdiri dari duduknya. “Iya, iya…” jawabnya malas sambil berjalan menuju dapur.

Baru melangkah beberapa meter, suara Aksa kembali terdengar.

“Tapi jangan pake mangga.”

Langkah Zia langsung berhenti. Ia berbalik dengan ekspresi heran. “Apa? kamu bilang mau jus mangga… tapi jangan pake mangga?” tanyanya sambil menatap cowok itu dengan dahi mengernyit. Wajahnya benar-benar bingung.

Aksa menoleh pelan, wajahnya serius tapi nadanya tetap santai. “Iya. Buatin jus mangga, tapi jangan pake mangga. Pake strawberry aja.”

Zia nyaris memutar bola matanya. “kamu tuh maunya jus strawberry, bukan jus mangga. Kenapa gak bilang langsung?”

Aksa tersenyum miring. “Tumben gak bego.”

“AKSA!!” teriak Zia spontan, emosinya meledak saking kesalnya.

“ZIA!!” Aksa ikut-ikutan teriak dengan nada seenaknya.

Zia mengerang pelan, kesal bukan main. Ia membalikkan badan dan berjalan cepat menuju dapur, menghentakkan kakinya keras-keras di lantai sebagai bentuk protes. “Nyebelin banget sumpah,” gerutunya sepanjang jalan.

Sementara itu, Aksa hanya menyandarkan kepalanya ke bantal sofa, senyum tipis muncul di wajahnya. Bukan karena dia senang Zia kesal, tapi karena ekspresi cewek itu selalu berhasil menghiburnya… tanpa ia sadari.

_____

Zia membuka kulkas dengan senyum penuh rencana. Tangannya mengambil beberapa buah stroberi, tapi matanya malah tertuju pada satu benda mencolok—cabai merah yang mengkilat segar. Ia menyeringai.

“Oke, kalo kamu mau main-main, Aksa? aku juga bisa,” gumamnya sambil mengambil beberapa cabai, memotongnya, dan mencampurkannya dengan sedikit air dan gula. Hanya sedikit stroberi yang ia tambahkan, supaya warnanya tetap manis dan menipu.

Zia keluar dari dapur dengan wajah penuh kepuasan. Di tangannya, segelas jus berwarna merah cerah tampak menggoda—kombinasi dari sedikit stroberi dan banyak cabai. Ia menahan tawa saat menyerahkannya ke Aksa yang sedang duduk santai di sofa.

“Nih, pesanan kamu, Jus strawberry spesial,” kata Zia dengan senyum manis yang mencurigakan.

Aksa memandangnya sambil mengangkat alis. “ tumben bener Lo ngerjain sesuatu.”

“Minum dulu, baru komentar,” sahut Zia cepat.

Tanpa banyak curiga—karena terlalu malas untuk berpikir—Aksa mengambil gelas itu dan langsung meneguknya dalam satu seruput besar.

Beberapa detik berlalu.

Lidahnya seperti disiram lava. Matanya membelalak. Wajahnya memerah. Napasnya tercekat. “Z-Zia…”

Zia pura-pura polos. “Kenapa? Gak enak?”

Aksa berdiri, tubuhnya kaku. “Lo… ngasih gue apaan, hah?”

“Cuma jus strawberry. Pakai cabai, dikit doang kok—dua biji,” jawab Zia sambil mundur pelan.

“Dua BIJI?!!!” Aksa langsung melempar bantal ke arah Zia, tapi gadis itu sigap menghindar sambil tertawa.

“Woi! Zia! Balik sini lo!!” teriak Aksa yang sudah berdiri dengan napas ngos-ngosan, matanya merah karena rasa pedas.

Zia lari sekencang mungkin, terbahak-bahak sambil berteriak, “Itu balasan buat kamu yang nyuruh-nyuruhnya gak jelas!”

Aksa mengejarnya, melewati lorong panjang mansion sambil membawa gelas berisi sisa jus cabai. Suara langkah kaki mereka berdua menggema keras, saling sahut-menyahut dengan teriakan dan tawa.

Namun, saat mereka belok ke arah pintu utama—

BRAKK.

Aksa tak sempat berhenti. Tubuhnya menabrak seseorang yang berdiri di sana dengan tenang.

Seseorang dengan jas hitam elegan, sepatu mengkilap, dan pandangan dingin yang seperti bisa membekukan waktu.

Azka.

Cowok itu menatap dada jasnya yang kini berlumuran cairan merah. Jus cabai.

Jas mahal. Kena siraman. Dari adiknya sendiri.

Zia langsung berhenti tertawa.

Aksa ikut membeku. “bang... gue… demi apapun gak sengaja sumpah!”

Azka menatap mereka pelan. “Aksa… ini jas baru.”

“Maaf bang! Ini semua gara-gara dia!” seru Aksa cepat-cepat, mendorong Zia ke depan Azka layaknya tameng hidup.

Zia tersentak. “H-hai…” sapanya kaku, mencoba tersenyum walau seluruh tubuhnya merinding. Aura di sekitar Azka seperti berubah jadi dingin seketika, menusuk kulit dan hati.

Tatapan tajam Azka menatap keduanya, nyaris tanpa emosi. Dingin. Datar. Tapi mengandung tekanan yang bikin jantung Zia berpacu lebih kencang dari tadi saat dikejar Aksa.

“Kalian tahu apa yang kalian lakuin?” suara Azka pelan, nyaris seperti bisikan, tapi berat dan menusuk.

Keduanya diam.

“Kalian itu bukan anak kecil lagi yang bisa lari-larian di dalam mansion seperti ini.”

Aksa membuka mulut, buru-buru membela diri, “Ini gara-gara Zia! Dia yang buatin gue jus cabe! Gue cuma—”

“Abang nggak mau dengar apa pun alasan itu.” Tegas. Tak ada celah untuk berdalih. Nada Azka tajam, bahkan lebih tajam dari ujung belati yang tak kasat mata.

Zia menunduk. Aksa ikut membeku.

Azka melangkah maju perlahan, tubuhnya tinggi menjulang di hadapan mereka. Sorot matanya berpindah dari Aksa ke Zia — tajam dan menghakimi.

Dan lalu kalimat itu keluar, penuh tekanan.

“Dan lo,” lirihnya pada zia, “di hari pertama Lo masuk mansion… harusnya lo gak boleh buat ulah apa pun.”

Aksa langsung terdiam. Zia menggigit bibir bawahnya. Rasanya seperti tertampar, padahal Azka tak mengangkat satu tangan pun.

Cowok itu menatap mereka satu detik lagi. Hening. Dingin.

Lalu ia berbalik dan melangkah pergi begitu saja, meninggalkan jejak keheningan dan perasaan bersalah yang berat.

Pintu ruangan ditutup perlahan. Sunyi.

Zia menatap ke arah Aksa dengan sorot tak percaya. “kamu tadi nyalahin aku?”

“Sorry…” Aksa garuk belakang leher, kikuk. “tapikan emang Lo yang salah”

Zia mendengus. “kamu juga harusnya ngasih kerjaan itu yang bener”

“iya iya gue salah”

"cowok emang harus ngalah sama cewek." jawab Zia sambil mengangguk ngangguk puas

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!