Arumi Bahira, seorang single mom dengan segala kesederhanaannya, semenjak berpisah dengan suaminya, dia harus bekerja banting tulang untuk membiayai hidup putrinya. Arumi memiliki butik, dan sering mendapatkan pesanan dari para pelanggannya.
Kedatangannya ke rumah keluarga Danendra, membuat dirinya di pertemukan dengan sosok anak kecil, yang meminta dirinya untuk menjadi ibunya.
"Aunty cangat cantik, mau nda jadi mama Lion? Papa Lion duda lho" ujar Rion menggemaskan.
"Eh"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Keesokan paginya, suasana kamar utama masih remang-remang ketika Arumi duduk di depan meja rias, menyapukan bedak tipis ke wajahnya. Sedikit concealer, lipstik nude, dan alis yang dirapikan secukupnya. Ia hanya ingin terlihat segar. Rapi. Bukan menor.
Namun suara berat dari balik pintu membuyarkan ketenangannya.
“Hanya ke sekolah Shaka saja, ngapain kamu dandan sih,” protes Alvaro. Nada suaranya penuh ketidaksukaan.
Arumi menarik napas panjang, menahan gelombang kesal yang mulai menghangat di dadanya. Ia menatap refleksi dirinya di cermin—seorang wanita yang berusaha tetap tenang meski hatinya sedang diterpa ombak kecil.
“Aku hanya ingin tampil rapi, Mas,” jawabnya pelan. Ia berusaha terdengar lembut, walau senyum yang ia pasang terasa dipaksakan.
Alvaro melirik jam dinding, lalu mendengus pelan.
“Baiklah, asal cepat. Aku ada meeting pagi ini.”
Tak ingin memperpanjang perdebatan, Arumi menyelesaikan riasannya dengan cepat lalu berdiri, mengambil tas kecilnya. Saat melewati suaminya yang berdiri di ambang pintu, ia menoleh sebentar.
“Kamu berangkat dulu saja, biar aku sama anak-anak naik taksi,” katanya hati-hati.
“Tidak. Aku antar ke sekolah dulu, baru ke kantor,” sahut Alvaro tegas.
Arumi mengangguk, menahan komentar yang sudah nyaris meluncur dari bibirnya. Dengan tenang, ia mengambil dasi suaminya dan memakaikannya.
“Sudah selesai. Ayo kita ke bawah.” ucap Arumi, dan mengambil tasnya yang berada di atas meja rias.
Mereka turun bersama menuju ruang makan, tempat seluruh anggota keluarga sudah berkumpul. Bella dan Naka duduk rapi di meja, keduanya sudah berpakaian lengkap dan tampak ceria.
“Selamat pagi, Papa!” sapa Bella riang.
“Selamat pagi, girl,” balas Alvaro sambil mencubit pipi putrinya yang mulai berisi. Semenjak tinggal di kediaman Danendra, bobot tubuh Bella semakin bertambah.
Sementara itu, Naka tampak asyik dengan sendok dan garpunya, memainkannya seperti stik drum di atas piring kosong. Arumi tersenyum melihat tingkah anak-anak mereka, sedikit lega karena suasana pagi ini tampak lebih tenang.
Ia segera mengoleskan selai ke roti untuk anak-anak, lalu mengisi piring suaminya dengan nasi dan lauk. Sambil itu, ia bertanya kepada ibu mertuanya yang duduk di ujung meja.
“Shaka kemana, Mom?” tanya Arumi ketika tidak melihat Shaka di meja makan.
“Sudah berangkat. Katanya mau latihan dulu sebelum lomba,” jawab Julia.
Arumi mengangguk mengerti. Tak heran jika putra keponakannya belum terlihat sejak pagi.
Setelah sarapan selesai, mereka bersiap menuju sekolah Shaka. Bella dan Naka duduk di jok belakang, tas kecil berisi camilan tergantung di punggung mereka.
“Mama, nanti ajalin Bella lenang ya, bial bica ikut lomba cepelti kak Chaka,” pinta Bella polos.
Arumi tersenyum canggung. “Mama nggak bisa renang, sayang. Nanti minta ajarin Aunty Rindu ya.” ucap Arumi.
“Sama Papa aja! Papa jago berenang kok. Kak Shaka juga dulu Papa yang ajarin,” timpal Alvaro sambil melirik ke kaca spion.
Namun Naka menyambung dengan suara nyinyir khas anak kecil.
“Jangan pelcaya pintu. Papa memang jago belenang, tapi cayangnya papa cilbuk. Nda pelnah di lumah. Mau jadi Bang Toyib cepeltinya, kelja telus tapi nda punya uang!”
Perkataan itu membuat suasana mobil sedikit hening. Alvaro menarik napas panjang. Kata-kata Naka, meski polos, terasa seperti sindiran tajam yang menghantam dadanya.
"Uang papa banyak ya, kamu pikir beli susu mu itu pakai daun huh" kesal Alvaro.
Ia tahu dirinya sering absen di rumah karena pekerjaan, namun ia tak pernah bermaksud meninggalkan keluarganya.
"Banyak uang, tapi kok anaknya ylnda pelnah di kacih uang. Malang cekali nacib Naka, punya papa kaya laya tapi tidak bica menikmatinya" keluh Naka.
Alvaro hanya diam merotasi bola matanya malas, dia memang tidak suka memberi uang anak-anaknya. Menurutnya, tidak baik anak sekecil mereka memegang uang.
Bella ikut bersuara, kali ini dengan nada menggugat.
“Mama, tapi aku mau belajal cekalang,” rengeknya, matanya berkaca-kaca.
“Sayang, mama benar-benar nggak bisa,” jawab Arumi pelan sambil menoleh dan mengelus kepala Bella.
Alvaro, masih dengan hati yang sedikit berat, berusaha menenangkan.
“Nanti kalau Papa ada waktu, Papa ajarin kamu renang, ya.”
Bella tersenyum sedikit, walau kekecewaan masih tergambar jelas di wajahnya.
“Tapi Naka bilang Papa cepelti Bang Toyib yang jalang di lumah…” katanya lirih.
Arumi dan Alvaro saling berpandangan—tak perlu banyak kata. Mereka tahu, anak-anak mereka mulai menyadari hal-hal yang selama ini mereka pikir bisa ditutupi dengan hadiah atau senyuman.
“Kita akan usahakan lebih banyak waktu bersama Papa, oke? Keluarga itu prioritas,” ucap Arumi pelan.
Bella akhirnya mengangguk, kemudian menyender ke bahu Naka. Bocah lelaki itu tampak bangga bisa menjadi ‘sandaran’ saudarinya, meski hanya untuk beberapa saat.
Tak lama, mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Keramaian sudah mulai terlihat.
“Titip anak-anak ya. Maaf, aku benar-benar sibuk hari ini,” kata Alvaro, menatap Arumi dengan rasa bersalah.
“Aku mengerti. Nanti aku akan coba jelaskan ke mereka,” sahut Arumi, mengusap lengan suaminya.
Bella dan Naka tidak sabar untuk keluar dari mobil.
“Mama cepat! Bella cudah nggak cabal ingin lihat kak Chaka. Dia pasti cenang lihat Bella datang ke cekolahnya!” seru Bella bersemangat.
“Apalah kau ini pintu. Yang ada kak Chaka nda fokus lenangnya kalena dengal cuala kamu yang cempleng itu,” cibir Naka, menyeringai jahil.
Arumi dan Alvaro hanya bisa menghela napas bersamaan. Adu mulut kecil seperti itu sudah menjadi menu harian.
Arumi mencium punggung tangan suaminya, lirih berkata, “Yasudah, kamu hati-hati.”
“Titip salam untuk Shaka. Semoga menang,” ucap Alvaro sambil tersenyum, meski hatinya terasa berat.
Dengan langkah ringan, Arumi menggandeng kedua anaknya memasuki area sekolah. Bella melompat kecil, semangatnya membara. Naka menyusul dengan santai, seolah menyimpan energi untuk sorakan di kolam renang nanti.
Sementara itu, Alvaro masih memandangi punggung mereka lewat kaca spion, memastikan semuanya baik-baik saja. Setelah mereka hilang dari pandangan, ia menyalakan mobil dan perlahan melaju ke arah kantor.
Namun di dalam hatinya, janji yang diucapkan tadi pagi, tentang waktu untuk keluarga—terus menggaung dalam pikirannya.
seharusnya ganti tanya Arumi
bagaimana servisku jg lbh enakan mana sm clara wkwkwk
Alvaro menyesal menghianati clara
kok minta jatah lagi sama arumi
itu mah suka al