NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:349
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mata-Mata

Gema dari kemenangan mereka di Swiss menguap seketika, digantikan oleh keheningan yang dingin dan mematikan di ruang perang Empress Tower. Di layar utama, sebuah titik GPS yang berkedip di atas lokasi vila pribadi mereka di Puncak bukanlah sekadar sebuah koordinat. Itu adalah sebuah mata. Mata Sauron di tengah Mordor, sebuah tatapan omniscient yang menembus semua lapisan keamanan, semua kerahasiaan, dan semua ilusi kontrol yang telah mereka bangun dengan susah payah. Pesan dari Jenderal Soeharto, yang dikirim melalui saluran yang seharusnya tidak ada, lebih efektif daripada serbuan seribu prajurit. Pesan itu sederhana: Aku melihatmu. Aku selalu melihatmu. Di manapun kalian bersembunyi, kalian berada di dalam sangkarku.

"Ya Tuhan, Leo..." bisikan Isabella yang penuh kengerian adalah suara pecahnya bendungan. "Dia tidak menunggu kita melempar batu. Dia sudah berada di dalam rumah kita."

Kepanikan adalah reaksi pertama. Sebuah kepanikan dingin yang merayap, berbeda dari kekacauan panas dari baku tembak. Ini adalah teror eksistensial karena menyadari bahwa benteng mereka, menara gading mereka yang menjulang di atas Jakarta, mungkin hanyalah sebuah sangkar kaca yang megah. Marco secara naluriah mencabut senjatanya, matanya memindai sudut-sudut ruangan yang gelap seolah mengharapkan musuh muncul dari dinding. Bianca, sang ratu digital, wajahnya pucat pasi. Ini adalah pelanggaran yang mustahil. Sistemnya sempurna. Jaringannya kedap udara. Tapi entah bagaimana, sang Jenderal telah melewatinya seolah tidak ada. Ini bukan sekadar kegagalan teknis; ini adalah serangan pribadi terhadap kejeniusannya.

Di tengah gelombang paranoia yang mulai menenggelamkan mereka, dua orang tetap tenang. Pak Tirta, yang wajahnya kini dipenuhi oleh gravitasi seorang veteran yang telah melihat skenario terburuk menjadi kenyataan, dan Leo.

Bagi Leo, syok awal dengan cepat tergantikan oleh fokus analitis yang dingin. Ia menatap titik GPS itu, lalu ke wajah-wajah timnya yang tegang. "Lockdown," katanya, suaranya datar namun memotong kepanikan seperti pisau bedah. "Sekarang juga."

Perintah itu menyentak mereka semua kembali ke dalam mode operasional. "Bianca," lanjut Leo. "Putuskan semua koneksi eksternal. Semua. Internet, saluran telepon, satelit. Kita menjadi pulau digital. Hanya jaringan internal kita yang boleh aktif. Aku ingin kau memulai pemindaian forensik tingkat-lima pada seluruh sistem. Cari jejak sekecil apapun—sebuah backdoor, worm, trojan, apa saja. Aku ingin kau menguliti setiap baris kode di benteng ini sampai kau menemukan hantunya."

"Marco," perintahnya lagi. "Kunci seluruh menara. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar, tanpa otorisasi langsung dariku atau Isabella. Gandakan patroli di setiap lantai. Periksa setiap staf, tidak peduli seberapa lama mereka telah bekerja. Kita berasumsi musuh sudah ada di dalam."

Dalam beberapa menit, Empress Tower, simbol kekuasaan mereka yang terbuka, berubah menjadi sebuah bunker yang terisolasi dari dunia luar. Mereka aman dari serangan fisik. Tetapi perasaan terkurung itu justru memperkuat paranoia yang menggerogoti mereka dari dalam. Mereka tidak tahu bagaimana musuh melihat mereka. Apakah melalui kamera tersembunyi? Sebuah penyadap di saluran ventilasi? Atau sesuatu yang lebih canggih, sesuatu yang bahkan tidak mereka ketahui ada? Setiap sudut ruangan kini terasa mengancam. Setiap perangkat elektronik terasa seperti mata-mata. Kepercayaan, fondasi dari tim mereka, mulai terkikis oleh keraguan.

Bianca bekerja dengan kecepatan dan intensitas yang ganas. Ruang perang dipenuhi oleh suara ketukan keyboardnya yang cepat, sebuah simfoni keputusasaan digital. Ia menjalankan program diagnostik paling canggih, membiarkan AI-nya sendiri berburu anomali di dalam sistemnya. Ia memeriksa log server selama berbulan-bulan, mencari satu kilobyte data yang tidak seharusnya ada di sana.

Sementara itu, Pak Tirta dan Marco memulai pekerjaan yang lebih kotor dan lebih menyakitkan: perburuan di dunia nyata. Mereka mengumpulkan seluruh anggota Legiun yang berada di dalam menara, sekitar tiga puluh orang. Di aula pertemuan yang kini terasa seperti ruang interogasi, Pak Tirta berdiri di depan mereka.

"Dengar," katanya, suaranya tenang namun berat. "Sistem kita telah dibobol. Bukan secara digital, tapi secara manusiawi. Itu berarti salah satu dari kita, di dalam gedung ini, adalah seorang pengkhianat."

Sebuah gumaman penuh kengerian menyebar di antara para prajurit yang telah ditempa bersama di Nusa Damai. Gagasan tentang pengkhianatan di antara mereka, setelah semua yang telah mereka lalui, terasa mustahil.

"Mulai sekarang," lanjut Pak Tirta. "Tidak ada yang dipercaya sepenuhnya. Kalian akan diinterogasi. Satu per satu. Ponsel kalian akan diperiksa. Latar belakang kalian akan digali kembali. Jika kalian tidak menyembunyikan apa-apa, kalian tidak perlu takut. Tapi jika ada yang berbohong..." ia berhenti sejenak, membiarkan matanya yang tajam menatap setiap wajah di ruangan itu. "...Leo mungkin seorang alkemis, tapi aku adalah seorang tukang daging. Dan aku sangat baik dalam memisahkan daging dari tulang."

Dimulailah perburuan penyihir. Satu per satu, anggota Legiun dibawa ke sebuah ruangan kosong untuk diinterogasi oleh Pak Tirta. Ia tidak menggunakan kekerasan. Ia menggunakan keheningan, pertanyaan yang menusuk, dan kemampuannya yang luar biasa untuk membaca bahasa tubuh. Ia mencari keraguan, kebohongan kecil, detail cerita yang tidak sinkron.

Leo dan Isabella mengamati proses itu dari ruang perang melalui kamera, perasaan mereka campur aduk. Mereka melihat fondasi dari pasukan yang baru saja mereka bangun dengan susah payah, kini diuji oleh racun kecurigaan. Setiap prajurit yang keluar dari ruang interogasi, meskipun dinyatakan bersih, kini menatap rekan-rekannya dengan sedikit keraguan. Soeharto tidak perlu menembakkan satu peluru pun. Ia berhasil membuat mereka saling menodongkan senjata dari dalam.

Bahkan lingkaran terdalam pun tidak luput. Pak Tirta, dengan wajah tanpa ekspresi, duduk bersama Marco. "Kau yang paling lama bersama keluarga ini, Marco. Kau yang paling tahu seluk beluknya. Tapi kau juga yang paling terpukul oleh perubahan yang dibawa Leo. Apakah ada sedikit saja rasa iri di hatimu?"

"Jangan berani-beraninya kau," geram Marco, tersinggung, tetapi ada kelelahan di matanya. "Aku akan mati untuk Isabella. Dan aku akan mati untuk Leo."

Pak Tirta kemudian berbicara dengan Si Kembar, Riko dan Maya. "Kalian ahli dalam menyusup. Kalian tahu cara bergerak tanpa terdeteksi. Apakah mungkin salah satu dari kalian tergoda oleh tawaran yang lebih baik?"

Maya hanya menatapnya dengan tatapan dingin, sementara Riko tertawa. "Tawaran yang lebih baik dari keluarga? Tidak ada hal seperti itu."

Akhirnya, hanya tersisa mereka berempat: Leo, Isabella, Pak Tirta, dan Bianca. Lingkaran terdalam. Namun bahkan di sana, benih keraguan telah ditanam. Mungkinkah Hartono, sang agen ganda, yang ternyata memainkan permainan ganda? Leo menghubungi Hartono melalui saluran teraman mereka. Suara detektif itu terdengar panik dan tulus.

"Aku bersumpah demi nyawa putriku, Leo, aku tidak membocorkan apa-apa," katanya. "Soeharto tidak pernah menghubungiku tentang ini. Dia bekerja dalam sel-sel terpisah. Aku tidak tahu siapa lagi yang bekerja untuknya. Aku sama butanya dengan kalian."

Setelah dua hari yang menyiksa, hasilnya nihil. Tidak ada pengkhianat yang ditemukan. Tidak ada penyadap fisik yang terdeteksi. Dan Bianca, setelah membedah setiap baris kodenya, kembali dengan tangan hampa.

"Tidak ada," katanya, wajahnya pucat karena kelelahan dan frustrasi. "Sistemku bersih. Aku berani mempertaruhkan nyawaku. Tidak ada yang meretas kita. Tidak ada backdoor. Tidak ada spyware. Secara digital, kita adalah hantu."

Mereka menemui jalan buntu. Terkurung di dalam benteng mereka sendiri, dihantui oleh musuh yang bisa melihat mereka tetapi tidak bisa mereka lihat. Kepercayaan di antara tim mereka retak, dan semangat mereka berada di titik terendah.

Malam itu, Leo menemukan Isabella sendirian di kamar mereka, berdiri di depan jendela, menatap kota yang kini terasa seperti lautan musuh. Ia tampak sangat sendirian. Paranoia dan ketidakpastian telah mengikis aura Ratu-nya, menyisakan hanya seorang wanita yang lelah.

"Mungkin ini akhirnya, Leo," bisiknya, suaranya hampa. "Mungkin kita sudah terbang terlalu dekat dengan matahari. Mungkin monster seperti kita tidak pantas menang."

Leo berjalan mendekatinya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memeluknya dari belakang, melingkarkan lengannya di pinggang Isabella, meletakkan kepalanya di ceruk lehernya. Ia menghirup aroma Isabella, sebuah aroma yang menjadi jangkarnya di tengah badai ini.

Di dunia di mana setiap dinding mungkin memiliki mata dan setiap teman mungkin adalah musuh, satu-satunya kebenaran, satu-satunya tempat perlindungan yang tersisa, adalah ruang di antara tubuh mereka.

"Mereka bisa mengamati kita sepuasnya," bisik Leo di kulit Isabella. "Mereka bisa mendengarkan setiap percakapan kita. Tapi mereka tidak akan pernah bisa merasakan ini. Mereka tidak akan pernah bisa menyentuh ini. Ini milik kita."

Gairah yang timbul di antara mereka malam itu bukanlah gairah yang lembut atau penuh perayaan. Itu adalah sebuah tindakan pemberontakan yang ganas. Sebuah deklarasi kemerdekaan di dalam penjara mereka sendiri. Di dunia di mana privasi mereka telah direnggut, mereka menemukan kebebasan terakhir mereka dalam keintiman yang paling mentah.

Isabella berbalik dan menciumnya dengan kekuatan yang nyaris putus asa. Itu adalah ciuman dari dua orang yang terkurung, yang saling berpegangan erat sebagai satu-satunya hal yang nyata. Mereka bercinta bukan di atas tempat tidur sutra mereka, tetapi di lantai yang dingin, di depan jendela raksasa, seolah sengaja memamerkan pemberontakan mereka pada mata-mata tak terlihat di luar sana.

Adegan cinta mereka adalah sebuah badai. Keras, cepat, dan posesif. Setiap sentuhan adalah sebuah penegasan "kau milikku", setiap gigitan adalah sebuah klaim "aku milikmu". Itu adalah cara mereka membakar habis paranoia dan ketakutan, menggantikannya dengan rasa sakit dan kenikmatatan yang nyata dan tak terbantahkan. Itu adalah dua binatang buas yang terkurung yang menemukan pelipur lara dalam kebuasan satu sama lain. "Panas" dari adegan itu adalah panas dari api unggun terakhir di tengah musim dingin yang tak berujung, sebuah tindakan putus asa untuk merasakan kehangatan sebelum semuanya membeku. Itu adalah cara mereka mengatakan pada Soeharto dan seluruh dunianya: "Kau bisa mengambil kerajaan kami, kau bisa mengambil kebebasan kami, tapi kau tidak akan pernah bisa mengambil ini."

Saat mereka terbaring dalam keheningan setelahnya, tubuh mereka berkeringat dan terjalin, napas mereka terengah-engah, mereka tidak merasa menang. Tapi mereka juga tidak merasa kalah. Mereka hanya... ada. Bersama. Dan untuk saat itu, itu sudah cukup.

Keesokan paginya, di tengah suasana suram ruang perang, Leo berdiri di depan papan tulis digital, menatap diagram-diagram rumit dari jaringan keamanan mereka. Yang lain duduk dengan muram, menunggu perintah yang tidak pernah datang. Mereka telah menemui jalan buntu.

Tiba-tiba, Leo menghapus semua yang ada di papan tulis. Diagram, denah, daftar tersangka. Semuanya. Ia hanya menyisakan satu pertanyaan di tengah papan tulis putih yang kosong:

BAGAIMANA JIKA KITA MENGAJUKAN PERTANYAAN YANG SALAH?

Semua orang menatapnya dengan bingung.

"Selama tiga hari terakhir," kata Leo, berbalik menghadap mereka, matanya kini berkilat dengan secercah cahaya yang baru, "kita telah bertanya: 'Siapa pengkhianatnya?' 'Di mana penyadapnya?' 'Bagaimana sistem kita dibobol?' Kita telah membedah setiap kemungkinan dan hasilnya nol. Kenapa? Karena kita memulai dengan asumsi yang salah."

Ia menatap mereka satu per satu. "Bagaimana jika tidak ada pengkhianat? Bagaimana jika tidak ada penyadap? Bagaimana jika sistem kita tidak pernah dibobol?"

"Itu tidak mungkin," kata Bianca. "Lalu bagaimana dia tahu tentang vila di Puncak?"

"Itulah pertanyaan yang benar," kata Leo. "Bukan 'bagaimana dia masuk ke dalam sistem kita?', tapi 'bagaimana dia mendapatkan informasi itu?'. Dan jawabannya mungkin jauh lebih sederhana dan jauh lebih menakutkan."

Ia mulai menulis di papan tulis lagi. "Soeharto bukan seorang peretas. Dia adalah seorang jenderal dari generasi analog. Dia adalah seorang master spionase manusia, bukan spionase digital. Dia tidak perlu meretas komputermu, Bianca, jika dia bisa memprediksi pikiran kita."

"Memprediksi?" cibir Marco. "Dia bukan peramal."

"Bukan," kata Leo. "Dia adalah seorang penyusun profil psikologis yang ulung. Pikirkan tentang itu. Dia tahu kita baru saja memenangkan perang yang brutal. Dia tahu kita berada di bawah tekanan yang luar biasa. Dia tahu kita butuh pelarian. Apa yang akan dilakukan oleh dua orang seperti kita untuk melarikan--diri? Kita akan mencari tempat yang paling aman, paling terisolasi, dan paling mewah yang bisa kita temukan di dekat Jakarta. Berapa banyak tempat seperti itu? Sepuluh? Dua puluh?"

Pemahaman mulai terlihat di wajah Pak Tirta.

"Soeharto tidak perlu mengikuti kita ke vila itu," jelas Leo. "Dia hanya perlu mengawasi semua vila yang memungkinkan. Dia tidak menemukan satu jarum di tumpukan jerami. Dia membakar seluruh tumpukan jerami itu dan menunggu jarumnya bersinar. Pesan GPS itu bukanlah bukti adanya pengkhianat. Itu adalah sebuah pameran kekuatan. Sebuah demonstrasi bahwa sumber dayanya begitu luas sehingga ia tidak perlu bermain licik. Ia bisa menunggu kita masuk ke dalam jebakannya yang sudah ia siapkan di mana-mana."

Kebenaran dari logika itu begitu mengerikan hingga membuat mereka semua terdiam. Mereka tidak sedang melawan seorang mata-mata. Mereka sedang melawan sebuah sistem yang maha melihat.

"Dan artikel itu," lanjut Leo, menatap Bianca. "Artikel tentang Yayasan Nusa Bhakti. Apakah itu menyebabkan gempa politik yang kita harapkan?"

Bianca menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Itu menjadi viral di media independen selama 24 jam. Lalu... lenyap. Media arus utama menguburnya dengan berita-berita lain. Para politisi yang kami harapkan akan angkat bicara, semuanya diam seribu bahasa. Tidak ada penyelidikan resmi. Gunung itu... bahkan tidak bergetar."

Kenyataan pahit itu menghantam mereka. Mereka telah melempar batu terbaik mereka ke arah gunung, dan gunung itu bahkan tidak menyadarinya. Mereka kalah telak.

Saat perasaan putus asa yang baru mulai merayap kembali ke dalam ruangan, sebuah alarm tiba-tiba berbunyi nyaring. Bukan alarm penyusup. Itu adalah sebuah penanda berita darurat prioritas utama yang dipasang oleh Bianca.

Semua mata tertuju ke layar utama saat gambar beralih ke siaran langsung dari Istana Negara. Presiden Republik Indonesia berdiri di podium, diapit oleh para menteri dan panglima militer. Wajahnya tampak sangat serius.

"Saudara-saudari sebangsa dan setanah air," mulai Presiden. "Dalam beberapa minggu terakhir, stabilitas dan keamanan negara kita telah diguncang oleh meningkatnya ancaman dari kelompok-kelompok kriminal terorganisir yang semakin berani. Perang geng di jalanan, sabotase ekonomi, dan yang terbaru, serangan media yang fitnah dan tidak bertanggung jawab terhadap beberapa institusi nasional kita yang paling dihormati..."

Leo dan Isabella saling berpandangan dengan ngeri.

"...Semua ini adalah gejala dari sebuah penyakit yang mengancam untuk merusak fondasi bangsa kita. Oleh karena itu," lanjut Presiden, suaranya meninggi, "setelah berkonsultasi dengan para pemimpin pertahanan dan keamanan, hari ini saya mengumumkan pembentukan sebuah Satuan Tugas Khusus Pemberantasan Kejahatan Terorganisir Lintas-Instansi."

Presiden berhenti sejenak, membiarkan pengumuman itu meresap. "Satuan tugas ini akan diberikan wewenang luar biasa untuk melakukan penyelidikan, pengawasan, dan penindakan tegas tanpa batas yurisdiksi untuk membasmi ancaman ini sampai ke akar-akarnya. Dan untuk memimpin satuan tugas yang sangat penting ini, saya telah menunjuk seorang putra terbaik bangsa. Seorang pria dengan integritas yang tak diragukan, pengalaman yang luas, dan patriotisme yang tak tergoyahkan."

Kamera televisi bergeser dari Presiden. Ia bergerak ke samping, memberikan podium kepada seorang pria tua yang berdiri tegak di belakangnya.

Jenderal Purnawirawan Soeharto.

Sang Jenderal melangkah ke podium. Ia tidak tersenyum. Wajahnya adalah topeng dari gravitasi dan tekad baja. Ia menatap lurus ke dalam lensa kamera, dan pada saat itu, Leo dan Isabella merasa seolah pria itu sedang menatap langsung ke dalam jiwa mereka di ruang perang mereka yang tersembunyi.

Isabella meraih lengan Leo, cengkeramannya erat, buku-buku jarinya memutih. Kengerian total dan pemahaman yang membutakan melintas di wajahnya. Jebakan itu jauh lebih besar dan jauh lebih mengerikan dari yang pernah ia bayangkan.

"Dia tidak hanya mengamati kita, Leo," bisiknya, suaranya bergetar saat ia akhirnya memahami permainan akhir dari sang laba-laba.

"Dia baru saja mengubah seluruh negara ini menjadi senjatanya... untuk memburu kita."

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!