(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diam-diam terpesona
Pulang sekolah, Michelle memerintahkan sopir suaminya mengantarnya ke sanggar lukis—tempat dia menghabiskan waktu dan menggali penghasilan dari hobi yang sudah menjadi napas hidupnya.
Duduk di depan kanvas, tangannya bergerak lincah menggores warna di permukaan hampir selesai, sementara teman-teman di sekelilingnya tenggelam dalam dunia masing-masing, terpaku pada karyanya.
Tiba-tiba, suara guru yang berdiri di depan memecah keheningan, “Anak-anak, berdirilah sejenak. Bu Ketua ingin mampir ke sini,” kata guru itu dengan nada penuh hormat.
Seketika, seisi ruangan bergerak serempak, kuas-kuas diangkat tinggi, tubuh berdiri dengan sikap sopan penuh hormat. Pintu terbuka, langkah sepatu heels wanita paruh baya menggema, elegan dan tegas. Wajahnya cantik memikat, lekuk tubuhnya masih bak model yang memancarkan kelembutan dan kewibawaan sekaligus. Di belakangnya, perempuan berbaju kantor mengikuti dengan penuh perhatian—asisten setia yang selalu ada di sisinya. Michelle menoleh, dan matanya bertemu dengan pandangan tajam namun hangat wanita itu.
Wanita yang dipanggil ketua itu menatap Michelle dengan mata yang lembut, tiba-tiba senyum hangat mengembang di bibirnya—seolah ada rahasia manis yang hanya ia ketahui.
Michelle mengerutkan dahi, perlahan menoleh ke belakang, berharap menemukan sosok yang membuat senyum itu tercipta. Namun, udara di belakangnya tetap hampa, tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan alasan. Hati Michelle berdebar aneh, matanya kembali menatap ke depan dan membalas senyum itu dengan canggung, kepala sedikit menunduk, berusaha menyembunyikan kebingungannya.
Tanpa aba-aba, wanita itu melangkah mendekat dengan langkah tenang namun penuh wibawa. Ruangan yang tadinya terasa biasa saja seketika berubah tegang di hadapan sosok yang dianggap sebagai pilar negeri itu. Michelle merasakan denyut nadi yang cepat, kakinya seolah melemah sedikit, menandakan rasa gugup yang sulit ditutupi. “Halo, Bu,” sapanya dengan suara bergetar tipis.
Ketua itu menatap tajam namun ramah, “Siapa namamu?” tanyanya dengan suara rendah dan penuh perhatian, seolah ingin menggali lebih dalam siapa Michelle sebenarnya.
“Michelle, Bu,” jawab gadis muda itu singkat, menatap mata wanita itu, mencoba menahan rasa campur aduk antara takut, penasaran, dan sedikit bangga.
Wanita itu melangkah mendekat dengan senyum tipis yang sulit dibaca, lalu tanpa ragu mengangkat tangan dan mengusap rambut Michelle dengan lembut. Michelle terkejut, tubuhnya tiba-tiba kaku membeku, matanya berkedip cepat seolah mencoba menangkap kenyataan yang baru saja terjadi. Suasana di ruang sanggar menjadi hening, teman-teman Michelle saling bertukar pandang dengan wajah penuh tanda tanya dan keterkejutan.
"Kau begitu cantik, gadis manis," ucap wanita itu dengan suara tenang.
Michelle menelan ludah, gugup dan berusaha tersenyum, "Te-terima kasih, Bu Ketua. Saya sangat tersanjung."
Wanita itu tertawa kecil, santai, "Santai saja, aku takkan menelanmu." Matanya tajam menatap Michelle, "Apa kau bisa menjelaskan arti dari lukisanmu?"
Michelle mengerutkan dahi, terkejut sekaligus bingung, namun segera mengangguk mantap. "Tentu, saya akan menjelaskannya, Bu." Suaranya mulai mantap meski masih ada sedikit getar.
Michelle berdiri tegak di depan kanvas besar yang hampir selesai, matanya menelusuri setiap goresan warna yang membentuk sosok wanita merangkak di hamparan rumput kering yang luas. Wanita di lukisan itu mengenakan dress putih lusuh, wajahnya menampakkan kelelahan sekaligus tekad yang membara. Di kejauhan, sebuah rumah kecil berdiri di tepian danau yang tenang, seolah menjadi tujuan akhir perjalanan panjang wanita itu.
Michelle menarik napas dalam-dalam, lalu dengan suara lembut namun penuh keyakinan ia berkata, "Kenapa wanita ini merangkak?" Ia menoleh pada wanita elegan yang berdiri di sebelahnya, lalu melanjutkan, "Dia ingin mencapai rumah itu—tempat yang selama ini dia impikan. Tapi tubuhnya sudah terlalu lelah untuk melangkah sendiri. Dia butuh seseorang untuk membawanya, menemani perjalanan yang sulit ini."
Wajah Michelle memancarkan campuran haru dan harapan, seolah lukisan itu bukan sekadar gambar, melainkan cermin dari perjuangan hidup yang tak selalu mudah dijalani. Angin pelan mengibarkan ujung dress wanita di kanvas, menambah kesan rapuh namun kuat pada sosok yang merangkak itu.
“Mungkin dia bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri? Bukankah itu sebuah keajaiban bagi seorang wanita?” Wanita elegan itu menatap lukisan di depannya, suaranya penuh kekaguman yang tersimpan dalam setiap kata. “Hebat sekali, jika benar itu terjadi.”
Michelle hanya diam, tatapannya kosong menelusuri goresan kuas di kanvas itu. “Mungkin,” jawabnya pelan, suaranya nyaris tersembunyi di antara desah ruang studio yang sunyi, “tapi tidak semua wanita cukup kuat untuk berdiri sendiri... apalagi jika sejak kecil, dia sudah terbiasa berjuang tanpa sandaran.”
Wanita itu berbalik, menatap Michelle dengan senyum tipis yang menyiratkan empati. “Luar biasa sekali lukisanmu... Apa kau pernah merasakan apa yang kau lukiskan?”
Pertanyaan itu menghunjam hati Michelle. Jantungnya berdetak keras, kedua tangan gemetar meremas sisi seragam sekolahnya. Bagaimana mungkin Bu Ketua bisa membaca luka di dalam hatinya, seperti membuka lembaran paling rahasia?
“Ah, lupakan saja,” ujar wanita itu, wajahnya berubah kecut melihat ekspresi berat Michelle, “Aku tak bermaksud menyakiti.”
Michelle menghela napas dalam, suara kecilnya tersusup lembut namun jelas di telinga wanita itu. “Mungkin...”
Wanita elegan itu mengangguk, menatap lukisan itu sekali lagi sebelum bertanya dengan nada penuh harap, “Jadi... kapan lukisanmu akan selesai?”
Michelle menoleh dengan raut bingung yang mengerut di dahinya. “Maksud Anda?” suaranya terdengar lembut namun penuh rasa ingin tahu.
Wanita di sampingnya tersenyum tipis, matanya yang tajam menatap langsung ke arah Michelle. “Saya memilih lukisanmu untuk dilelang di perusahaan saya. Bagaimana menurutmu, gadis manis?” ucapnya dengan nada yakin, seolah tawaran itu sudah pasti diterima. “Hasil lelang akan saya serahkan kepadamu 75%, sementara 25% untuk perusahaan saya. Apakah kamu bersedia?” lanjut wanita itu, suaranya mengandung harapan.
Michelle seketika terdiam, pikirannya berputar cepat menimbang peluang itu. Tanpa ragu, dia mengangguk cepat, matanya berbinar penuh semangat. “Saya terima, Bu,” jawabnya dengan suara mantap.
Wanita itu tersenyum lebar, wajahnya berubah lebih hangat. “Bagus, saya jamin lukisanmu akan terjual dengan harga fantastis,” katanya, penuh keyakinan.
Michelle membalas dengan senyum tulus dan tanpa sadar menggenggam tangan wanita itu erat, seolah mengucapkan terima kasih yang tak terkatakan. Jantungnya berdegup lebih cepat, harapan baru mulai tumbuh di dadanya.
Michelle terkejut melepaskan genggaman tangan wanita elegan itu dengan cepat. "Maaf, Bu, saya terlalu senang," gumamnya canggung, sambil menggaruk belakang kepala yang sebenarnya tak gatal.
Wanita itu hanya tersenyum tipis, menatap tajam, seolah membaca isi pikirannya. "Saya mengerti,"
Di balik senyum itu, hati Michelle berdebar liar. *Akhirnya, aku akan punya uang sendiri...* bayangan itu membara dalam dada.
"Kalau begitu, kapan saya bisa mengambilnya?" tanya wanita itu tanpa kehilangan nada sabar.
"Besok akan siap, saya janji," balas Michelle dengan keyakinan yang tumbuh, meskipun hatinya masih ragu.
Wanita itu mengangguk, lalu berbalik sambil mengucapkan, "Baiklah, saya pamit. Sampai ketemu besok, Michelle Zevanya."
Seketika, nama itu menggetarkan Michelle — bagaimana bisa dia tahu nama lengkapnya?
Setelah kepergian wanita dan asistennya, teman-teman Michelle segera mendekat, memberi selamat yang mengalir tulus. Senyum hangatnya menebar seperti mentari pagi yang mengusir kelabu hati.
.
Saat kelas usai, Michelle keluar dari gedung sanggar dengan wajah berseri-seri. Ia meloncat kecil penuh kegirangan, lalu berputar-putar tanpa sadar, seolah dunia hanya miliknya hari itu.
Di balik jendela mobil, seorang pria menatap dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. Matanya penuh keheranan sekaligus kekaguman. “Sejak kapan dia menjadi sesegemaskan ini?” gumamnya lirih, terpesona oleh aura yang memancar dari Michelle.